Feeds:
Pos
Komentar

Kontribusiku Bagi Indonesia:
kontribusi yang telah, sedang dan akan saya lakukan untuk masyarakat / lembaga / instansi / profesi komunitas saya

Pernah mendengar anekdot PNS seperti ini?

PNS.. nyampe kantor jam 10,, pulang ke rumah jam 2

Atau seperti ini?

PNS kerjanya kalo engga main catur ya, ngopi-ngopi..

Sekilas lucu, namun miris, menyaksikan stereotip yang masih berkembang di masyarakat tentang PNS, profesi yang kini saya jadikan jalan hidup. Dan masih banyak anekdot yang lain. Merubah persepsi publik memang sulit, tapi lebih sulit lagi merubah budaya PNS itu sendiri. Merubah budaya yang lama dibangun butuh waktu yang lama pula.

Ketika awal memilih berkuliah di kampus plat merah, status PNS  yang “nyaman” memang menjadi salah satu pertimbangan saya. Saya yang putra seorang prajurit TNI, cenderung play safe saja ketika memilih tempat kuliah. Sebagai seseorang yang dibesarkan dengan kondisi finansial yang relatif baik, saya mampu mengenyam pendidikan dasar hingga menengah yang baik, dengan prestasi yang Alhamdulillah memuaskan. Namun demikian, ketika memilih kampus saya tidak tertarik untuk mencoba kampus/ jurusan lain yang lebih menantang daripada jurusan yang lulusannya “hanya” menjadi PNS: STAN.
Seiring berjalannya waktu, niat saya akhirnya perlahan berubah: ikut serta dalam perubahan birokrasi. Menjalani perkuliahan Diploma III, perlahan-lahan saya paham kalau PNS Indonesia,khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sedang bertransformasi. Karenanya, saya kala itu turut mencoba aktif dalam organisasi kampus. Senang sekali bisa berkontribusi di berbagai organisasi, baik permanen maupun kepanitiaan. Salah satu organisasi yang berkesan yakni Forum Komunikasi Rohis Perguruan Tinggi Kedinasan (FOKRI-PTK). Bersama teman-teman dari berbagai PTK semisal IPDN, STIS, dan STP, saya tercerahkan karena ada banyak iron stock yang siap membenahi birokrasi Indonesia. Pengalaman berkesan lainnya adalah ketika bersama-sama 70 rekan sefakultas, kami ditugaskan membantu inventarisasi aset bisnis militer dalam Timnas Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI-Kementerian Pertahanan. Menyaksikan bagaimana aset negara yang tidak dikelola secara optimal di berbagai daerah menggugah kesadaran kami menjadi PNS sebenarnya bukan pekerjaan nyaman.

Ketika bekerja, saya ditugaskan di Sekretariat Kerjasama Indonesia-OECD, sebuah sekretariat kerjasama internasional. Saya harus siap sedia untuk mengerjakan berbagai tugas, mulai dari menghubungi hotel terkait pelaksaan seminar, sampai menyiapkan kendaraan demi persiapan kunjungan delegasi asing, tugas yang tampak remeh namun dapat mempertaruhkan nama bangsa. Apapun itu, kami lulusan STAN harus siap ditempatkan di berbagai tempat.
Tiga tahun berlalu dan saya akhirnya berkesempatan menimba ilmu di program DIV-STAN. Kendati banyak ilmu yang dirasa tidak aplikatif, saya berusaha tetap maksimal menjalaninya. Dalam dunia birokrasi memang banyak yang tidak ideal. Saya pun mencoba aktif di organisasi kampus dan dipercaya di sejumlah tempat. Pusat Kajian Akuntansi dan Keuangan Publik, adalah tempat kami mencoba menyatukan potensi-potensi intelektual siswa STAN yang terserak untuk memberi sedikit warna akademik di tengah aktivitas mahasiswa STAN yang cenderung apatis terhadap dunia riset dan keilmuan. Kami turut serta dalam berbagai kejuaraan akademis dan alhamdulillahnya kami berhasil memenangkan sejumlah kompetisi. Potensi bahan baku PNS sebenarnya amat unggul, tinggal bagaimana individu tersebut mencoba menghindar dari kultur lama yang masih ada.

Selepas kuliah, saya ditugaskan di Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan, jantung perubahan administrasi publik Kemenkeu. Di lahan baru ini, banyak peluang berkontribusi membantu membenahi manajemen kelembagaan dan pelayanan Kemenkeu. Saya belajar jika kultur lama birokrasi sebenarnya dapat diubah, asal ada kemauan dari pimpinan dan bawahan. Analisis beban kerja yang kami gawangi di kantor misalnya, dapat memotret apa yang sehari-hari dikerjakan di level seorang staf pelaksana. Memaparkan pengalaman kami di kantor kepada unit lain baik internal maupun eksternal Kementerian adalah sebuah kebanggaan tersendiri, karena jelek-jelek, usaha yang kami bangun bisa dipakai instansi pemerintah yang lain. Banyak inovasi yang sebenarnya bisa dilakukan untuk memperbaiki birokrasi Indonesia. Tinggal masalah kemauan.

Ke depan, saya berharap ketika masyarakat mendengar kata PNS, apa yang dipikirkan berbeda dengan stereotip PNS saat ini. Semoga ketika orang melihat saya, yang terbayang adalah PNS itu pekerja keras. Bayangkan, jika 4 jutaan PNS kita memiliki kinerja yang tinggi, pasti rakyat Indonesia jauh lebih makmur dari sekarang. Tugas yang amat berat memang yang berarti saya harus jauh lebih produktif. Selain aktif melakukan inovasi kecil-kecilan di kantor, lebih rajin menulis di media serta kerja-kerja lainnya, saya harap studi saya di bidang Public Administration nantinya dapat membantu saya mewujudkan harapan tersebut. Dalam dunia birokrasi, terkadang sesuatu yang terlalu progresif agak sulit untuk diaplikasikan. Oleh karenanya saya memilih untuk semoga, dapat menjadi bagian dari perubahan yang sedikit demi sedikit namun pasti. Dan semoga, anekdot lama tentang PNS hanya menjadi memori saja..

Rencana Studi

Saya Anugrah Endrawan Yogyantoro, alumni Diploma IV STAN dengan IPK 3,39. Skripsi saya berjudul The Influence of Corporate Governance on Bonds Rating: Evidence from Indinesia. Saya mengangkat judul tersebut karena penelitian mengenai tatakelola korporat yang baik dikaitkan dengan rating obligasi yang masih minimal. Selain itu, saya juga sempat menyelesaikan skripsi berjudul “Persepsi Wajib Pajak terhadap Pelayanan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Tegallega” pada STIE Indonesia Jakarta. Penelitian tersebut masih berkaitan dengan tatakelola khususnya di sektor publik, khususnya terkait kepuasan dari stakeholder atas pelayanan di kantor pemerintahan di Kementerian Keuangan.

Untuk studi master, saya berencana mengambil program Master of Public Administration di University of Exeter. Program ini berlangsung selama satu tahun dengan komposisi dua semester perkuliahan dan disertasi. Perkuliahan semester pertama akan diisi mata kuliah compulsory/wajib. Pada mata kuliah Management and Governance:Comparing Public Administration around the World saya akan mendapatkan overview atas best practice internasional atas praktik administrasi public. Dengan memahami contoh terbaiknya, saya berharap mendapatkan pemahaman utuh atas praktik terkini terkait tata kelola sektor publik.

Terkait pelayanan publik, pada mata kuliah Policy and Politics: the theory and Strategy of Delivering Public Services saya akan memahami filosofi, strategi sampai aplikasi dari pelayanan publik. Modul ini juga akan mambahas studi kasus keberhasilan dan kegagalan atas sebuah kebijakan agar dapat menarik lesson learn atasnya. Modul terakhir, Public Sector Finance for Managers, membahas aspek manajemen keuangan dari sektor public dengan pemahaman teori, studi kasus dan tugas kelompok

Di semester kedua, modul perkuliahan The New Public Management: Principles, Practice and Prospects akan memberikan pemahaman teoritis dan konseptial yang melandasi praktik dari NPM dalam organisasi public dan kerjasama pemerintah swasta. Selain itu, modul Global Governance and Administration, akan dijelaskan bagaimana koordinasi global mencapai keberhasilan ataupun kegagalannya. Akan dipelajari pula kunci utama dari sebuah organisasi, baik dari struktur, operasional, sampai efek yang akan dirasakan dari tatakelola kepada masyarakat. Dalam modul Project Management in the Public Sector, akan didalami lebih jauh masalah pelik yang sering dialami pemerintah adalah tentang terkait deadline pelaksanaan proyek publik (seperti penyerapan anggaran). Modul ini merupakan kombinasi dari penugasan case study, penugasan kelompok dan riset literatur untuk memahami kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan proyek.
Sebagai tema disertasi, saya berencana melakukan riset dengan mengangkat tema hubungan antara motivasi pelayanan publik atas kepuasan kerja dengan variabel moderasi Person–Organization Fit dengan Needs–Supplies Fit. Penelitian di tema tersebut masih tergolong sedikit di Indonesia, terlebih dalam konteks sektor publik. Penelitian ini mencoba mengkonfirmasi temuan Liu. Tang dan Yang (2013) yang menemukan hubungan efek interaksi tiga arah yang signifikan: karyawan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi ketika motivasi pelayanan publik, Person–Organization Fit, dan Needs–Supplies Fit  semua tinggidan begitu pula sebaliknya. Rencananya data primer akan diperoleh via kuesioner baik online maupun offline dan responden merupakan pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Jika memungkinkan, responden akan diperluas dengan mengambil sejumlah sampel dari unit-unit eselon I lain di Kemenkeu.

Saya yakin dapat menyelesaikan studi master tersebut di dalam satu tahun dimana perkuliahan semester gasal dimulai bulan September 2016.  Semoga melalui beasiswa LPDP ini, saya dapat meningkatkan pengetahuan yanmerge_from_ofoctg saya miliki di bidang administrasi publik sehingga dapat mendukung kinerja saya di unit organisasi saya.


beberapa hari ini, kita disuguhi perdebatan dan kontroversi yang seolah tiada habis terkait sedekah laut. Kegiatan yang telah membudaya luas di banyak wilayah indonesia ini seakan terbentur dengan salah satu kredo utama Islam, yang biasa disebut akidah. dalam perspektif akidah, segala bentuk penyembahan dan pengorbanan haruslah ditujukan kepada Tuhan semata. sementara itu, pada budaya sedekah laut, sedekah bumi ataupun bentuk sedekah serupa yang lain dinilai terdapat pemujaan kepada unsur lain selain TUhan, apakah itu kepada Dewa Laut, Penguasa Laut Selatan, Dewi Bumi dan lain lain.
Dalam konteks sejarah nusantara sendiri, benturan ini bukanlah hal yang baru. Semenjak berlalunya era kerajaan hindu budha dan beralih kepada kerajaan islam, para penyebar dakwah islam di nusantara sendiri telah mengalami friksi seperti ini. Pada intinya, sebagai konsep agama monotheist, islam akan sangat mempengaruhi tatanan masyarakat nusantara pada saat itu yang hanya mengenal konsep politheistm. Apalagi, dengan konsep ajaran yang sederhana, rasional dan gamblang, islam seolah dihadapkan dengan budaya irasionalitas beragama saat itu yang masih serupa dengan konsep penyerahan pemberian kepada alam serupa sedekah laut ini. berdasarkan catatan imperium turki utsmani, yang menjadi mercusuar dakwah masif ke asia tenggara pada era sembilan wali, terdapat salah satu muballigh yang dikirimkan ke indonesia dan menjadi penyebar islam. setelah sebelumnya pulau sumatera relatif mudah ditaklukkan oleh para juru dakwah dari timur tengah, kali ini muballigh yang dikirimkan memiliki kompetensi khusus pula di luar ilmu agama, yakni botani dan pemerintahan. hal ini dilakukan untuk meyakinkan para raja2 di jawa bahwa mereka dapat memberikan bantuan khusus terkait ilmu yang bermanfaat bagi kerajaannya, selain memang membawa misi dakwah. sejak saat itu, pelan-pelan para juru dakwah ini mulai mewarnai kehidupan islam di jawa, hungga berhasil mengubah sistem kerajaan yang semula berlandaskan budaya hindu budha menjadi kerajaan islam. kendati sudah mewarnai sistem kerajaannya, di sisi adat istiadat para muballigh ini memiliki tantangan yang cukup berat. budaya penyembahan politheisme yang terwujud dalam banyak upacara pengorbanan di masyarakat jawa masih amat mengakar. namun, seiring perkembangan waktu penyebaran islam yang hingga kini bisa meliputi 85% penduduk indonesia, banyak muslim yang mulai memahami dampak keimanan dari melaksanakan hal tersebut sehingga budaya tersebut terlokalisir hanya ke muslim abangan dengan literasi rendah dan penganut kepercayaan lain saja.
peran NU dalam pencerahan rakyat
hingga era pencerahan islam yang berlangsung sekitar awal 1900 dan dimotori oleh muhammad abduh, organisasi dakwah islam di pulau jawa dan pulau pulau lainnya di nusantara masih dilakukan secara parsial dan sporadis, saya kira. umumnya dakwah dimotori oleh kiyai tertentu yang sudah memiliki pengaruh dengan pesantren2nya. sejak syaikh khatib minangkabawi dan murid muridnya membentuk berbagai ormas islam di indoneisa, dakwah islam semakin terorganisasi dengan rapih. masing masing memiliki lahan dakwahnya sendiri, salah satunya NU. NU memiliki lahan dakwah di level grassroot yang tentu saja masih melaksanakan budaya2 bawaan sejak zaman kerajaan hindu budha. perlahan tapi pasti, kiyai kiyai yang menjadi subordinat dr KH Hasyim Asyari terus mengedukasi rakyat tentang pelaksanaan ajaran islam yang kaffah. dari sisi metode dakwah, NU menggunakan mazhab yang cukup fleksibel sehingga dapat merangkul masyarakat yang masih cukup kental budaya lamanya. prinsip tasamuh/toleransi berjalan dengan cukup kuat sehingga dari sisi marketing, NU bisa memiliki penganut yang cukup banyak. bahkan hungga kini, NU tetap menjadi leader afiliasi keislaman rakyat indonesia, dengan segala plus minusnya. tak heran jika NU menjadi yang berdiri terdepat saat polemik sedekah laut mencuat belakangan ini. interpretasi dan ijtihad mereka seolah mewakili usaha dakwah yang selama ini mereka pelopori: islam yang toleran. di sisi lain, kalangan islam yang lebih puritan dan berusaha benar benar mengamalakan ajaran islam sesuai sunnah terus mempelopori pembersihan masyarakat dari budaya bawaan tersebut.

Lirik Mars Setjen Kemenkeu

Cipt. Duta Wiratama Wicaksana

Orch. Arya Yudistira

Sekretariat Jenderal nyata berkarya

Profesional tunaikan tugas

dengan antusiasme tinggi,

etos kerja yang sejati

Strategis dan berwawasan ke depan

modern dan bermutu

Pengayom yang berintegritas, Sekretariat Jenderal

Bersama junjung tinggi

semangat inovasi

Responsif menghadapi

dinamika perubahan

Kami maju berderap tanpa ragu

demi Kementerian Keuangan

wujudkan cita bangsaku

Kami satu

komitmen jadi penggerak utama

Bekerja cerdas, berhasil guna

Sekretariat Jenderal

Jalankan fungsi koordinasi

Tata k’lola sumber daya

Rajut sinergi, harmonisasi

Berkinerja, berprestasi

Kami maju berderap tanpa ragu

demi Kementerian Keuangan

wujudkan cita bangsaku

Kami satu komitmen jadi penggerak utama

Bekerja cerdas, berhasil guna

Sekretariat Jenderal

Sekretariat Jenderal

Tujuan hidup

Pagi ini aku teringat sebuah fragmen Sederhana tapi lucu dari salah satu komik kesukaanku. Ceritanya tentang 2 robot serupa manusia yang merupakan mesin pembunuh dari tokoh jagoan dalam komik tersebut. Di tengah misi pengejaran mereka terhadap buruannya, sebuah dialog mereka yang isinya kurang lebih begini muncul di kepalaku

18: tapi ya bagaimana, kita sebagai robot juga butuh tujuan
19: benar, karena kita diprogram profesor untuk membunuh si kakarot

Dialog tersebut dapat mengilustrasikan tentang hampanya sebuah eksistensi keberadaan atau kehidupan, tanpa adanya tujuan. Bahkan, sebuah robot cyborg (bahasa Indonesianya cyborg apa sih?)saja lebih memilih jadi assasin daripada hidup tanpa tujuan. Mereka mungkin tahu itu sebuah kejahatan. Tadi ya gimana, mereka sudah terikat sama afiliasinya, si profesor tokoh antagonis komik itu..

Di negeri yang asing bagi saya, tanah Britania Raya mengajarkan hal serupa di atas juga, untuk punya tujuan hidup. Sering kali, hidup di Indonesia yang amat nyaman melupakan saya untuk kekeuh mengejar tujuan hidup. Indonesia, negara religius yang tidak punya masalah serius dengan tingkat bunuh diri, adalah tempat yang didiami bermacam pemeluk agama yang kesemuanya sangat taat dalam beribadah. Konsekuensinya, selain fakta bahwa kita semua sangat menghargai toleransi dan kedamaian demi pembuktian masing-masing pemeluk agama atas ejawantah (opoiki) ajaran agamanya, di sisi lain saya merasa kita punya PR di sisi yang lain: kurang ngotot bekerja meraih kehidupan dunia. Agama seringkali disalahpahami sebagai kehidupan di akhirat saja, tanpa korelasi dengan kemakmuran dunia. Padahal, buat saya yang menganut Islam, kami percaya tujuan penciptaan manusia adalah sebagai leader di muka bumi. Sebagai pemimpin peradaban yang karenanya manusia harus memiliki 2 ilmu utama: ilmu dunia sebagai tools mengelola ruang dan waktu yang diamanatkan kepadanya dan ilmu agama sebagai tools yang menjaga manusia agar selalu berada dalam instruksi, manual yang ditetapkan Tuhan sebagai ‘pembuat’ kita, yang Mahatahu bagaimana memaksimalkan potensinya demi kebaikannya tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Kata salah seorang Ustadz, ilmu dunia ini justru malah lebih besar dayanya dalam menghasilkan pahala, yang efek ubahnya bisa menembus ruang dan waktu. Bahasa lainnya mungkin amal jariyah bagi Muslim.

Sayangnya, bagi banyak warga Indonesia yang notabene amat religius (at least dibanding Inggris lah hehe), rasa greget mengejar maksimalnya pemanfaatan dunia ini masih belum ada saya rasa. Orang bule sini amat ngotot mengejar kebahagiaan dunia, sementara orang Indonesia yg mayoritas Muslim belum begitu. Padahal, harusnya tidak ada dikotomi mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat (terlepas dari mengejar hidup akhirat relatif lebih mudah, ‘tinggal’ banyak2 ibadah). Sebab itu, banyak juga yang mengklaim negara maju lebih islami dari negara Islam dalam beberapa hal: mulai yg kecil spt antri, sampai bagaiman merawat alam. Sungguh miris.

Rasanya sedikit pemikiran liar ini bisa diakhiri dengan pesan bahwa harusnya rakyat Indonesia harusnya lebih ngotot dalam memiliki dan memperjuangkan tujuan2nya, baik tujuan keduniaan maupun tujuan akhirat, sebagai ciri bangsa kita yg religius. Ada baiknya juga diketahui bahwa tulisan ngasal ini muncul saat si penulis sedang ngotot mencapai tujuan dunianya: mencari sarapan di tukang lontong sayur medan. Ceritanya aku menyengaja lari pagi 3km dengan tujuan beli sarapan menu kesukaan itu. Which is lumayan  kuat niatnya sehingga  bisa  mengejar target 23menit lari. Tapi rupanya gerobaknya ga ada. Si abang ga jualan.

Feldstein Horioka puzzle berlatar belakang asumsi bahwa pergerakan capital di seluruh dunia adalah bebas dan tidak dipengaruhi oleh batas antarnegara, serta hampir tanpa biaya. Dalam praktiknya, korelasi antara investment dan saving di dalam satu negara tidaklah rendah, melainkan sangat tinggi/eccessive.

 

Why people trade asset internationally?

 

Belajar Bahasa Inggris sejak lama adalah passion saya. Dengan mempelajarinya, selain merasa keren (??), saya yakin bahwa ilmu bahasa juga akan memudahkan hidup saya. Karena itulah janji Tuhan: para pencari ilmu akan ditinggikan derajatnya. Ketika selepas lulus D-III STAN ditugaskan di Sekretariat Kemenkeu-OECD (sebuah lembaga internasional), saya menyadari skill Bahasa Inggris saya amat lemah. Karenanya, kemudian mendaftarlah saya di kursus TOEFL PBT LBI-UI (Universitas Indonesia). Ini juga sebagai persiapan melanjutkan pendidikan D-IV saya. Pertama kali mengikuti tes prediksi TOEFL, skor saya masih di bilangan 490. Setelah kursus, di exit test skor TOEFL saya bisa naik di level 550. Skill ini amat membantu saya saat Ujian Saringan Masuk D-IV, hingga akhirnya saya lulus dan bisa berkuliah kembali.

 

Setelah merampungkan D-IV di akhir 2013, saya yang kala itu masih belum ‘mengenal’ IELTS kembali mengisi waktu after-hours dengan kursus TOEFL. Agak salah jalan sebenarnya, karena sejak belajar TOEFL saya terlanjur berobsesi mencapai target TOEFL maksimal, 677. Terlalu ambisius ya? Itulah mengapa saya “salah jalan” hehe.. Kembali, kursus menjadi cara yang ampuh untuk menaikkan skor prediksi TOEFL saya (karena belum pernah merasakan official TOEFL test). Selain rutin berlangganan Jakarta Post sepekan sekali, menonton film Amerika dan mendalami buku TOEFL Bruce Rogers adalah cara saya memperdalam TOEFL. Di exit test, alhamdulillah saya bisa mencapai level 620.

 

Selepas belajar TOEFL, saya mulai mencari info perbeasiswaan, termasuk LPDP. Saya kaget tatkala mengetahui umumnya kampus asing mempersyaratkan IELTS/TOEFL IBT, bukan TOEFL PBT/ITP. Pikiran saya langsung terbayang kepada 1 hal: kursus lagi. Walau membutuhkan banyak pengorbanan (termasuk waktu bersama keluarga LDR saya), worthed rasanya. Ketika mempelajarinya, ternyata IELTS amat berbeda dengan TOEFL. Untung saya tidak telat banget. Masih ada setengah tahunan sebelum saya diizinkan kantor untuk mengikuti seleksi beasiswa, LPDP Batch I 2016. Tiga bulanan belajar, saya kecewa saat tau nilai IELTS exit test masih stuck di 5.0. Rencana tes pun saya tunda. Memperbanyak latihan buku IELTS Cambridge untuk Reading dan Listening serta bergabung dengan grup Line IELTS kemudian saya lakukan (info lengkap, silakan join Facebook Group “Indonesia IELTS Study Group”:).  Credit goes to Sir Yosserin, sang “Daddy-nya” grup yang memberikan banyak masukan kepada kami tentang IELTS. Karenanya, tidak rugi-rugi banget rasanya  menunda beberapa bulan. Namun demikian, penundaan tes IELTS ini pun mau tidak mau berakibat saya harus membuat plan B, dari mendaftar LPDP dengan hasil IELTS menjadi ‘hanya’ dengan TOEFL. Untungnya, saya telah belajar TOEFL PBT dan alhamdulillahnya setelah official test, saya mendapat skor 573, lebih dari syarat minimal LPDP, 550. Skor itulah yang kemudian saya submit untuk registrasi online LPDP di 14 Januari, sambil tetap mempersiapkan tes IELTS.

 

Tibalah saatnya hari yang menegangkan itu, tes IELTS pada 23 Januari. Saya memilih IDP Bandung sebagai testvenue. Sabtu itu, saya menyesal tidak bisa perform my best di sesi Speaking, salah satu section yg saya anggap sebagai kekuatan saya. Karenanya, sayapun ragu mendapat 6.0 di section ini. Untuk section lain, saya menargetkan asal dapat average 6.5 sajalah.. Menjelang pelaksanaan seleksi substansi LPDP, skor IELTS saya keluar pada 5 Februari. Alhamdulillah, hasilnya melebihi perkiraan. Skor total saya 7.0 dengan subscore Reading 8.0, Listening 7.0, Writing 6.5 serta 6.0 pada Speaking yang alhamdulillah bisa melewati ‘nilai mati’ 5.5. Hasil yang tidak linear dengan prediksi saya. Skor ini benar-benar menjadi confidence booster dalam mempersiapkan interview LPDP. Pada hari H tanggal 12 Februari, alhamdulillah Tuhan memudahkan. Essay, LGD, dan yang paling penting interview dapat dilalui dengan memuaskan. Saya ingat, para pewawancara menunjukkan raut wajah berbeda sesudah IELTS report saya perlihatkan. Pada 10 Maret, alhamdulillah akhirnya saya dinyatakan lulus Tes Substansi LPDP.. Ini, bagi saya, adalah skenario Tuhan yang tidak linear, karena saya sempat menganggap TOEFL PBT sudah out-of-date. Nyatanya, kedua tes bahasa itu saling melengkapi: TOEFL ‘menambal’ seleksi administrasi LPDP sementara IELTS mempermudah tes substansinya.

 

Lesson-learnt yang saya dapat, adalah memperdalam ilmu -dalam hal ini Bahasa Inggris- tidak akan mengingkari janji Tuhan. Dengan belajar, Tuhan alhamdulillah meninggikan ‘derajat’ akademik saya. Yang sebelumnya D-III ke D-IV. Yang sekarang D-IV ke S-II, insyaAllah.. Hikmah lainnya, seringkali Tuhan menetapkan rezeki manusia dengan cara-Nya sendiri, yang tidak linear dengan prediksi kita. Karenanya, cukuplah jalankan kewajiban kita: berusaha. Dan tak lupa, berdoa. Semoga Tuhan mudahkan usaha kita semua dalam menuntut ilmu, amiin 🙂

 

-ditulis sebagai spesial tribute untuk keluarga kecilku-
kalo anda mengira artikel ini membahas tentang Toefl IBT, maaf, bukan 😦

Marwata adalah hakim ad hoc Pengadilan Tipikor dari masyarakat umum. Sebelumnya dia adalah salah satu auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tak hanya ahli akuntansi, Marwata adalah Certified Fraud Examiner (CFE), sertifikasi internasional bagi spesialis pencegahan dan pemberantasan penipuan.

Marwata dikenal sebagai salah seorang hakim Tipikor yang kerap menyatakan dissenting opinion, atau pendapat berbeda, dengan hakim lainnya. Salah satu kasus besar di mana dia menyatakan pendapat berbeda adalah kasus suap Pilkada Lebak, Banten, dengan terdakwa Ratu Atut Chosiyah.

Menurutnya, Atut tidak terbukti melakukan korupsi dan harus dibebaskan. “Dakwaan dan tuntutan dibangun berdasarkan asumsi Akil bahwa terdakwa (Atut) sudah mengutus Wawan (saudara kandung Atut) untuk mengurusi sengketa pilkada Lebak,” kata Alexander. 

Dalam sesi wawancara, Alex disentil soal dissenting opinion saat putusan vonis pegawai Ditjen Pajak Dhana Widyatmika yang dinyatakan bersalah karena menggelapkan pajak.

Alexander berpendapat Dhana tidak pernah menerima dan menikmati uang Rp 2 miliar dari Liana Apriany dan Femi Solikhin. Uang itu tidak ada hubungannya dengan tugas dan kewajiban Dhana dalam kapasitas sebagai pegawai pajak. Alex juga mengatakan Dhana tidak terbukti melakukan pemerasan terhadap PT Kornet Trans Utama.

Dalam sesi wawancara, ia juga memberikan kritik pada KPK. Menurutnya, penyidikan kasus korupsi di KPK lamban, dan dakwaan dari jaksa KPK disusun asal-asalan.

(http://www.rappler.com)

Hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Alexander Marwata menjadi sorotan dalam seleksi calon pimpinan (capim) jilid IV kali ini.

Pasalnya, Alexender beberapa kali memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion saat memvonis terdakwa tindak pidana korupsi alias koruptor.

Dia menjadi salah satu peserta dari unsur hakim dari 19 nama yang telah mengikuti seleksi tahap akhir dari ‘sembilan srikandi’.

Alex sendiri pernah menjadi salah satu auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 1989-2011 dan merupakan ahli akuntansi.

Saat mengikuti tes wawancara beberapa hari lalu, Alex menginginkan penyidikan di lembaga antirasuah itu tidak terlalu lama.

Pasalnya, dirinya menilai ada beberapa kasus yang terkatung-katung hingga hitungan tahun.

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini pun tidak masalah jika nantinya tak diloloskan Pansel KPK. (okezone.com)

 

Jabatan terakhir: Hakim Ad Hoc Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2012 -sekarang)
Jabatan sebelumnya: Auditor Ahli BPKP (1989 – 2011)

Pendidikan
– SD Plawikan I di Klaten (lulus 1980)
– SMP Pangudi Luhur di Klaten (lulus 1983)
– SMAN I di Yogyakarta (lulus 1986)
– D-IV: STAN, Akuntansi, di Jakarta (lulus 1995)

Persoalan korupsi bukan hal asing tentunya bagi Alexander Marwata. Namun sosoknya cukup kontroversial lantaran pernah melakukan dissenting opinion dengan menyatakan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah tidak terbukti korupsi.

Kini Alex menduduki jabatan yang penting yaitu pimpinan KPK. Alex terpilih bersama dengan 4 orang lainnya yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang, Basaria Panjaitan dan Laode M Syarif melalui voting di Komisi III DPR, Kamis (17/12/2015) malam.

Alex pernah menjadi auditor ahli BPKP. Keahliannya sebagai auditor itu cukup lama diterapkan saat di BPKP yaitu sejak 1989 hingga 2011.

Persoalan tentang dissenting opinion pernah disinggul pula dalam wawancara dengan pansel. Saat itu Alex dicecar mengenai putusannya yang kerap berbeda pendapat dalam mengadili koruptor.

Namun menurut Alex, hal itu seharusnya jadi koreksi untuk KPK. Alex menyebut dalam perkara korupsi yang ia tangani, banyak surat dakwaan yang terkesan disusun asal-asalan.

“Kalau dakwaan dibuat asal-asalan dengan pembuktian tidak profesional, terus nanti hakimnya ada mindset, seolah KPK tidak pernah salah, itu menurut saya justru jadi bumerang,” ujarnya saat itu.

Selain sebagai auditor, Alex juga berpengalaman sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Tentunya, dakwaan yang disusun KPK bukanlah hal asing bagi Alex.

Pada saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, pada Senin (14/12) lalu, Alex sempat menyinggung soal fungsi supervisi yang dimiliki KPK. Menurut Alex, seharusnya KPK bisa menjadi quality insurance bagi proses penyidikan di Kepolisian dan Kejaksaan.

“KPK seharusnya menjadi quality insurance bagi kepolisian dan kejaksaan. Disparitas dakwaan dan kualitas pembuktian itu sangat jauh. Supervisi belum berjalan optimal,” kata Alex.

Menurut Alexander, perbedaan kualitas penindakan itu sangat ketara di surat dakwaan dan saat proses pembuktian di persidangan. Sebagai hakim ad hoc tipikor Jakarta, Alex sangat paham mengenai kualitas dakwaan para jaksa.

Terlepas dari itu, salah satu ide Alex yang cukup mencuri perhatian yaitu tentang sorotannya soal gaya hidup mewah yang biasanya diidentikkan dengan tindak pidana korupsi. Hidup mewah bisa jadi tanda tanya bila kenyataannya si pejabat negara hanya punya satu pemasukan dari penghasilan yang jumlahnya tidak sebanding dengan harta.

Kesesuaian gaya hidup dengan penghasilan para pejabat negara ini yang menjadi penting. Pengecekan terhadap laporan harta kekayaan perlu dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya penyimpangan.

Upaya ini yang ditekankan Alexander Marwata. Konsep yang disebut lifestyle check ini menurutnya menjadi deteksi awal ada tidaknya dugaan tindak pidana korupsi dengan cara melihat kesesuaian penghasilan dengan gaya hidup penyelenggara negara.

“Konsep ini secara sistematis akan berjalan dari level masyarakat hingga pelaporan ke KPK. Sehingga proses cek dan ricek dari dugaan korupsi akan semakin berjalan efektif,” ujar Alexander saat dihubungi, Selasa (8/12/2015).

Melalui konsep ini, Alex mengajak peran serta aktif masyarakat untuk mengamati perilaku para penyelenggara negara yang memiliki gaya hidup yang tidak sesuai dengan profil penghasilannya.

Alex yang berpengalaman 20 tahun menjadi auditor memang kerap menemukan kejanggalan antara penghasilan dengan transaksi yang dilakukan baik atas nama pribadi maupun bisnis. Pengecekan ini juga bisa dilakukan dengan membandingkan laporan pajak.

“Semisal karyawan setingkat staf tapi sudah memiliki rumah dan mobil mewah yang tidak mungkin dibeli dari gaji selama dia berkerja tanpa ada penghasilan tambahan,” sambung hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini.

Upaya pencegahan, menurut Alex, harus dilakukan sejalan dengan upaya penindakan. Nah untuk mengawasi para pejabat negara, maka diperlukan koordinasi kuat antara KPK dengan lembaga atau pun institusi lain.

“Kita akan bekerjasama dengan badan usaha milik negara, lembaga ataupun institusi lain terutama dengan bagian inspektorat jenderal atau pengawasan internal. Serta melakukan sosialisasi mengenai peran aktif masyarakat untuk turut memantau gaya hidup para pejabat di Indonesia dan bekerja sama dengan KPK,” papar dia.

Alex berencana memperkuat direktorat pengawasan di masing-masing instansi. “Saya akan memperkuat fungsi pengawasan dengan menjalin kerjasama dalam langkah prosedur pengawasan, konsultasi pelaksanaan e-budgeting dan e-tender,” ujarnya.

Tapi butuh peran serta masyarakat untuk ikut mengawasi para pejabat negara. Bila ditemukan kejanggalan utamanya terkait melonjaknya harta kekayaan dalam waktu singkat, maka masyarakat bisa memberi laporan.

“Silakan awasi, catat dan laporkan jika terjadi penyimpangan-penyimpangan terutama penumpukan harta yang abnormal. Korupsi adalah musuh bersama, peran aktif masyarakat akan membuat peran penindakan KPK semakin tajam dalam memberantas praktik korupsi. Dengan semakin ketatnya pengawasan dari masyarakat, akan mempersempit ruang gerak dan kesempatan para oknum pejabat yang hendak melakukan rasuah,” sambung dia.

(detik.com)

Komisi III DPR telah memilih Alexander Marwata sebagai salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (17/12/2015) malam. (Baca: 5 Pimpinan Baru KPK)

Alexander mendapatkan 46 suara dalam voting tahap pertama. Dengan demikian, dia menjadi salah satu dari lima pimpinan KPK periode 2015-2019.

Sebelum terpilih sebagai pimpinan KPK, Alexander adalah hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Ia merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Universitas Indonesia (UI, Fakultas Hukum). Sebelum menjadi hakim, Alexander adalah salah satu auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Alexander sempat menjadi sorotan dalam seleksi calon pimpinan (capim) jilid IV kali ini. Pasalnya, Alexender beberapa kali memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion saat memvonis terdakwa tindak pidana korupsi.

Menurutnya, dalam perkara korupsi yang ia tangani, banyak surat dakwaan yang terkesan disusun asal-asalan. Ia menilai para penyidik seakan hanya kejar setoran.

“Kalau dakwaan dibuat asal-asalan dengan pembuktian tidak profesional, terus nanti hakimnya adamindset, seolah KPK tidak pernah salah, itu menurut saya justru jadi bumerang,” ujar Alexander, seperti dilansir kabarhukum.

Alexander mengatakan bahwa pendapat berbeda (dissenting opinion) yang dimilikinya itu karena tidak ingin putusan diambil berdasarkan opini yang berkembang di masyarakat atau media massa.

“Saya buat dissenting bukan untuk gagah-gagahan. Justru dissenting itu harus jadi koreksi, jadi introspeksi untuk KPK dan kejaksaan,” ujarnya, dikutip Kompas.

Melihat keteguhan sikapnya, ada secercah harapan penegakkan hukum akan berprinsip keadilan bukan pesanan maupun opini media (trial by the press).

(pkspiyungan.org)

Alexander Marwata, Ak., SH, CFE (L)(Tangerang Selatan, Banten) LinkedIn
-hakim ad hoc Tipikor PN Jakarta Pusat sejak 2011
dissenting opinion pada kasus suap oleh Kwee Cahyadi Kumala, menganggap pemberian uang oleh Kwee ke Bupati Bogor Rachmat Yasin bukan upaya membuat Rachmat Yasin melakukan penyalahgunaan kewenangan
turut memvonis Walikota Palembang Roni Herton bersalah dalam kasus suap ke MK dan menjatuhkan hukuman penjara 6 tahun
turut memvonis Bupati Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang bersalah dalam kasus suap ke MK dan menjatuhkan hukuman penjara 4 tahun
dissenting opinion pada vonis Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, menganggap Atut tak terlibat penyuapan ke MK (2014)
dissenting opinion pada vonis pejabat Kemenkes Mulya Hasjmi (2013)
menganggap Dirut PT Indoguna Maria Elizabeth Liman sebagai korban permainan mafia daging, namun tetap ikut menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 3 bulan (2014)
dissenting opinion pada vonis Susi Tur Andayani dalam kasus suap ke MK, menyatakan jaksa KPK lalai dalam menyusun tuntutan (2014)
dissenting opinion pada vonis Ketua MK Akil Mochtar dalam kasus suap ke MK, menyatakan Akil tidak dapat dituntut dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (2014)
turut memvonis bebas mantan Dirut Merpati Hotasi Nababan dalam kasus korupsi sewa pesawat Merpati (2013), membuat Hotasi Nababan menjadi terdakwa pertama yang divonis bebas di Pengadilan Tipikor Jakarta
turut memvonis direktur PT Indoguna Arya Abdi Effendi & Juard Effendi bersalah dalam kasus suap impor daging dan menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 3 bulan (2013)
turut memvonis anggota FGolkar DPR Zulkarnaen Djabar bersalah dalam kasus korupsi pengadaan Qur’an, menjatuhkan hukuman penjara 15 tahun (2013)
dissenting opinion pada vonis pegawai pajak Dhana Widyatmika dalam kasus korupsi dan pencucian uang, menyatakan Dhana tidak pernah menerima dan menikmati sendiri gratifikasi (2012)
turut memvonis anggota FPAN DPR Wa Ode Nurhayati bersalah menerima suap dan melakukan pencucian uang, menjatuhkan hukuman penjara 6 tahun (2012)
turut memvonis Fahd El Fouz bersalah memberi suap ke Wa Ode Nurhayati, menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan (2012)

https://litsuscapimkpk2015.wordpress.com/

Postingan Alexander Marwata di Milis Alumni STAN, Sang Hakim Tipikor

Pengumuman ada di website Mahkamah Agung atau di Kompas hari senin tanggal 13 Mei 2013. Syaratnya tidak mesti Sarjana Hukum, yang penting berpengalaman dalam bidang hukum, keuangan, perpajakan, perbankan, pasar modal atau audit sekurang-kurangnya 15 tahun dan usia minimal 40 tahun. Bagi alumni STAN yang berminat saya sangat yakin kemungkinan diterima sangat besar. Pada saat saya daftar angkatan III ada 2 alumni STAN yang daftar dan diterima, kebetulan dari BPKP semua, yang satu Nurbaya Lumbangaol sekarang di pengadilan tipikor Denpasar. Selama ini kebanyakan yang daftar adalah dari kalangan pengacara. Dari 125 hakim ad hoc tipikor tingkat I yang ada saat ini, 110 diantaranya adalah mantan pengacara. Dari pengalaman saya yang baru 1 tahun lebih menjadi hakim tipikor, latar belakang auditor (terutama dari investigasi) sangat membantu dalam menggali fakta-fakta di persidangan, apalagi kalau kasusnya menyangkut korporasi/BUMN. Terus terang, saya tidak menemui banyak kesulitan ketika pertama kali menangani perkara. Dan hampir semua perkara, dimana saya ikut menjadi majelisnya, saya yang membuat putusan. Tahun lalu saya dapat limpahan perkara paling banyak. Mudah-mudahan tahun ini perkaranya sudah berkurang, sehingga ada indikasi pemberantasan korupsi ada hasilnya.

Kebenaran dan keadilan memang relatif, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Demikian juga dengan keadilan menurut hukum, tergantung bagaimana masing-masing majelis hakim memandang sebuah peristiwa hukum dihubungkan dengan kaedah-kaedah hukum yang berlaku. Ini masalah keyakinan. Saya memang belum lama menjadi hakim (baru 17 bulan), tetapi secara pribadi saya sudah membuat putusan bebas untuk 5 terdakwa korupsi. 3 disenting opinion (saya berbeda pendapat dengan majelis lainnya), dan 2 putusan bebas murni karena pertimbangan hukum saya didukung oleh majelis lainnya, Putusan bebas murni itu menjadi catatan bagi PN Tipikor Jakarta, karena menjadi yang pertama dan kedua setelah delapan tahun berdiri.

Pendapat Tentang Dissenting Opinion Ratu Atut:

saya nggak mungkin memberi komentar di mailist. semua sudah saya
sampaikan secara terbuka di persidangan. tentang alasan DO media sudah mengulas, meski tidak secara lengkap. ulasannya ada yang bener dan ada yang setengah bener. biarkan saja mereka menulis sesukanya. saya sadar DO yang saya sampaikan melawan arus opini publik, “KPK can do no wrong”.

saya juga sadar DO saya tidak akan pernah dianggap oleh hakim di tingkat banding maupun kasasi. ini hanya masalah keyakinan berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan. dan saya tidak bisa membohongi diri sendiri… yang jelas setelah putusan malamnya saya masih bisa tidur dengan nyenyak. saya nggak ada beban. kapan-kapan kita diskusikan
mas Dwi….

Pendapat Tentang Suap dan Tipikor:

setelah sekian waktu hanya menjadi penikmat diskusi tentang kualitas aparat penegak hukum kita, akhirnya nggak tahan juga untuk sedikit nimbrung…
saya tidak ingin menilai kemampuan aparat penegak hukum kita, entah itu lawyer, jaksa/polisi atau hakim, soalnya sementara ini saya menjadi bagian dari mereka. (he…3x).
tentang alat bukti elektronik berupa rekaman penyadapan, photo, video yang diakui dalam pembuktian TPK sependek pengalaman saya di pengadilan tipikor tidak pernah menjadi bukti utama dalam persidangan. bukti-bukti itu hanya menjadi bukti petunjuk yang menguatkan alat bukti lainnya dan menambah keyakinan hakim. jadi keyakinan hakim tidak dibangun hanya dari bukti rekaman itu. dalam perkara akil mochtar yang sudah divonis seumur hidup, BBM yang diperlihatkan di persidangan yang ditolak oleh akil, sebenarnya hanya satu petunjuk untuk menguatkan bahwa antara akil dan muchtar ependy ada komunikasi. akil selalu menolak pernah berkomunikasi dan kenal dekat dengan muchtar ependy.
sementara dari keterangan saksi-saksi dan bukti surat menunjukkan kedekatan akil dengan muchtar ependy. bukti elektronik juga tidak selalu diperlihatkan atau ditunjukkan di persidangan jika dari keterangan saksi-saksi, terdakwa sudah mengakui atas terjadinya suatu peristiwa. memang bukti elektronik menjadi salah satu andalan KPK untuk mengungkap TPK terutama dalam operasi tangkap tangan.

suap di UU TPK ada suap pasif pasal 5 dan suap aktif pasal 12 huruf a,b, dst. sedangkan Gratifikasi pasal 12B. ada lagi pasal 11 untuk PNS/penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji. dikatakan suap kalau penerimanya melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya. sedangkan gratifikasi pasal 12B dan pasal 11 tidak perlu dibuktikan atau terbukti bahwa penyelenggara negara/PNS yang menerima hadiah atau janji melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya atau bahasa sederhananya pemberian hadiah itu sebagai bentuk ucapan terima kasih. lazimnya penuntut umum dalam mendakwakan pasal suap, jika belum yakin atas kesalahan terdakwa, membuat dakwaan subsidaritas atau alternatif pasal 5, pasal 12 atau pasal 11. kenapa pasal 12 ancaman hukumannya lebih berat dari pasal 5. meskipun sama-sama ada kewajiban hukum yang dilanggar, misalnya menyalahgunakan kewenangan, tetapi dalam suap pasal 12 terdakwa dinilai lebih aktif atau memiliki inisiatif untuk terjadinya suap. misalnya terdakwa dalam menerima suap disertai dengan ancaman kepada pemberi suap.  lumrah kalau hukumannya lebih berat.

penyuap dalam UU TPK diatur dalam pasal 5, 6 dan 13. pasal 6 dikhususkan untuk penyuapan kepada hakim dan penasihat hukum untuk mempengaruhi putusan hakim. ancaman hukumannya sampai dengan 15 tahun. sedangkan pasal 5 maksimum 5 tahub dan pasal 13 maksimum 3 tahun. saya sangat setuju hukuman bagi penyuap mestinya sama dengan penerima suap. apalagi jika suap itu terjadi atas inisiatif pihak penyuap.

hukum adalah sistem norma yang dibangun dengan logika. namun dalam praktik kadang-kadang logika itu tidak berjalan atau tidak digunakan, karena semangat berkobar untuk memberantas korupsi dan memiskinkan koruptor. itulah kenapa saya sering membuat dissenting opinion (DO). saya tidak membela putusan DO yang saya buat, bisa jadi DO yang saya buat dikarenakan saya yang tidak memahami logika hukum di Indonesia. silakah menilainya…

(Bayu Sulistiantoro, 2013)

Secara umum, terdapat tiga pemikiran mengenai dampak ekonomi dari defisit anggaran, yakni: Neoklasik, Keynesian, dan Ricardian. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya untuk terlebih dahulu meriviu struktur dasar dan implikasi dari masing-masing pemikiran atau paradigma tersebut.

Dalam pandangan Neoklasik, individu dianggap memiliki pandangan jauh ke depan untuk merencanakan konsumsinya selama siklus hidup mereka. Defisit anggaran meningkatkan total konsumsi seumur hidup dengan menggeser pajak ke generasi berikutnya. Jika sumber daya ekonomi diberdayakan seluruhnya, peningkatan konsumsi perlu menunjukkan adanya penurunan tabungan. Kemudian suku bunga harus naik untuk membawa pasar modal mencapai keseimbangan. Dengan demikian, defisit yang persisten menggeser (“crowd out“) akumulasi modal privat. Dalam lingkungan ekonomi saat ini, sebagian besar ekonom akan setuju bahwa konsekuensinya akan sangat merugikan.

Dalam pandangan Keynesian, sebagian besar penduduk dianggap baik memiliki pandangan jangka pendek atau likuiditasnya dibatasi. Individu ini memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk mengkonsumsi pendapatan saat ini. Karena itu penurunan pajak temporer memiliki dampak signifikan yang langsung dan kuantitatif terhadap permintaan agregat. Jika sumber daya ekonomi pada awalnya menganggur, pendapatan nasional meningkat, sehingga menghasilkan efek berikutnya yang dikenal dengan sebutan multiplier Keynesian. Karena defisit merangsang konsumsi dan pendapatan nasional, tabungan dan akumulasi modal tidak perlu terpengaruh. Dengan demikian, defisit pada waktu yang tepat memiliki konsekuensi menguntungkan.

Dalam pandangan Ricardian, generasi ke generasi terhubung melalui transfer sumber daya secara sukarela dan motivasi untuk berkorban. Dalam kondisi tertentu, ini berarti bahwa konsumsi ditetapkan sebagai fungsi sumber daya dinasti (yaitu, total sumber daya pembayar pajak dan semua keturunannya). Karena defisit hanya menggeser pembayaran pajak kepada generasi mendatang (nilai-nilai diskonto sekarang dari pajak dan pengeluaran harus sesuai), meninggalkan sumber daya dinasti dalam kondisi tidak terpengaruh. Dengan demikian, kebijakan defisit adalah masalah indifference.

Diantara tiga paradigma tersebut diatas terdapat pendukungnya masing-masing. Pemikiran seseorang tentang apakah defisit baik, buruk, atau tidak relevan secara fundamental tergantung pada pilihannya tentang paradigma yang ada. Berikut dibahas lebih detail mengenai ketiga paradigma tersebut.

 

 

Paradigma Neoklasik

Model standar dari Neoklasik memiliki tiga fitur utama. Pertama, konsumsi setiap individu ditentukan sebagai solusi untuk masalah optimasi antarwaktu, di mana baik meminjam dan memberikan pinjaman diperbolehkan pada tingkat suku bunga pasar. Kedua, individu memiliki rentang hidup yang terbatas. Setiap konsumen termasuk ke dalam kelompok atau generasi tertentu, dan rentang hidup dari generasi ke generasi tersebut saling tumpang tindih. Ketiga, pembukaan (kliring) pasar secara umum diasumsikan dalam semua periode.

Paper yang dibuat oleh Diamond (1965) merupakan upaya pertama untuk mempelajari secara formal mengenai pengaruh defisit anggaran dalam konteks model tersebut. Diamond berpendapat bahwa peningkatan permanen dalam ratio of domestically held debt to national income menekan kestabilan capital-labor ratio. Pada tingkat suku bunga original, konsumen tidak bersedia mempertahankan volume original dari modal dan obligasi fisik, ditambah dengan obligasi baru. Kenaikan suku bunga merangsang penambahan tabungan dan mengurangi investasi sampai ekuilibrium pasar modal dibangun kembali. Dengan demikian, defisit pemerintah yang persisten menggeser akumulasi modal privat.

Analisis Diamond berfokus pada perubahan permanen dalam defisit, dan tidak menjelaskan efek dari perubahan temporer. Baru-baru ini, Auerbach dan Kotlikoff (1986) telah melakukan simulasi kebijakan dalam model Neoklasik yang jauh lebih kompleks. Analisis mereka menekankan bahwa dampak langsung dari defisit anggaran temporer mungkin sangat kecil, dan mungkin merugikan (defisit temporer mungkin merangsang tabungan dalam jangka pendek). Hasil ini mencerminkan beberapa pertimbangan. Dimulai dengan, perekonomian memiliki kehidupan yang cukup lama, sehingga dampak kenaikan kekayaan seumur hidup pada konsumsi saat ini “wealth effect” cukup kecil, mungkin beberapa sen dolar. Selain itu, jika pengeluaran pemerintah konstan, maka defisit temporer mencerminkan pengurangan pajak. Biasanya, ini berarti tarif pajak marjinal lebih rendah. Pengurangan tarif pajak pendapatan nasional merangsang tabungan secara langsung dengan menaikkan tarif pajak setelah pengembalian. Tarif pajak pendapatan pekerja yang sementara waktu lebih rendah mendorong substitusi antarwaktu, meningkatkan penghasilan saat ini, dan tabungan. Untuk parameter yang wajar, efek ini mungkin mendominasi efek kekayaan. Dengan demikian, paradigma Neoklasik menyiratkan bahwa defisit temporer harus memiliki pengaruh yang sangat sedikit, atau bahkan memberikan efek berlawanan pada variabel ekonomi dalam jangka pendek.

Meski begitu, Auerbach dan Kotlikoff dengan cepat menunjukkan bahwa efek kekayaan berakumulasi dari waktu ke waktu, sehingga bahkan defisit temporer akhirnya menggeser pembentukan modal privat. Misalnya, mereka menemukan bahwa pengurangan tarif pajak penghasilan temporer sebesar sepertiga untuk jangka waktu 5 tahun akan meningkatkan tabungan oleh sekitar 20 persen pada tahun pertama. Namun, dalam kondisi baru yang stabil, modal per kapita akan turun sebesar 7,8 persen.

Pada awal bagian ini, dicantumkan tiga fitur yang menjadi ciri model standar Neoklasik. Masing-masing fitur memainkan peran penting dalam menentukan dampak dari defisit anggaran.

Saat ini sudah banyak literatur yang menyelidiki validitas empiris dari fitur yang pertama, bahwa konsumen berperilaku seolah-olah mereka memecahkan masalah optimasi antarwaktu, dengan akses ke pasar modal sempurna (lihat survei baik oleh King, 1983 dan Hayashi, 1985). Banyak literatur ini dibangun berdasarkan formulasi Hall (1978) tentang hipotesis pendapatan permanen stokastik. Meskipun banyak masalah dengan estimasi dan interpretasi, bukti yang ada mendukung pandangan ini bahwa minoritas yang cukup besar (sekitar 20 persen) dari individu gagal untuk berperilaku dengan cara yang konsisten dengan optimasi antarwaktu tak terbatas. Pandangan ini ditopang oleh bukti eksperimental, yang menunjukkan “ketidakmampuan secara luas untuk membuat keputusan konsumsi yang koheren dan konsisten” dalam konteks perencanaan siklus hidup (Johnson, Kotlikoff, dan Samuelson, 1987). Bahkan, ada yang bertindak cukup jauh dengan menyarankan bahwa maksimalisasi utilitas antarwaktu harus digantikan oleh teori-teori yang lebih menyeluruh berakar pada prinsip-prinsip psikologis (misalnya, Shefrin dan Thaler, 1985).

Mengingat temuan ini, orang mungkin bertanya-tanya bagaimana likuiditas yang dibatasi atau konsumen yang berpandangan jangka pendek akan mengubah hasil Neoklasik yang telah dijelaskan di atas. Salah satu strategi (Hubbard dan Judd, 1986) akan memperkenalkan suatu kendala eksogen pada pinjaman, yang akan mengikat untuk beberapa fraksi dari populasi. Hal ini tidak akan mengubah kesimpulan bahwa peningkatan permanen dalam rasio utang terhadap pendapatan nasional menekan akumulasi modal. Seperti dalam model Diamond, konsumen tak terbatas tidak akan bersedia untuk mempertahankan volume original dari modal dan obligasi, ditambah obligasi baru, pada tingkat suku bunga original. Ketika fraksi konsumen yang likuiditasnya dibatasi meningkat, sensitivitas bunga tabungan jatuh, dan peningkatan suku bunga yang lebih besar diperlukan untuk menyeimbangkan pasar modal. Oleh karena itu, konsumen yang likuiditasnya dibatasi mungkin juga memperkuat kesimpulan bahwa defisit permanen akan menekan akumulasi modal.

Di sisi lain, ini perubahan model Neoklasik menyebabkan prediksi substansial yang berbeda mengenai dampak dari defisit temporer. Bagi individu yang dibatasi, kecenderungan marjinal untuk mengkonsumsi sumber daya yang likuid adalah merupakan kesatuan. Jika terdapat cukup konsumen yang dibatasi, maka pertimbangan ini akan membanjiri efek jangka pendek yang dijelaskan di atas, dan defisit temporer akan memiliki efek negatif yang langsung dan substansial pada tabungan.

Beberapa model pendistribusian kredit menunjukkan bahwa kendala harus merespon secara endogen terhadap kebijakan fiskal. Menggunakan model di mana kendala likuiditas dihasilkan dari masalah adverse selection, Hayashi (1985) dan Yotsuzuka (1986) berpendapat bahwa konsumsi harus sensitif terhadap distribusi pajak selama masa hidup individu, bahkan jika individu tampaknya dibatasi pada periode tertentu. Analisis mereka menunjukkan bahwa kendala likuiditas tidak akan secara signifikan mengubah dampak jangka pendek dari defisit temporer dalam model Neoklasik. Di tempat lain (Bemheim, 1987), telah menunjukkan bahwa hasil dari Hayashi/Yotsuzuka sangat sensitif terhadap asumsi kontrafaktual bahwa pajak merupakan pendapatan independen. Jika pajak di masa datang yang positif berkaitan dengan pendapatan di masa datang, maka efek jangka pendek dari defisit anggaran temporer harus untuk merangsang konsumsi, seperti ketika kendala ditentukan secara eksogen. Selanjutnya, hasil dari Hayashi/Yotsuzuka efektif tergantung pada kemampuan konsumen untuk menggunakan penghasilan masa yang akan datang setelah pajak sebagai jaminan terhadap pinjaman.

Dua fitur tersisa dari model standar Neoklasik sangat penting. Bahkan, karakteristik kedua (finite lifetimes) mendefinisikan perbedaan utama antara kerangka kerja Neoklasik dan Ricardian, sedangkan karakteristik ketiga (full employment) adalah perbedaan utama antara paradigma Neoklasik dan Keynesian.

Implikasi empiris utama dari Neoclassicism adalah jika konsumen rasional, memiliki pandangan ke jauh depan, dan memiliki akses ke pasar modal yang sempurna, maka defisit permanen secara signifikan menekan akumulasi modal, dan defisit temporer memiliki sebuah efek yang dapat diabaikan atau berlawanan pada sebagian besar variabel ekonomi (termasuk konsumsi, tabungan, dan suku bunga). Jika banyak konsumen yang likuiditasnya dibatasi atau berpandangan jangka pendek, dampak dari defisit permanen tetap tidak berubah secara kualitatif. Namun, defisit temporer harus menekan tabungan dan menaikkan suku bunga dalam jangka pendek. Dengan demikian, paradigma Neoklasik tidak mengikat secara erat efek dari defisit temporer, dan bukti yang berasal dari efek defisit temporer tidak berguna untuk menguji paradigma ini. Pelajaran fundamental dari kerangka Neoklasik memberikan perhatian pada efek dari defisit permanen.

 

Paradigma Keynesian

Pandangan Keynesian tradisional berbeda dengan paradigma Neoklasikal standar dalam dua hal. Pertama, diperbolehkannya suatu kemungkinan bahwa beberapa sumber daya ekonomi tidak diberdayakan. Kedua, disyaratkannya adanya individu yang berpandangan jangka pendek dan terbatas likuiditasnya dalam jumlah yang besar. Asumsi kedua tersebut menjamin bahwa konsumsi agregat sangat sensitif terhadap perubahan pendapatan disposabel.

Dalam cara yang paling sederhadan dan paling naif dari model Keynesian, peningkatan defisit anggaran sebesar $ 1 akan mengakibatkan output meningkat sebesar kebalikan dari marginal tabungan. Dalam analisis standar IS-LM atas ekonomi moneter, peningkatan output juga akan meningkatkan permintaan atas uang. Jika penawaran uang tetap (jikalau, defisit merupakan hasil pembiayaan obligasi), tingkat suku bunga harus ditingkatkan, dan investasi privat akan jatuh. Dan kemudian akan menurunkan output dan secara parsial akan meng-offset efek multiplier dari Keynesian.

Banyak penganut Keynesian tradisional berargumentasi bahwa defisit tidak perlu menggeser investasi privat. Dalam jurnal ini, Eisner menyarankan bahwa peningkatan permintaan agregat menambah keuntungan dari investasi privat dan meningkatkan investasi pada level yang lebih tinggi pada tingkat suku bunga apapun. Oleh karena itu, defisit mungkin sebenarnya menstimulasi tabungan dan investasi agregat, mengesampingkan fakta bahwa akan adanya peningkatan tingkat suku bunga. Dalam pandangan Eisner, peningkatan konsumsi disediakan dari sumber daya yang menganggur.

Terdapat tiga pokok keberatan atas teori Keynesian mengenai defisit anggaran. Pertama, sementara Keynesian dihargai atas pengakuan pentingnya sumber daya menganggur, setelah lebih dari lima dekade mereka tetap tidak mencapai kepuasan penuh atas teori yang mempertimbangkan adanya pengangguran. Mengalihkan penjelasan mengenai kekakuan pemberian upah dengan cara lama hanya menimbulkan pertanyaan. Sementara banyak peneliti telah mengajukan teori yang lebih komplit mengenai pengangguran (semisal Shapiro dan Stiglitz, 1984), tidak ada diantaranya yang telah diterima secara luas.

Pemahaman Keynesian yang rendah atas fenomena pengangguran cukup bermasalah. Ketika kegagalan pasar terjadi, secara potensial akan menyesatkan untuk menganalisis efek dari kebijakan pemerintah berdasar pada asumsi bahwa manifestasi dari kegagalan pasar akan tetap (pokok utama dari Lucas, 1973). Terdapat beberapa contoh dalam literatur dimana kebijakan pemerintah dengan sengaja berinteraksi dengan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan, dengan konsekuensi yang mengejutkan (Analisis Hayashi dan Yotsuzuka merupakan contoh yang bagus). Tanpa teori pengangguran yang lebih komplit, analisis Keynesian merupakan suatu tindakan yang bodoh.

Kedua, pandangan Keynesian terhadap defisit anggaran mengandaikan bahwa pemerintah dapat dan akan “menyelaraskan” kebijakan fiskal. Jika kita mengakui bahwa defisit menstimulasi permintaan aggregate, maka ini berarti bahwa ada keadaan dimana stimulasi ini mungkin merugikan. Bahkan pengikut paham Keynesian paling teguh bersedia untuk mengakui bahwa pada tingkat full employment, defisit riil akan mengalahkan investasi privat dan meningkatkan tingkat inflasi.

Menyadari bahwa biaya riil dari crowding out, banyak penganut Keynesian (seperti Eisner) berargumentasi untuk kebijakan “nominal” defisit, yang akan menghalangi peningkatan defisit riil pada saat perekonomian mencapai full employment. Kebijakan ini akan menyalurkan semua efek dari tidak tepat waktunya defisit ke inflasi. Para pendukung strategi ini tampaknya mengadopsi pandangan murni bahwa inflasi tanpa biaya. Pengalaman tahun 1970-an sangat menunjukkan sebaliknya. Inflasi berinteraksi dengan sistem pajak untuk menghasilkan distorsi yang signifikan dari perilaku. Hal ini sering mendistribusikan kembali sumber daya pada arah yang tak terduga dan tak diinginkan. Sebagai tambahan, tingginya tingkat inflasi berkaitan dengan variabilitas harga yang lebih besar, dan model formal penyesuaian harga menunjukkan hubungan kausal. Dengan demikian, inflasi ketidakpastian yang signifikan terhadap lingkungan ekonomi.

Jika analisis Keynesian menunjukkan bahwa defisit dapat memiliki efek positif atau merugikan, maka manajemen yang tepat untuk kebijakan fiskal menjadi penting. Kita disarankan untuk mengingat bahwa kebijakan anggaran ditentukan oleh Kongres, dan bukan oleh seorang raja filsuf Keynesian. Pengalaman baru-baru ini menggarisbawahi realitas politik: defisit sekali ditetapkan, mereka sulit untuk dikurangi. Gagasan bahwa sistem politik yang bisa menyempurnakan kebijakan fiskal dianggap terlalu mengada-ada. Memang, jika seseorang percaya Eisner, tingkat defisit  telah telah sepenuhnya tidak tepat.

Keberatan ketiga mengenai paradigma Keynesian adalah bahwa hal itu terutama menggambarkan efek dari defisit temporer. Memang, Bernheim berpendapat bahwa pada dasarnya kompatibel dengan paradigma neoklasik, yang terutama menyangkut efek defisit permanen. Dalam kegagalan untuk membedakan antara defisit temporer dan permanen, Keynesian memberikan saran menyesatkan kepada para pembuat kebijakan.

Untuk mengilustrasikan poin ini, diasumsikan untuk kesederhanaan bahwa pengangguran merupakan hasil dari kekakuan upah, dan bahwa upah menyesuaikan dari waktu ke waktu terhadap tingkat ekuilibrium Walrasian. Karena perekonomian mengalami guncangan permintaan agregat eksogen terus-menerus, full employment tidak pernah benar-benar tercapai, namun dengan waktu yang cukup, ekonomi akhirnya beroperasi dalam lingkungan keseimbangan Walrasian.

Sekarang dengan mempertimbangkan dua kebijakan defisit yang berbeda, A dan B. Dalam Kebijakan A, kita gunakan rasio defisit full employment untuk pendapatan full employment nasional yang stabil dari waktu ke waktu. Untuk Kebijakan B, kita melakukan hal yang sama kecuali bahwa kita gunakan rasio konstan pada tingkat yang lebih rendah. Bagaimana dampak dari perbandingan kedua kebijakan tersebut?

Jawaban atas pertanyaan tersebut sebagian bergantung pada keadaan awal perekonomian. Mengesampingkan kondisi awal, kita dapat membandingkan keadaan stasioner. Karena harga tidak bisa menyesuaikan diri dengan guncangan seketika, kedua keadaan stasioner akan menunjukkan pengangguran. Namun, dalam kedua kasus, ekonomi cenderung menuju kesetimbangan full employment. Kesetimbangan ini memerlukan tingkat yang lebih tinggi dari tabungan nasional, dan lebih tinggi akumulasi modal dengan kebijakan B dibandingkan dengan A. Kedua kesetimbangan tidak pernah benar-benar tercapai. Namun, sama sekali tidak ada alasan untuk percaya bahwa guncangan permintaan agregat harus menghasilkan penyimpangan yang lebih besar dari full employment dalam keadaan stasioner untuk kebijakan B daripada kebijakan A.

Hal ini, tentu saja, tersedia kemungkinan untuk memodifikasi kedua kebijakan yang memungkinkan untuk stabilisasi makroekonomi. Ketika faktor eksogen menyebabkan permintaan agregat menjadi rendah, orang akan ingin meningkatkan defisit melampaui tingkat tetapnya. Ketika faktor ini menyebabkan permintaan agregat akan tinggi, defisit harus ditetapkan di bawah tingkat tetapnya. Dengan cara ini, distribusi hasil diwujudkan dalam keadaan stasioner dapat dikompresi terhadap hasil full employment.

Namun, stabilisasi dapat dicapai terlepas dari apakah orang mengejar kebijakan A atau B. Perbedaan utamanya adalah bahwa, dalam kasus pertama, perekonomian cenderung menuju keseimbangan dengan tabungan dan investasi rendah, sedangkan dalam kasus kedua perekonomian cenderung menuju keseimbangan dengan tabungan dan investasi tinggi. Jadi, merupakan suatu hal yang wajar untuk membedakan antara defisit permanen, yang menentukan keseimbangan target dan tingkat akumulasi modal bagi perekonomian, dan defisit temporer, yang memfasilitasi stabilisasi makroekonomi. Analisis neoklasik memberitahu kita tentang yang pertama, dan paradigma Keynesian menjelaskan yang kedua.

Seorang penganut Neoklasik akan cenderung fokus pada defisit rata-rata selama periode tahun, bukan pada tahun-ke-tahun perubahan dalam defisit. Dengan demikian, total utang pemerintah yang beredar mungkin menjadi ukuran jauh lebih informatif atas dampak kebijakan fiskal terhadap akumulasi modal daripada defisit saat ini. Dengan melandaskan kebijakan fiskal countercyclical (semisal defisit temporer) atas defisit permanen yang lebih rendah, pemerintah bisa mencapai tingkat stabilisasi yang sama tanpa perlu mengumpulkan utang yang signifikan. Sebagai penganut paham Neoklasik, Bernheim lebih suka, ceteris paribus, untuk melihat upaya pemerintah dalam rangka menstabilkan perekonomian pada sebuah kesetimbangan dengan defisit permanen yang lebih rendah, dan rata-rata tabungan nasional yang lebih tinggi.

Sayangnya, dalam paradigma campuran yang dijelaskan di atas, seseorang tidak dapat mengubah defisit permanen dengan impunitas. Pertimbangan siklus kehidupan menyiratkan bahwa pengurangan defisit akan menyebabkan permintaan agregat jatuh dengan jumlah yang lebih besar jika konsumen percaya bahwa pengurangan bersifat permanen, daripada jika mereka percaya itu adalah temporer. Dengan demikian, perubahan defisit permanen memiliki efek temporer yang signifikan. Setiap usaha untuk menggerakkan perekonomian menuju kesetimbangan dengan tabungan yang lebih tinggi dapat menyebabkan resesi. Apakah langkah tersebut merupakan langkah yang berharga, tergantung pada kecepatan yang ekonomi menyesuaikan terhadap keadaan stasioner baru, dan tingkat keparahan resesi yang dihasilkan. Sebuah kebijakan sebelum diumumkan secara bertahap menyesuaikan defisit ke bawah (seperti dengan target pengurangan defisit Gramm-Rudman) memungkinkan pelaku ekonomi untuk memasukkan perubahan ke dalam harapan, sehingga meminimalkan biaya transisi.

Pada beberapa poin diskusi sebelumnya hingga kesalahan penting dalam perdebatan defisit, yang telah disebarkan terutama oleh Keynesian. Kesalahan tersebut adalah bahwa “0” –anggaran berimbang- memiliki beberapa makna khusus. Keynesian menulis seolah-olah defisit yang ekspansif, dan surplus yang kontraktif. Memang, Eisner mencurahkan sebagian besar makalahnya dengan tugas untuk meyakinkan pembaca bahwa dalam tahun-tahun tertentu, pemerintah sebenarnya telah menjalankan surplus, meskipun penampilan defisit. Namun, itu bukan merupakan isu. Seperti Kotlikoff (1986) berpendapat, definisi keseimbangan adalah secara inheren sewenang-wenang. Selain itu, untuk menilai apakah defisit yang diberikan adalah ekspansi atau kontraksi, seseorang harus menentukan komponen temporernya. Sebuah anggaran berimbang mungkin sangat kontraktif jika pemerintah telah menjalankan defisit sebesar 3 persen dari pendapatan nasional untuk waktu yang cukup lama, dan sangat ekspansif jika pemerintah telah mempertahankan surplus anggaran sebesar 3 persen dari pendapatan nasional untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya, ada anggapan bahwa tidak ada yang permanen. Defisit harus dari tanda-tanda tertentu. Jika tabungan swasta tidak cukup untuk mencapai tingkat sosial yang diinginkan dari akumulasi modal, maka pemerintah harus menjalankan surplus permanen. Kebijakan fiskal ekspansif (defisit temporer) akan terdiri dari pengurangan surplus di bawah tingkat tetapnya, dan kebijakan kontraktif akan memerlukan surplus yang lebih besar dari normal.

 

 

 

Paradigma Ricardian

Inti dari pandangan Ricardian adalah bahwa defisit hanya menunda pajak. Seorang individu yang rasional harus dapat melihat melalui tabir antarwaktu dan menyadari bahwa nilai diskonto sekarang dari pajak tergantung hanya pada pengeluaran pemerintah yang nyata, tidak pada waktu pajak. Kejelian ini memunculkan “Hukum Say” untuk defisit: permintaan untuk obligasi selalu terbit untuk mencocokkan pinjaman pemerintah. Karena waktu pajak tidak mempengaruhi kendala anggaran seumur hidup individu, tidak dapat mengubah keputusan konsumsinya. Akibatnya, defisit anggaran (baik temporer dan permanen) tidak memiliki efek yang nyata. Perhatikan bahwa logika ini tidak dengan cara apapun tergantung pada sumber daya full employment.

Relevansi pandangan Ricardian tergantung pada panjangnya perencanaan konsumen di masa datang. Jika kebijakan fiskal menunda pemungutan pajak sampai setelah wajib pajak saat ini telah meninggal, maka mungkin mengubah keputusan ekonomi riil. Pandangan utama Barro (1974) adalah bahwa altruisme antargenerasi dapat bertindak untuk memperpanjang perencanaan masa depan individu, sehingga mengembalikan versi yang kuat dari ekuivalensi Ricardian. Dengan demikian, paradigma Ricardian modern membayangkan keluarga sebagai “dinasti” unit, dalam arti bahwa setiap keluarga yang dianggap sebagai agen tunggal dengan umur terbatas.

Ketidakrelevanan yang ketat dari kebijakan fiskal (“ekuivalensi Ricardian”) tergantung pada berbagai asumsi yang kuat. Ini termasuk: 1) generasi ke generasi dihubungkan dengan transfer yang bermotivasi untuk berkorban; 2) pasar modal yang baik sempurna, atau gagal dalam cara tertentu, 3) konsumen rasional dan berpandangan jauh ke depan, 4) penundaan pajak tidak mendistribusikan sumber daya di seluruh keluarga dengan kecenderungan marjinal sistematis berbeda untuk mengkonsumsi, 5) pajak non-distortif, 6) penggunaan defisit tidak dapat menciptakan nilai (bahkan tidak melalui gelembung), dan 7) ketersediaan pembiayaan defisit sebagai instrumen fiskal tidak mengubah proses politik. Hal tertentu dapat membuat kasus yang kuat terhadap hasil Ricardian dengan menimbang validitas masing-masing asumsi dalam isolasi (Bernheim sudah membahas asumsi kedua dan ketiga, lihat Bemheim (1987a, b) untuk pembahasan rinci yang lain). Namun dalam pandangan Bernheim, argumen yang paling kuat terhadap Ricardianism adalah bahwa asumsi ini, diambil bersama-sama, memiliki berbagai kesimpulan yang absurd, yang ekuivalensi Ricardian adalah yang paling berbahaya.

Implikasi kolektif asumsi Ricardian dieksplorasi oleh Bernheim dan Bagwell (1988). Mereka mencatat bahwa struktur keluarga dalam analisis Barro adalah sangat tidak realistis. Secara implisit, Barro mengambil setiap keluarga dinasti menjadi independen. Generasi ekonom masa depan tidak diragukan lagi akan mengambil manfaat dari kemajuan terbaru dalam pendidikan seks. Untuk spesies manusia, propagasi biasanya membutuhkan partisipasi dari dua individu yang tidak berhubungan. Dengan demikian, hubungan keluarga membentuk jaringan yang kompleks, di mana setiap individu milik kelompok dinasti banyak, dan di mana individu tidak terkait berbagi keturunan yang sama. Karena hubungan antara keluarga, itu adalah dalam mungkin umum untuk mewakili keluarga tertentu (atau set keluarga) sebagai agen tunggal pemaksimalan utilitas, bahkan ketika kesejahteraan setiap individu diasumsikan hanya tergantung pada konsumsi sendiri dan kesejahteraan anak-anaknya.

Bernhheim dan Bagwell menunjukkan bahwa hasil Barro (yang pada dasarnya menetapkan ketidakpekaan konsumsi terhadap distribusi hibah selama anggota keluarga) hanya tergantung pada keberadaan transfer yang bermotivasi untuk berkorban (kadang-kadang disebut “hubungan operasi”) antara anggota keluarga, dan bukan pada struktur tertentu dari pohon keluarga. Tapi kemudian perkembangan hubungan antara keluarga menimbulkan sifat netralitas yang jauh lebih kuat dalam kondisi lemah dari yang dikenakan oleh Barro. Secara khusus, semua transfer pemerintah (termasuk yang antara anggota yang tampaknya tidak berhubungan dari generasi yang sama) tidak relevan, karena mereka hanya mendistribusikan sumber daya antara individu-individu yang terkait, meskipun renggang. Selain itu, semua instrumen pajak (termasuk apa yang disebut “distorsi” pajak) yang setara dengan pajak lump-sum. Ini mengikuti dari kenyataan bahwa, dengan pengeluaran tetap pemerintah, pajak hanyalah transfer dikondisikan pada tindakan spesifik. Karena setiap pemindahan kontingen tidak relevan, seluruh paket harus relevan. Akhirnya, di bawah asumsi dinasti, harga akan memainkan peran dalam proses alokasi sumber daya (harga hanya aksi-kontingen transfer antara pihak jauh terkait).

Adalah penting untuk menekankan bahwa “superneutrality” menghasilkan untuk tidak memerlukan setiap individu untuk peduli secara langsung atau tidak langsung tentang semua kerabat jauhnya. Memang, kesimpulannya  bertahan bahkan ketika setiap individu hanya peduli tentang konsumsi sendiri dan anak-anaknya. Yang penting adalah bahwa kerabat jauh yang terhubung oleh beberapa rantai transfer pribadi berkorban termotivasi. Dalam kesetimbangan, aliran sumber daya melalui rantai ini meng-offset kebijakan pemerintah.

Hasil ini menyiratkan bahwa paradigma Ricardian tidak memberikan pendekatan yang dapat diterima dengan realitas. Secara khusus, mereka menimbulkan keraguan serius tentang manfaat dari kerangka dinasti sebagai alat analisis untuk mempelajari isu-isu kebijakan publik. Jika kita sepakat bahwa pajak, transfer, dan harga tidak bahkan dekat untuk menjadi tidak relevan, maka kita juga harus sepakat bahwa dalam arti tertentu, yang relevan dengan kebijakan tentang dunia bahkan tidak mendekati untuk menjadi dinasti. Oleh karena itu, kita harus menganggap kesimpulan yang diperoleh dalam kerangka ini, termasuk proposisi kesetaraan Ricardian, dengan skeptisisme yang cukup. Anda tidak dapat langsung menyatakan bahwa model ini digunakan sebagai pendekatan yang baik dalam satu konteks, tapi tidak di negara lain. Selanjutnya, dalam prakteknya sangat sulit untuk memodifikasi model dengan cara yang masuk akal yang melindungi ekuivalensi Ricardian (setidaknya sebagai sebuah pendekatan) sementara menghilangkan hasil netralitas tidak bisa dipertahankan, tanpa memperkenalkan kesulitan baru dan sama-sama mengganggu (untuk diskusi, lihat Bemheim dan Bagwell, 1988; Abel dan Bemheim, 1987).

Tujuan Bernheim dalam makalah ini bukan hanya untuk meremehkan paradigma Ricardian, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa pendekatan neoklasik lebih tepat untuk analisis kebijakan. Hal itu penting untuk membahas secara panjang lebar beberapa ciri utama yang membedakan Ricardianism dari Neoclassicism. Fitur ini menyangkut perencanaan jangka panjang  konsumen yang efektif (yaitu, apakah wajib pajak bertindak seolah-olah mereka yang hidup terbatas, atau umur tak terbatas?).

Paradigma Ricardian mencakup dua asumsi mengenai transfer antargenerasi: bahwa sebagian besar individu baik secara sukarela membuat atau menerima transfer disengaja (sebagai lawan transfer disengaja, yang merupakan hasil dari ketidakpastian tentang tanggal kematian), dan bahwa transfer ini termotivasi oleh altruisme. Dan kemudian konsumen bertindak seolah-olah mereka memiliki cakrawala yang tak terbatas. Saya menganggap dua asumsi ini bergantian.

Sejumlah penulis telah mencatat bahwa pada kondisi ketat diperlukan untuk menjamin bahwa generasi-generasi selanjutnya akan dihubungkan melalui transfer sukarela. Jika ekonomi tumbuh perlahan-lahan, maka orangtua mungkin mewariskan kekayaan kepada anak-anak mereka, dan jika tumbuh dengan cepat, anak-anak dapat membuat hadiah kepada orang tua mereka. Namun, pada umumnya berbagai tingkat pertumbuhan yang mentransfer aliran ke arah baik (misalnya, Abel, 1985, dan referensi yang dikutip di dalamnya). Selain itu, rasio kekayaan orangtua untuk kekayaan anak berbeda secara luas di seluruh populasi, sehingga yang biasanya diharapkan beberapa fraksi keluarga jatuh ke kisaran antara “tidak transfer”. Dalam kasus tersebut, redistribusi sumber daya di seluruh anggota keluarga (melalui defisit) tidak akan diimbangi dengan transfer pribadi. Akhirnya, jika individu tidak yakin tentang pendapatan masa depan (maka pasti tentang apakah mereka akan membuat atau menerima transfer), maka redistribusi antar generasi akan secara umum memiliki efek yang nyata.

Penganut Ricardian umumnya mengabaikan argumen ini dengan alasan bahwa teori tersebut tidak menetapkan kuantitatif penting dimana konsumen mungkin atau mungkin tidak melakukan transfer, dan itu adalah masalah empiris. Oleh karena itu, penting untuk menekankan bahwa ada dua alasan teoritis untuk percaya bahwa jumlah yang sangat besar individu akan berada dalam kesetimbangan, biasanya menemukan diri mereka untuk menyimpulkan solusi (alokasi di mana kendala non negatif pada transfer mengikat), tidak membuat transfer, atau menerima hadiah.

Alasan pertama berikut ini berasal dari analisis Bemheim dan Bagwell. Karena hubungan altruistik orang tua-anak dimana-mana akan menanamkan hampir semua individu dalam jaringan interkoneksi tunggal, konsumsi setiap individu akan tergantung hanya pada kekayaan agregat (mengingat sifat hasil utama: dengan hubungan altruistik, konsumsi tidak tergantung pada distribusi sumber daya). Setiap kenaikan kekayaan agregat, maka cukup dibagi di antara seluruh penduduk. Ketika seorang individu meninggalkan konsumsi untuk membuat hibah kepada anaknya, ia pada dasarnya meningkatkan kekayaan agregat dari semua individu lain selain dirinya sendiri. Dengan alasan sebelumnya, warisan itu akan berada dalam kesetimbangan yang akan dibagi rata antara semua orang, jika perekonomian besar, akan ada efek yang dapat diabaikan pada konsumsi anaknya. Kecuali, donor calon sangat peduli tentang banyak individu selain anaknya, ia akan lebih memilih untuk tidak membuat warisan sama sekali. Dalam kesetimbangan, sejumlah besar donor altruistik harus didorong untuk para pendatang.

Alasan kedua adalah bahwa perilaku pemerintah yang rasional umumnya akan memerlukan pengendali sejumlah besar individu untuk menyimpulkan solusi (Bemheim, 1989). Alasannya sederhana: ketika transfer yang positif, setiap donor bersifat acuh tak acuh pada marjin antara konsumsi sendiri dan dari penerima yang sesuai. Anggaplah bahwa pemerintah memaksimalkan fungsi kesejahteraan sosial yang melekat berat untuk kesejahteraan donor maupun penerima (beberapa generasi hidup dan bahkan suara pada setiap titik waktu). Kemudian ketika donor acuh tak acuh, pemerintah harus lebih memilih transfer tambahan (pemerintah “menghitung dobel” preferensi penerima-sekali secara langsung, dan sekali melalui utilitas dari donor). Fungsi kesejahteraan sosial dimaksimalkan hanya ketika kendala non negatif pada transfer mengikat. Dalam dunia yang pertama-terbaik, pemerintah akan mendorong semua individu untuk menyimpulkan solusi. Bahkan ketika instrumen fiskal yang distortif, pemerintah selalu memiliki pilihan untuk pengadaan pajak kepala non-diskriminatif. Argumen sebelumnya menunjukkan bahwa pemerintah akan menggunakan pajak perorangan untuk mengusir beberapa fraksi besar penduduk untuk menyimpulkan solusi.

Secara keseluruhan, argumen teoritis tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa banyak individu melakukan transfer berkorban termotivasi. Namun, mereka menunjukkan bahwa paradigma Ricardian, yang mengasumsikan bahwa hampir semua individu merupakan pihak seperti transfer, sangat tidak masuk akal. Bukti empiris yang ada konsisten dengan keputusan ini.

Studi yang dilakukan oleh Kotlikoff dan Summers (1981) dan Darby (1979) sering dikutip untuk mendokumentasikan pentingnya empiris transfer antargenerasi. Namun, studi ini tidak membuktikan bahwa transfer yang disengaja, bukan ketidaksengajaan (warisan tidak sengaja merupakan hasil dari ketidakpastian tentang panjang kehidupan, disertai dengan pasar anuitas yang tidak lengkap). Selain itu, mereka memberitahu kita apa-apa tentang distribusi transfer seluruh penduduk. Mereka, misalnya, benar-benar konsisten dengan pandangan yang sangat non-Ricardian bahwa hadiah dan warisan terkonsentrasi di antara yang sangat kaya. Sementara beberapa bukti perilaku lain menunjukkan bahwa motif warisan juga hadir di segmen lain dari populasi, tak seorang pun belum berhasil memperkirakan sebagian kecil dari populasi yang transfer sukarela penting. Selain itu, beberapa aspek perilaku, seperti fakta bahwa pasangan tua dengan anak-anak menghabiskan tabungan secepat pasangan tua tanpa anak-anak, menimbulkan teka-teki yang serius bagi mereka yang akan mengklaim bahwa warisan berkorban termotivasi sangat umum (Hurd, 1987a). Akhirnya, beberapa penulis (misalnya Diamond dan Hausman, 1984) telah menemukan bahwa sekitar 20 persen dari populasi tiba di pensiun dengan tidak memiliki harta yang dapat diwariskan secara esensial. Bukti lain menunjukkan bahwa penerimaan hadiah dari anak-anak relatif jarang (Hurd, 1987b).

Saya merujuk ke asumsi lain bahwa transfer antargenerasi termotivasi oleh altruisme. Saya telah menyebutkan kemungkinan bahwa warisan banyak disengaja. Berbagai penulis telah menyarankan motivasi alternatif, termasuk pertukaran intrafamili dan selera untuk kemurahan hati. Setiap pihak berpotensi membatalkan inti dari hasil Ricardian. Sayangnya, sangat sulit untuk membedakan antara formulasi yang berbeda dari preferensi atas dasar penalaran teoritis saja.

Namun demikian, Bemheim, Schleifer, dan Summers (1985) membuat kasus priori untuk kehadiran motif pertukaran. Mereka berpendapat bahwa spesifikasi dinasti dari Barro, yang menggambarkan keluarga sebagai unit sempurna harmonis, sangat terbatas. Lebih umum, bahkan di hadapan altruisme, preferensi anggota keluarga yang berbeda akan menimbulkan konflik, dan distribusi sumber daya keluarga akan mempengaruhi resolusi konflik. Meskipun adanya transfer operasi, perilaku itu akan sesuai lebih dekat dengan prediksi dari model siklus hidup, dibandingkan dengan yang model dinasti.

Bahkan di hadapan konflik, adalah mungkin bahwa altruisme menentukan perilaku pada margin, sehingga kesimpulan Ricardian tetap utuh. Bemheim, Shleifer dan Summers mengatasi masalah ini dengan menyediakan bukti yang mengaitkan perilaku anak terhadap aset yang diwariskan oleh orang tua. Penjelasan altematif untuk hubungan ini, termasuk kemungkinan jelas efek pendapatan, diuji dan ditolak. Hasil ini sangat mendukung pandangan bahwa, sebagai suatu hal yang empiris, pertukaran sebenarnya memotivasi banyak perilaku pada marjin. Temuan ini telah dikuatkan oleh beberapa studi lain.

Dengan demikian, kerangka teori dan bukti dari transfer antargenerasi menimbulkan keraguan sangat serius pada validitas dari asumsi Ricardian. Hal ini sangat mungkin bahwa sebagian besar penduduk tidak membuat atau menerima transfer, dan bahwa transfer sudah ada banyak didorong oleh pertimbangan selain altruisme. Saya menyimpulkan bahwa asumsi Neoklasik dari terbatas pada umur sepenuhnya tepat.

 

Bukti Empiris Langsung

Ketika pemilihan paradigma yang sesuai dapat menyediakan beberapa kunci mengenai kemungkinan efek dari deficit anggaran, masalah tersebut kemudian menjadi salah satu yang empiris. Saat ini, banyak lembaga yang melakukan penelitian hubungan antara deficit anggaran dengan sejumlah variabel ekonomi. Sebelum meninjau terkait bukti empiris tersebut, berikut beberapa komentar terkait.

Dengan beberapa pengecualian, studi yang ada tidak berusaha untuk membedakan antara pengaruh dari deficit yang bersifat temporer atau permanen. Karena berbagai literatur pada umumnya mempelajari pengaruh antara pergerakan deficit dalam tahunan atau bulanan serta variable ekonomi lainnya, sangat mungkin bahwa sejauh hal tersebut informative, dalam perkiraan yang mencerminkan dampak dari defisit temporer. Jika kita menemukan bahwa defisit temporer memiliki dampak signifikan dalam aktivitas ekonomi, hal ini akan memunculkan pendapat untuk menolak sudut pandang Ricardian. Di lain pihak, tidak adanya dampak signifikan agan menimbulkan pendapat melawan sudut pandang Keynesian. Atas dasar ini, Ricardians sering mengadopsi praktik menyesatkan menyiapkan paradigma Keynesian sebagai kaki tangan, dan telah ditafsirkan sebagai bukti terhadap Keynesianisme mendukung Ricardianism. Namun saya tahu tidak ada bukti makroekonomi yang sudah ada yang cukup bisa ditafsirkan bahwa Ricardianism mendukung Neo klasik. Karena kerangka neoklasik (dimodifikasi untuk memungkinkan adanya beberapa likuiditas dibatasi atau konsumen rabun) tidapk memiliki prediksi yang kuat mengenai dampak dari defisit temporer, bukti makroekonomi yang ada praktis menunjukkan tidak ada titik terang sekali pada validitasnya.

Hal ini juga penting untuk diingat bahwa prediksi dari setiap paradigma tertentu mungkin berbeda secara substansial dengan adanya perubahan asumsi tambahan. Sebagai contoh, model Keynesian akan memprediksi bahwa defisit akan berpengaruh sedikit atau tidak ada terhada suku bunga jika salah elastisitas permintaan uang itu cukup tinggi, atau di bawah pertimbangan ekonomi terbuka dan relatif kecil ke seluruh dunia. Dengan demikian, kegagalan untuk menemukan hubungan jangka pendek yang signifikan antara defisit dan tingkat bunga tidak secara langsung menetapkan bahwa pendekatan Keynesian secara fundamental salah.

Perkiraan makroekonomi dari hubungan antara defisit dan variabel ekonomi lainnya juga mengalami sejumlah masalah ekonometrik yang besar. Pengukuran deficit merupakan permasalahan, (lihat paper Eisner, atau Boskin, 1986), dan hasilnya sangat sensitif terhadap penyesuaian yang telah dibuat. Endogenitas dari variabel ekonomi selalu menimbulkan kesulitan dalam mengukur defisit, pengeluaran pemerintah, konsumsi, pendapatan, dan suku bunga semua ditentukan sebagai bagian dari keseimbangan yang sama. Model empiris variabel agregat umumnya tidak memuaskan (lihat diskusi Hayashi tentang hubungan konsumsi agregat), dan spesifikasi yang tidak tepat dari hubunganantar variable tersebut dapat menghasilkan hasil yang palsu. Banyak model makroekonomi empiris sangat pelit, sulit untuk percaya bahwa pergerakan suku bunga, konsumsi, atau GNP dapat secara memadai ditangkap oleh beberapa variabel ekonomi. Akhirnya, identifikasi ekonometrik biasanya lemah.

Ciri yang terakhir adalah adanya beberapa elaborasi. Aktivitas ekonomi sangat bergantung  pada harapan, namun hal tersebut secara umum sulit untuk diamati. Kebijakan pemerintah mungkin memiliki pengaruh yang berbeda, tergantung apakah harapan tersebut telah diantisipasi sebelumnya atau tidak. Selain itu harapan pada umumnya memiliki hubungan dengan aktivitas saat ini dan kebijakan pemerintah, sehingga variabel penjelas biasanya berisi informasi palsu. Misalnya, defisit saat ini mungkin cenderung mendahului pemotongan  terhadap pemerintah di masa yang akan datang.

Mengingat pertimbangan-pertimbangan ini, masing-masing harus enggan untuk mempersalahkan setiap paradigma semata-mata atas dasar bukti makro ekonometrik. Namun demikian, pola makroekonomi yang kuat, diambil dalam hubungannya dengan teori dan bukti mikro ekonomi, dapat menyediakan tambahan terhadap keseluruhan pertanyaan. Bukti-bukti tentang hubungan antara deficit dan variable ekonomi yang lain bercampur. Untuk menghemat ruang, pembahasan akan difokuskan kepada tiga variable yang paling banyak dipelajari yaitu: konsumsi, suku bunga dan pendapatan nasional.

 

Konsumsi

Lebih dari selusin penulis telah melakuan analisis terhadap hubungan antara deficit anggaran dengan konsumsi agregat (reviu terhadap literature ini, Lihat Barnheim, 1987a,b). Secara sepintas literatur tersebut menunjukkan bahwa para penulis memperoleh kesimpulan yang berbeda melalui metode analisis yang sama terhadap data time series Amerika Serikat. Pada kenyataannya, perbedaan-perbedaan ini hanyalah suatu ilusi yang besar.

Perbedaan nyata dalam hasil dalam kebanyakan kasus dapat ditelusuri ke formulasi yang berbeda dari hipotesis null. Sejumlah penulis melakukan regresi konsumsi dalam anggaran deficit dan penerimaan bersih perpajakan, bersama dengan berbagai variable. Hipotesis null alami untuk spesifikasi adalah versi naïf kebanyakan dari paradigm Keynesian pendapatan bersih setelah pajak, bahwa deficit tidak memiliki dampak terhadap konsumsi. Hipotesis null tersebut secara umum ditolak. Sejumlah penulis lainnya melakukan regeresi konsumsi dalam anggaran deficit dan penghasilan bruto, bersama dengan berbagai variable lagi. Hipotesis null untuk spesifikasi ini adalah paradigm Ricardian penghasilan bruto, waktu pembayaran pajak tidak mempengaruhi konsumsi. Hipotesis tersebut secara umum juga ditolak. Ketika hasil dari hipotesis tersebut diambil untuk dipertentangkan, hipotesis tersebut juga mudah untuk direkonsiliasikan, dalam kedua hipotesis tersebut merepresentasikan suatu kasus yang bersifat ekstrem, dan dalam faktanya dibutuhkan suatu hipotesis intermediet. Memang kebanyakan dari studi tersebut secara konsistem mengestimasikan kecenderungan marjinal untuk konsumsi atas akibat kenaikan defisit pajak antara 0,2 dan 0,5. Ketika hubungan tersebut mungkin adalah palsu, minimal terdapat bukti terhadap paradigm Ricardian.

Dua studi khusus memberikan pendapat lebih lanjut. Bernheim (1987a, b) menggunakan data lintas negara untuk menghubungkan rata-rata konsumsi terhadap rata-rata defisit lebih dari enam tahun dan dua belas tahun periode. Reid (1985) juga menggunakan rata-rata tahun dalam beberapa studi tentang pengalaman AS. Penelitian ini penting, karena mereka merepresentasikan upaya untuk mengukur dampak permanen, sebagai lawan defisit temporer. Bemheim dan Reid menemukan bahwa defisit permanen secara signifikan meningkatkan konsumsi sebagai bagian kecil dari pendapatan nasional. Hasil ini konsisten dengan paradigma neoklasik.

 

Suku Bunga

The Congressional Budget Office (1987) baru-baru ini merangkum metode dan hasil dari beberapa  lusin studi yang menganalisis hubungan antara defisit anggaran dan tingkat suku bunga. Bukti sangat bercampur, dan mudah untuk mengutip sejumlah besar penelitian yang mendukung kondisi apapun yang dibayangkan.

Sebagian besar penelitian yang ada memperkirakan hubungan bentuk terbatas berkurang antara suku bunga dan defisit anggaran. Lainnya memaksakan model yang sangat membatasi penentuan tingkat bunga (Plosser, 1986). Antara kedua penelitian hampir sama menemukan bahwa tidak ada hubungan antara defisit dan tingkat suku bunga, atau yang pjerverse. Oleh karena itu penting untuk diingat bahwa penelitian ini menguji paradigma altematif bersama-sama dengan beberapa hipotesis yang sangat kuat, dan bahwa hasilnya mungkin mengatakan sangat sedikit tentang efek defisit. Sebagai contoh, sementara Plosser menemukan bahwa defisit menekan suku bunga, ia juga menemukan bahwa angka ini pada dasarnya independen dari pengeluaran sktor dan kebijakan moneter. Hasil tersebut menurut Barnheim kurang masuk akal karena hubungan terhadap suku bunga sulit untuk ditentukan.

Hal ini juga penting untuk menekankan bahwa ketika memperkirakan fungsi konsumsi, seseorang memiliki benchmark Ricardian dan Keynesian. Tapi dalam kasus persamaan suku bunga, kita hanya punya patokan Ricardian sebagai benchmark, defisit tidak mengubah suku bunga. Karena model empiris ini dimaksudkan untuk merepresentasikan suatu bentuk tereduksi daripada hubungan perilaku, dimana Keynesian tidak bisa menjelaskan hal tersebut karena tidak adanya informasi yang luas tentang berbagai elastisitas. Dengan demikian, studi yang tidak menolak implikasi Ricardian mungkin juga gagal untuk menolak hipotesis suku bunga lainnya.

 

Pendapatan Nasional

Hubungan antara defisit dan pendapatan nasional telah dipelajari paling luas oleh Eisner, dan Barnheim merujuk pembaca untuk menggunakan makalahnya sebagai bahan kutipan yang relevan. Dalam pandangan Eisner, data sebagai hal yang sangat mendukung dalam sudut pandang Keynesian bahwa defisit secara signifikan menstimulasi aktivitas ekonomi agregat. Meskipun retorika, Barnheim menemukan bukti yang membuat sudut pandang tersebut menjadi luar biasa lemah. Beberapa ekonom harus dibujuk oleh regresi univariat pertumbuhan pendapatan nasional berkelanjuatan pada defisit full employment. Selama resesi, pendapatan nasional rendah, dan kemudian cenderung untuk tumbuh. Selama booming, pendapatan nasional yang tinggi, dan kemudian cenderung turun. Dengan demikian, setiap variabel yang berkorelasi negatif dengan pendapatan nasional juga akan menunjukkan pola seperti yang digambarkan dalam tabel Eisner.

Defisit terhadap pekerjaan mungkin bergerak countercyclically untuk berbagai alasan: pembuat kebijakan mungkin menanggapi tekanan politik untuk melakukan pemotongan pajak ketika pendapatan rendah, mereka mungkin sangat prihatin terjadi distorsi pajak selama resesi, atau bahkan mungkin mereka telah dibujuk (benar atau salah) oleh pendapat Keynesian. Dengan demikian, hasil Eisner juga mungkin palsu. Tidak diragukan lagi, mereka yang bersimpati dengan bukti itu juga akan setuju bahwa pembuat kebijakan harus berusaha untuk mengurangi pendapatan nasional, karena pendapatan nasional berkorelasi negatif dengan pertumbuhan pendapatan nasional di masa yang akan datang.

Dalam penelitian yang lain, Eisner telah memperkirakan jenis yang sama antar hubungan tersebut dengan menggunakan sejumlah besar variabel penjelas. Sementara ia tidak mengakui untuk memperkirakan hubungan struktural, ia juga menghindari pendekatan vektor autoregresi. Dengan demikian, spesifikasi nya adalah tidak sama dengan persamaan struktural, ataupun dengan bentuk yang berkurang tidak terbatas. Praktek implisitnya dengan tidak memasukkan variabel dari persamaan bentuk yang berkurang yang dicurigai, karena masing-masing koefisien bentuk yang berkurang biasanya menggambarkan campuran koefisien dari semua persamaan struktural. Hasilnya sangat sulit untuk menafsirkan hal tersebut, dan Barnheim sama sekali tidak yakin bahwa Eisner berhasil mengendalikan untuk jenis hubungan palsu yang membuat hasil univariat nya tidak informatif.

 

Kesimpulan

Bukti yang ada terkait dengan efek fiskal sulit untuk ditafsirkan. Pengukuran empiris dari efek defisit anggaran temporer tidak sangat bisa diandalkan, dan tidak ada kesimpulan yang kuat yang dapat dibenarkan. Sebaliknya, bukti-bukti tentang efek defisit permanen hampir tidak ada. Defisit Reagan tahun 1980-an memberikan tes yang lebih langsung dari tiga paradigma. Namun diskusi terhadap pendapat lain dalam simposium ini menunjukkan bahwa pengalaman baru-baru ini konsisten dengan banyak penafsiran.

Untungnya, suatu pandangan sama sekali bukan merupakan sesuatu yang agnostik. Paradigma Ricardian harus diberhentikan dengan alasan teoritis, serta berdasarkan bukti perilaku tidak langsung. Sebagian besar bukti makroekonomi yang ada, meskipun lemah juga mendukung pandangan bahwa defisit memiliki efek nyata

Barnheim telah menyatakan bahwa, untuk tujuan analisis, defisit harus didekomposisi menjadi komponen permanen dan temporer. Paradigma neoklasik memberikan teori yang baik dari komponen permanen, sedangkan kerangka kerja Keynesian menjelaskan efek dari komponen temporer. Untuk berbagai alasan, Barnheim merasa skeptis tentang manfaat menggunakan defisit temporer sebagai alat untuk stabilisasi makroekonomi. Oleh karena itu, Barnhaim menyimpulkan bahwa paradigma neoklasik menawarkan wawasan yang paling relevan untuk kebijakan publik. Pemerintahan baru akan melakukannya dengan baik untuk fokus pada tujuan merangsang peningkatan tabungan dan akumulasi modal, dan merumuskan kebijakan untuk secara bertahap mengurangi defisit permanen.

PEMERIKSAAN INVESTIGATIF

PAPER SEMINAR PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA

KELOMPOK 6

KELAS 9A D4 REGULER 2012/2013

Anggota:

  1. Ayudhia Indah Pratiwi (5)
  2. Joustar Margogo Harapan (20)
  3. Martha Widdi Nurfaiza (23)
  4. Yudi Susanto (30)

(untuk mengutip, silakan gunakan “Nurfaiza, et al., 2013” dan sertakan situs wordpress ini)

PROGRAM D4 AKUNTANSI REGULER 2012/2013

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TANGERANG – 2013

 

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

  1. Gambaran Umum Pemeriksaan Investigatif
  2. Pra Pemeriksaan Investigatif
  3. Persiapan Pemeriksaan Investigatif
  4. Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif
  5. Pelaporan Pemeriksaan Investigatif
  6. Perhitungan Kerugian Keuangan Negara/Daerah

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

 

Indonesia tahun ini termasuk salah satu dari tiga besar negara terkorup di dunia dan rankingnya naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pemerintah dan aparat terkait lainnya saat ini sedang giat-giatnya melakukan berbagai upaya dalam rangka memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). KKN tidak hanya menyebabkan kerugian bagi negara tetapi juga meningkatkan pelanggaran terhadap hak–hak sosial dan ekonomi masyarakat. Sehingga masalah KKN di Indonesia perlu dikelompokkan dalam tindakan kriminal yang harus diperangi dengan usaha keras dan langkah tegas secara konsep maupun sistimatis.

BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, memiliki komitmen yang kuat untuk memerangi KKN bersama-sama dengan semua pihak. Kedudukan BPK dalam struktur kenegaraan  semakin kuat pasca amandemen UUD 1945 yang mengubah ketentuan tentang BPK dari semula hanya 1 ayat menjadi 3 pasal 7 ayat. Kedudukan yang semakin kuat ini didukung dengan diterbitkannya Undang–Undang (UU) No. 17 Tahun 2003, UU No.1 Tahun 2004, UU No.15 Tahun 2004, dan UU No.15 Tahun 2006.

Perubahan mendasar terletak pada lingkup pemeriksaan BPK yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara, menjadi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal ini membawa konsekuensi yuridis semakin besarnya mandat yang diemban BPK. Untuk menyelenggarakan mandat tersebut berdasarkan Pasal 4 UU No.15 Tahun 2006, BPK melaksanakan pemeriksaan keuangan negara yang meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, yaitu untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan investigatif merupakan  pemeriksaan  dengan tujuan tertentu dengan prosedur eksaminasi.

Pemeriksaan investigatif dilakukan berdasarkan informasi awal yang bersumber dari internal maupun eksternal BPK. Berdasarkan Pasal 13 UU No.15 Tahun 2004, pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) 06 dan 07, menyatakan bahwa tujuan tersebut di atas dicapai dengan cara mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse). Penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut adalah penyimpangan yang mengandung unsur pidana yang terkait dengan hal yang diperiksa.

Selanjutnya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 mengatur bahwa “apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan  peraturan  perundang-undangan”. Laporan  tersebut  dijadikan sebagai dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pemeriksaan investigatif yang dilakukan berdasarkan Pasal 13 UU No.15 Tahun 2004 adalah pemeriksaan investigatif terkait dengan tindak pidana yang terjadi dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana di bidang perpajakan, tindak pidana di bidang perbankan atau tindak pidana di pasar modal.

Dengan adanya peraturan-peraturan BPK dan juknis pemeriksaan investigatif diharapkan auditor BPK dapat melakukan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah sehingga diperoleh hasil pemeriksaan investigatif yang obyektif, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Gambaran Umum Pemeriksaan Investigatif
  2. Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Investigatif

Pemeriksaan investigatif berbeda dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang sifatnya proaktif yaitu untuk melihat kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI), terutama yang berkenaan dengan safeguarding of asset, yang rawan akan terjadinya penyimpangan. Pemeriksaan investigatif bersifat reaktif, yakni pemeriksaan yang dilakukan sesudah ditemukannya indikasi awal adanya penyimpangan. Penyimpangan  merupakan  definisi  yang  dipakai  sebagai  payung  dari berbagai macam white-collar crime, seperti penyalahgunaan aset, suap, korupsi, pencucian uang, penghindaran pajak, serta fraudulent statements. Pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan ”lanjutan” dari auditing, auditing yang lebih khusus dan mendalam, yang menuju pada pengungkapan penyimpangan.

Pemeriksaan investigatif merupakan bagian dari akuntansi forensik, yaitu aplikasi keterampilan/keahlian keuangan/akuntansi dan cara berpikir investigatif untuk memecahkan masalah-masalah hukum. Hal ini memiliki makna bahwa hasil akuntansi forensik dapat dijadikan alat bukti untuk suatu tuntutan di pengadilan atau layak untuk menjadi perdebatan publik.

Sebagai disiplin ilmu, akuntansi forensik mencakup keahlian keuangan, pengetahuan bisnis, pengetahuan tentang fraud, teknologi informasi, serta pemahaman akan sistem hukum. Akuntansi forensik dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti pemeriksaan investigatif di perusahaan dan pemerintahan, proses litigasi, penelusuran dan penilaian aset, serta reviu bisnis. Pemeriksaan investigatif menerapkan  teknik-teknik  untuk  merekonstruksi  suatu  peristiwa  atau transaksi untuk memastikan fakta mengenai “siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana” di sekitar lingkungan kejadian atau transaksi yang sedang diperiksa.

Tujuan pemeriksaan investigatif sesuai dengan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 adalah pemeriksaan yang dilaksanakan guna mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/Daerah dan/atau unsur pidana.

  1. Konsep Pemeriksaan Investigatif

Pemeriksaan reguler merupakan pengujian prosedural yang pelaksanaannya dilakukan secara reguler atau berbasis pada pelaksanaan kerja untuk menemukan  indikasi  penyimpangan.  Bila  ditemukan  indikasi penyimpangan maka pemeriksa akan memperluas ruang lingkup pemeriksaan dan melakukan analisa untuk membuktikan kebenaran indikasi penyimpangan tersebut, dan kegiatan ini perlu menerapkan keahlian pemeriksaan investigatif. Selain dari hasil pemeriksaan internal BPK, pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan berdasarkan dari informasi eksternal, contohnya permintaan instansi yang berwenang atau pengaduan masyarakat.

Secara garis besar langkah – langkah pemeriksaan investigatif sebagai berikut:

  1. Menganalisis data yang tersedia. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pra pemeriksaan investigatif.
  2. Mengembangkan hipotesis.  Kegiatan  ini  dilakukan  pada  tahapan persiapan pemeriksaan.
  3. Menguji dan memperbaiki hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pelaksanaan pemeriksaa

Dalam  pemeriksaan,  pemeriksa  harus  melakukan  penelusuran  yang mengarah pada upaya menemukan fakta serta menghindari pengumpulan fakta  dan  data  yang  berlebihan  secara  prematur.  Penelusuran  dapat berdasarkan adanya dugaan, pengaduan, kecurigaan, dan fakta-fakta yang selanjutnya dianalisa untuk membuktikan kebenaran adanya penyimpangan. Pemeriksaan investigatif perlu menggali niat pelaku melakukan penyimpangan dan mampu membuktikan apakah penyimpangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan.

Secara teori terdapat empat hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya penyimpangan, yaitu:

  • Motivasi (motivation)

Motivasi pelaku untuk melakukan penyimpangan sangat beragam, mulai dari alasan ekonomi, tekanan dari atasan, sampai balas dendam.

  • Kesempatan (opportunity)

Adanya kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan menyimpang terkait dengan lemahnya Sistem Pengendalian Intern entitas yang diperiksa.

  • Rasionalisasi (rationalisation)

Rasionalisasi  terkait dengan pembenaran  diri si pelaku terkait dengan budaya di entitas yang diperiksa, misalnya tidak adanya hukuman setimpal yang diberikan atas penyimpangan yang diperiksa atau keyakinan untuk mengembalikan aset yang diambil.

  • Kemampuan (capability).

Ketiga penyebab tersebut hanya akan terlaksana apabila pelaku memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan penyimpangan, misalnya keahlian teknologi yang memudahkan pelaku untuk memalsukan dokumen.

Dalam  pelaksanaan  pemeriksaan,  kesempatan  diberikan  kepada  pihak terkait untuk menyampaikan pendapatnya mengenai kejadian yang sebenarnya berdasarkan pendapat mereka masing–masing, dimana dan bilamana peristiwa terjadi. Sehingga tersedia kesempatan untuk membenarkan atau menolak semua indikasi, pengaduan, tuduhan atau penyimpangan tersebut.

  1. Jenis Penyimpangan

Konvensi  PBB anti korupsi  atau United  Nations Convention  Against Corruption (UNCAC) dalam Pasal 15 sampai 25 menguraikan perbuatan – perbuatan  yang  dikategorikan  sebagai  tindak  pidana  dan  penegakan hukumnya, antara lain adalah:

  • menyuap pejabat negara (bribery of national public officials)
  • menyalahgunakan wewenang (abuse of functions)
  • melakukan pencucian hasil kejahatan (laundering of proceeds of crime).

Secara  skematis  Association  of  Certified  Fraud  Examiners  (ACFE) membahas  penyimpangan  di tempat  kerja atau  penyimpangan  terkait dengan pekerjaan/jabatan seseorang (occupational fraud) dalam fraud tree yang terdiri dari:

  • Korupsi (corruption)

Istilah korupsi (corruption) menurut ACFE serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Istilah korupsi menurut UU tersebut meliputi 30 Tindak Pidana Korupsi,   sedangkan corruption menurut ACFE adalah empat bentuk yaitu:

  • konflik kepentingan (conflicts of interests)
  • menyuap (bribery)
  • gratifikasi ilegal (illegal gratuities)
  • pemerasan (economic extortion).
  • Penyalahgunaan aset (asset misappropriation)

Istilah asset misappropriation atau pengambilan aset secara ilegal dalam bahasa  sehari–hari  disebut  mencuri.  Namun  dalam  istilah  hukum, ”mengambil” aset secara ilegal (tidak sah atau melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut disebut menggelapkan. Istilah pencurian dalam fraud tree disebut larceny, yaitu mengambil aset yang dimiliki orang lain di mana  si  pelaku  tidak  memiliki  wewenang  untuk  mengelola  atau mengawasi aset tersebut. Istilah penggelapan  dalam bahasa Inggrisnya adalah  embezzlement,  dimana  si  pelaku  memiliki  wewenang  untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut tetapi kemudian menyalahgunakan wewenang tersebut untuk menggunakan aset bagi kepentingan pribadinya.

  • Salah saji laporan keuangan (fraudulent statements)

Istilah  fraudulent  statements  adalah  penyimpangan  berkaitan  dengan penyajian laporan keuangan. Terdapat dua kelompok dalam penyimpangan ini.

  1. Penyimpangan dalam menyusun laporan keuangan yang terdiri dari: 1) menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya, dan 2) menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya.
  2. Penyimpangan dalam menyusun laporan non keuangan secara menyesatkan, yang disajikan lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya dan seringkali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Bisa tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun ekster
  3. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif

Aksioma (pernyataan) dalam pemeriksaan investigartif antara lain:

  1. Tidak sama dengan kejahatan lainnya, pada hakekatnya penyimpangan itu disembunyikan keberadaannya. Perampok bank menggunakan ancaman atau paksaan, sementara pelaku penyimpangan perbankan, mereka tidak saja mencuri uang bank, tetapi juga menutupi jejak pencuriannya. Sehingga, tidak ada satu pernyataan dari seseorang bahwa penyimpangan telah atau tidak terjadi dalam situasi

Cara untuk menyembunyikan penyimpangan amat banyak dan kadang–kadang amat kreatif sehingga setiap orang bahkan seorang pemeriksa dapat melakukan kecurangan. Karena penyimpangan itu disembunyikan teknik pemeriksaan yang non konvensional sesuai dengan kewenangan harus digunakan secara optimal, misalnya dengan menggunakan keahlian komputer forensik (forensic computer).

  1. Terkait dengan perolehan bukti, pemeriksa melakukan pembuktian dua sisi (reverse proof).  Untuk  membuktikan  bahwa  penyimpangan  telah  terjadi, pemeriksa juga  mencoba membuktikan bahwa penyimpangan tidak terjadi. Demikian juga dalam usaha membuktikan penyimpangan tidak terjadi, maka pemeriksa juga harus mencoba membuktikan bahwa penyimpangan telah tejadi. Karena melakukan pembuktian bersifat dua sisi, teknik pemeriksaan dalam mengumpulkan  informasi/data  harus               diperoleh          baik     dari           pihak  yang memberatkan dan pihak yang meringankan si pelaku penyimpangan.
  2. c. Untuk mendapatkan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa harus juga berupaya membuktikan penyimpangan tidak terjadi Pemeriksaan agar dimulai dengan preposisi bahwa penyimpangan telah terjadi atau sebaliknya hal itu tidak ter Artinya    dalam             melakukan         pembuktian seorang       pemeriksa               agar mempertimbangkan kemungkinan adanya penyangkalan dari pihak lain.
  3. Penetapan adanya penyimpangan adalah mutlak tanggung jawab pengadilan. Dalam pelaksanaan pemeriksaan tanggung jawab pemeriksa adalah untuk mengungkap fakta kejadian, dalam proses penyidikan tanggung jawab aparat penyidik adalah untuk mengumpulkan bukti untuk menyusun tuntutan; dan dalam proses pengadilan, tanggung jawab hakim adalah untuk menyatakan bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa.

Oleh karena itu, pemeriksa tidak boleh menyatakan pendapat mengenai salah atau tidak        bersalahnya seseorang atau pihak tertentu, pemeriksa harus mengembangkan  sebuah teori – bersalah atau tidak bersalah – dalam upaya membuktikan teori tersebut. Dengan asumsi bahwa kasus tersebut akan dilimpahkan ke tingkat litigasi maka dalam melakukan pengujian seorang pemeriksa harus mempertimbangkan kemungkinan – kemungkinan yang terjadi di pengadilan.

Sesuai Pasal 8 ayat (4) UU No. 15 Tahun 2006 laporan pemeriksaan investigatif yang dilakukan oleh BPK dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang- undangan.  Oleh  karena  itu  pelaksanaan  pemeriksaan  memerlukan penerapan kecerdasan, pertimbangan yang sehat dan pengalaman, serta pemahaman  terhadap  ketentuan  perundang–undangan  dan prinsip-prinsip pemeriksaan investigatif guna pemecahan masalah yang dihadapi.

Beberapa prinsip dalam melakukan pemeriksaan yang perlu diperhatikan adalah:

  1. Pemeriksaan harus dilandasi praktik-praktik terbaik yang diakui, dengan cara membandingkan antar praktik yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat i Upaya ini dilakukan terus menerus untuk mencari solusi terbaik.
  2. Pemeriksaan investigatif adalah upaya mencari kebenaran, dengan memperhatikan keadilan dan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang– undangan yang berla
  3. Kegiatan pemeriksaan termasuk pengumpulan bukti–bukti dengan prinsip kehati- hatian sehingga bukti tersebut dapat diterima di pengadila
  4. Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diberi indeks dan jejak pemeriksaan tersedia. Hal ini diperlukan jika digunakan sebagai referensi atas penyidikan kasus di kemudian ha
  5. Pastikan bahwa pemeriksa investigatif mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa menghormatinya guna menghindari kemungkinan penuntutan dari yang bersangkuta
  6. Semakin dekat selang waktu antara terjadinya penyimpangan dengan saat meresponnya, maka kemungkinan peluang penyimpangan dapat terungkap semakin besa
  7. Pelaksanaan pemeriksaan harus dapat mengumpulkan fakta–fakta sehingga bukti yang diperoleh dapat memberikan kesimpulan sendiri, yaitu telah terjadi penyimpangan dan pihak yang diindikasikan terlibat teridentifika
  8. Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan saksi akan dipengaruhi oleh kelemahan manus Sepanjang diperlukan konfirmasi kembali dilakukan pada setiap pernyataan dan keterangan yang diberikan oleh saksi.
  9. Jawaban yang benar akan diperoleh jika pertanyaan yang diajukan cukup jumlahnya dan pertanyaan tersebut disampaikan kepada orang yang juga cukup jumlahnya.
  10. Karena informasi sangat penting dalam pemeriksaan investigatif, maka segala kemungkinan upaya untuk memperoleh informasi harus dipertimbangka
  11. Peraturan Terkait Pemeriksaan Investigatif

Peraturan yang terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan investigatif, antara lain:

  1. Pasal 13 UU N 15 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan BPK untuk melakukan pemeriksaan investigatif.
  2. Pasal 10, Pasal 24 ayat (1), (2), (4) UU No.15 Tahun 2004 Pasal 9 ayat (1) huruf b, c, dan d UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur kewenangan meminta informasi atau dokumen.
  3. Pasal 10 huruf d, Pasal 11, Pasal 24 ayat (3) UU N 15 Tahun 2004 yang mengatur permintaan keterangan dan pemanggilan.
  4. Pasal 11 huruf c UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur pemberian keterangan ahli tentang kerugian negara dalam proses peradilan.
  5. Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (5) UU N 15 Tahun 2004 yang mengatur laporan hasil pemeriksaan.
  6. Pasal 25 ayat (1), (2), dan Pasal 26 ayat (1) UU N 15 Tahun 2004 yang mengatur tentang  sanksi  pidana  bagi  pemeriksa  yang melanggar UU No.15 Tahun 2004 dan UU No. 15 Tahun 2006.

Peraturan yang terkait tindak pidana khusus antara lain:

  1. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU N 20 Tahun 2001.
  2. UU N 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004.
  3. UU N 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007.
  4. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeana
  5. UU N 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003.
  6. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Peraturan yang terkait dengan proses penegakan hukum, antara lain:

  1. UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP
  2. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
  3. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
  4. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
  5. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Perspektif kerugian negara menurut:

  1. UU No. 31 Tahun 1999 dan UU N 20 Tahun 2001, kerugian keuangan negara adalah yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan/ kesempatan/ sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya.
  2. UU N 1 Tahun 2004 tentang Perbendahaan Negara, menyatakan bahwa pengertian kerugian negara/daerah adalah kekurangan  uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
  3. Sasaran dan Ruang Lingkup Pemeriksaan Investigatif

Sasaran  pemeriksaan  investigatif  BPK adalah  kasus yang berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Sasaran pemeriksaan investigatif yang  diatur  dalam  juknis pemeriksaan investigatif BPK yaitu perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah, untuk selanjutnya dalam juknis ini akan disebut sebagai TPKKN.

Ruang lingkup  pemeriksaan  investigatif  adalah TPKKN  pada seluruh entitas  pemeriksaan  BPK,  meliputi  pengungkapan  fakta  dan  proses kejadian, sebab dan akibat, dan menentukan pihak–pihak yang diindikasikan terlibat dan atau bertanggung jawab atas TPKKN pada: unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara.

  1. Kewajiban Pemeriksa Investigatif

Kewajiban pemeriksa investigatif BPK adalah melaksanakan pemeriksaan guna mengungkap ada/tidaknya TPKKN dan apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan TPKKN, maka pemeriksa BPK melalui Ketua BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewajiban pemeriksa investigatif termasuk:

  1. mentaati kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan dalam juknis,
  2. menyampaikan situasi  atau  permasalahan  yang  tidak  biasa  dalam pemeriksaan untuk mendapatkan arahan dari pejabat BPK terkait,
  3. selalu menjaga kerahasiaan informasi dan data yang diperoleh selama melakukan pemeriksaa

 

  1. Kualitas Pemeriksa Investigatif

Pemeriksa investigatif tak ubahnya seperti seorang akuntan forensik dan menurut Robert J. Linquist (Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques, hal 48-49), kualitas yang harus dimiliki oleh seorang akuntan forensik adalah:

  1. Kreatif (Creative)

Kemampuan  untuk  melihat  sesuatu,  yang  orang  lain menganggap situasi tersebut adalah normal. Dengan intepretasinya ia yakin bahwa situasi tersebut adalah tidak normal.

  1. Rasa ingin tahu (Curious)

Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian situasi.

  1. Tak menyerah (Persistance)

Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung, ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.

  1. Akal sehat (Common Sense)

Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata, yang mengerti betul kerasnya kehidupan.

  1. Pengetahuan Bisnis    (Bussines  Accument)

Kemampuan  untuk  memahami bagaimana  bisnis  sesungguhnya  berjalan,  dan  bukan  sekedar  memahami bagaimana transaksi dicatat.

  1. Percaya diri (Self Confidence)

Kemampuan untuk mempercayai diri akan temuannya, sehingga dapat bertahan pada saat diuji dengan pertanyaan silang dari Jaksa Penuntut Umum dan Pembela.

  1. Investigatif (Investigative)

Kemampuan  untuk  melakukan  investigasi  dan bagaimana bukti dapat diperoleh, selain ahli dalam bidang akuntansi dan audit.

  1. Kompetensi gabungan  (Mixed  Competency)

Memiliki  pengetahuan  yang memadai sebagai pemeriksa investigatif seperti akuntansi, hukum, permintaan keterangan, dan teknologi informasi.

  1. Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif

UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan memberikan mandat kepada BPK, apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan  hal tersebut kepada instansi yang berwenang  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Dan laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pemeriksa investigatif BPK bukan pejabat yang termasuk dalam kategori penyelidik sesuai KUHAP, namun sesuai mandat BPK hasil pemeriksaan mereka dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik. Oleh karena itu kualitas hasil pemeriksaan investigatif BPK harus setara dengan kualitas hasil penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penyelidik.

Untuk memperoleh kualitas hasil pemeriksaan yang setara dengan hasil penyelidikan,  maka pemeriksaan  investigatif BPK dilaksanakan  dengan tahap sebagai berikut: 1) Pra Pemeriksaan, 2) Persiapan Pemeriksaan, 3) Pelaksanaan Pemeriksaan, dan 4) Pelaporan Pemeriksaan. Tahapan pemeriksaan dapat dijelaskan dalam Tabel 1

Tabel II.1

Tahap Pelaksanan Pemeriksaan Investigatif

 

  1. Pra Pemeriksaan Investigatif
  2. Informasi Awal

Informasi awal adalah keterangan permulaan mengenai suatu penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan; kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse) yang telah/sedang/ dan akan terjadi. Informasi yang diperoleh dapat bersumber dari intern BPK seperti: Temuan Pemeriksaan (TP), Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), inisiatif Badan, maupun ekstern BPK seperti: permintaan instansi yang berwenang/ Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), LHP Aparat Pengawasan Intern Pemerintah/SPI, dan laporan/pengaduan masyarakat.

Tidak semua informasi yang diterima sebagai dasar pelaksanaan pemeriksaan investigatif memiliki keandalan dan validitas yang sama. Oleh karena itu, untuk setiap informasi awal yang diterima perlu dilakukan penelaahan terlebih dahulu. Tujuan dilakukannya penelaahan informasi awal adalah untuk menetapkan adanya alasan (predikasi) yang cukup kuat dan akurat sehingga pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan secara obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam tahapan perencanaan pemeriksaan investigatif yang meliputi pra pemeriksaan investigatif dan persiapan pemeriksaan investigatif dibentuk Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif (TPPI) sesuai dengan kebutuhan.

  1. Sumber Informasi Awal

Sebagaimana dijelaskan diatas, sumber informasi awal dapat berasal dari intern BPK maupun ekstern BPK. Sumber-sumber informasi awal yakni sebagai berikut:

  1. TP/LHP Auditama Keuangan Negara

(Dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh AKN atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menemukan indikasi TPKKN yang masih perlu diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa AKN mengusulkan agar pendalaman/pengembangan kasus dilakukan melalui pemeriksaan investigatif)

  1. TP/LHP BPK Perwakilan

(Dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh Kepala Perwakilan (Kalan) atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara menemukan TPKKN, yang masih perlu diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa BPK Perwakilan mengusulkan agar pendalaman/pengembangan kasus dilakukan melalui pemeriksaan investigatif)

  1. Inisiatif Badan

(Adalah informasi dari sumber intern BPK yang berasal dari Badan dalam hal ini adalah dari Ketua BPK, Wakil Ketua BPK, dan Anggota Badan BPK tentang informasi TPKKN, yang terjadi di entitas yang diperiksa BPK)

  1. Permintaan instansi yang berwenang kepada Ketua BPK-RI

(Adalah informasi dari sumber ekstern BPK seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Kepolisian. Umumnya permintaan Instansi yang berwenang dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu permintaan pada tahapan penyelidikan dan penyidikan. Tujuan permintaan pada tahapan penyelidikan umumnya untuk mengungkap adanya TPKKN untuk memperjelas posisi suatu kasus/kejadian. Tujuan permintaan pada tahapan penyidikan umumnya untuk menetapkan adanya kerugian negara guna melengkapi konstruksi hukum dan unsur melawan hukum yang telah dikembangkan oleh Instansi yang berwenang.)

  1. Permintaan instansi yang berwenang kepada Kepala Perwakilan BPK
  2. Permintaan Pihak Ke III kepada Ketua BPK

(Adalah informasi dari sumber ekstern BPK yaitu permintaan dari DPR, DPD, APIP, dan masyarakat berkaitan dengan permintaan pemeriksaan investigatif kepada Ketua BPK.)

  1. Permintaan Pihak Ke III kepada Kepala Perwakilan BPK.

(Permintaan pihak ke III kepada BPK Perwakilan dapat berasal dari DPRD, APIP, dan masyarakat berkaitan dengan permintaan pemeriksaan investigatif kepada BPK Perwakilan.)

BPK menyediakan jalur komunikasi untuk penyampaian pengaduan masyarakat, yakni sebagai berikut:

  • Badan Pemeriksa Keuangan – RI up. Sekretaris Pimpinan BPK-RI, Jl. Jend. Gatot Subroto No 31 Jakarta Pusat 10210
  • Badan Pemeriksa Keuangan – RI Kantor Perwakilan Propinsi……. up. Kasubag Hukum dan Humas, Jl………(alamat disesuaikan dengan lokasi kantor Perwakilan);
  • Alamat email …………..@bpk.go.id untuk penyampaian laporan melalui email.
  1. Penanganan Informasi Awal

Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan informasi awal yaitu substansi informasi dan proses penanganan informasi awal. Terkait substansi informasi dilakukan penelaahan terhadap:

  1. Kewenangan BPK

Dilakukan penelahaan terhadap substansi informasi apakah TPKKN terjadi pada entitas yang merupakan lingkup pemeriksaan BPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  1. Nilai Kebenaran

Menggambarkan apakah informasi awal, berasal dari sumber informasi yang handal dan memiliki validitas informasi yang tinggi. Misalnya: Informasi awal yang diperoleh dari pengembangan temuan AKN adalah berasal dari sumber informasi yang “sangat diandalkan”, dan memiliki validitas informasi yang “tinggi”. Sedangkan informasi yang diperoleh dari seseorang tanpa identitas adalah berasal dari sumber yang “tidak diketahui” dan memiliki validitas informasi yang “rendah”.

Jika informasi berasal dari sumber informasi sangat diandalkan dan memiliki validitas yang tinggi maka nilainya adalah 8 (sangat diandalkan = 4; validitas tinggi = 4). Tingkat kehandalan sumber informasi dan validitas informasi ini mempunyai nilai yang dituangkan dalam skala sebagaimana dapat dilihat pada Tabel II.1.

 

Tabel II.1

Keandalan Sumber dan Validitas Informasi

  1. Materi informasi

Materi informasi menggambarkan adanya TPKKN. Jika materi informasi yang disajikan masih diragukan, maka terlebih dahulu dilakukan pengumpulan keterangan yang diperlukan untuk melengkapi data yang tersedia agar diperoleh alasan yang cukup untuk dilakukan pemeriksaan investigatif.

 

  1. Kelengkapan Informasi

Informasi awal menyajikan minimum 3 unsur W, yaitu What (indikasi adanya TPKKN yang dilakukan), Where (dimana TPKKN dilakukan), dan When (kapan TPKKN dilakukan).

 

Proses penanganan dalam penelaahan informasi awal mencakup: mengadministrasikan informasi awal, memahami informasi awal, menganalisis informasi awal, mengevaluasi informasi awal, dan keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif

Administrasi Informasi Awal

Dalam mengadministrasikan informasi awal, BPK mempertimbangkan dua hal yaitu kerahasiaan sumber-sumber informasi awal dan akuntabilitas penanganan sumber-sumber informasi awal.

  • Kerahasiaan sumber-sumber informasi awal
  • BPK harus memperlakukan seluruh informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang diterima sebagai informasi rahasia dengan cara tidak akan mengungkapkan indentitas pemberi laporan kepada pihak lain kecuali apabila sebelumnya BPK telah mendapatkan kewenangan dari pemberi laporan atau diharuskan oleh ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
  • Seluruh laporan mengenai terjadinya penyimpangan yang
  • Seluruh informasi berbentuk non-elektronis dikonversi menjadi elektronis untuk memudahkan distribusi dan pengendalian.
  • Akses terhadap dokumen yang memuat semua informasi awal dari semua sumber informasi awal termasuk pengaduan masyarakat baik dokumen dalam bentuk fisik maupun non-fisik, harus dikendalikan dan dibatasi.
  • BPK tidak mempunyai kewenangan untuk membatasi pemberi laporan yang bermaksud mempublikasikan informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada BPK.
  • Akuntabilitas penanganan sumber-sumber informasi awal.

BPK menyelenggarakan suatu administrasi penanganan sumber informasi awal yang akan mencatat setiap penerimaan informasi awal termasuk pengaduan masyarakat, antara lain:

  • Jumlah informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang bukan di bawah kewenangan BPK yang diteruskan ke instansi lain yang berwenang;
  • Jumlah informasi awal yang masih dalam penelaahan;
  • Jumlah informasi awal yang telah ditindaklanjuti dengan kegiatan koordinasi dengan lembaga pengawasan dan Instansi yang berwenang;
  • Jumlah informasi awal yang sudah diteruskan ke aparat penyidik untuk tahap penyidikan; dan
  • Jumlah informasi awal yang tidak ditindaklanjuti. Tabel akuntabilitas penanganan sumber informasi awal ini dapat dilihat pada Tabel II.3.

Tabel II.3

Akutabilitas Penanganan Sumber Informasi Awal

Pahami Informasi Awal

Informasi awal mengenai TPKKN biasanya memuat hal-hal yang bersifat umum, tidak menjelaskan secara rinci masalah yang terjadi, dan cenderung memuat informasi yang tendensius, berpihak, memiliki motif yang tidak sehat dan subyektif, sehingga tingkat keandalan dan validitas informasi bisa (1) sangat mungkin terjadi, (2) mungkin terjadi, (3) diragukan, dan (4) tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu informasi ini harus ditangani secara obyektif

Setiap informasi awal yang diterima BPK ditelaah dengan menggunakan pendekatan 5W (what, who, where, when dan why) dan 1H (how) untuk menetapkan cukup tidaknya alasan dilakukan pemeriksaan, yang mengarah kepada terpenuhinya unsur – unsure TPPKN terkait pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Informasi awal biasanya tidak mungkin dapat menjawab seluruh unsur TPKKN, namun pada umumnya menyebutkan Who (siapa yang diindikasikan melakukan TPKKN) dan What (TPKKN apa yang dilakukan).

Analisis Informasi Awal

Tujuan menganalisis informasi awal adalah menjelaskan seluruh informasi awal ke dalam pendekatan 5W + 1H . Selain dengan menggunakan pendekatan 5W + 1H dalam menganalisis informasi awal yang diterima, penelaah juga menggunakan laporan-laporan BPK yang terdahulu yang relevan untuk menetapkan cukup tidaknya alasan dilakukan pemeriksaan.

Dengan pendekatan pendekatan 5W + 1H, hasil analisis mencakup hal-hal sebagai berikut:

  1. Unsur 5W+1H
  • Jenis TPKKN (what)

Dengan menjawab pertanyaan “what” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang substansi TPKKN yang dilaporkan. Informasi ini akan berguna pada saat pengembangan hipotesis awal untuk menetapkan jenis TPKKN.

  • Pihak – pihak yang bertanggung jawab (who)

Dengan menjawab pertanyaan “who” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi atau pihak – pihak terkait yang akan dimintakan keterangannya.

  • Dimana TPKKN terjadi (where)

Dengan menjawab pertanyaan “where” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang dimana TPKKN terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana TPKKN terjadi. Informasi ini amat berguna pada saat menetapkan ruang lingkup pemeriksaan investigatif dan juga membantu pada saat menentukan locus delictie (tempat terjadinya TPKKN).

  • Waktu terjadinya TPKKN (when)

Dengan menjawab pertanyaan “when” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang kapan terjadinya TPKKN. Informasi ini akan berguna dalam penetapan ruang lingkup pemeriksaan investigatif. Penentuan tempos delictie (waktu terjadinya TPKKN) akan membantu pemeriksa dalam memahami ketentuan yang akan digunakan.

  • Penyebab terjadinya TPKKN (why)

Dengan menjawab pertanyaan “why” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang mengapa seseorang melakukan TPKKN. Hal ini terkait dengan motivasi seseorang melakukan kecurangan sehingga dapat membantu pemeriksa dalam membuktikan adanya unsur niat seseorang melakukannya.

  • Modus operandi TPKKN (how)

Dengan menjawab pertanyaan “how” diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang bagaimana TPKKN itu dilakukan. Informasi ini akan membantu pemeriksa dalam menyusun modus operandi TPKKN tersebut.

 

  1. Unsur TPKKN

Dengan menggunakan pendekatan unsur-unsur TPKKN, diharapkan penelaah dapat menjelaskan tentang TPKKN yang dilaporkan. Misalnya: TPKKN tersebut dapat dijelaskan dalam empat unsur dalam pasal 2 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yakni: setiap orang, secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Hasil analisis 5W + 1 H, kemudian dituangkan dalam bentuk matrik dengan format sebagaimana pada Tabel II.4.

Tabel II.4

Hasil Analisis Informasi Awal

 

Evaluasi Informasi Awal

Tujuan mengevaluasi informasi awal adalah meyakinkan apakah informasi awal yang diperoleh telah didukung dengan data pendukung misalnya kelengkapan administrasi akuntansi yang memadai.

Untuk melengkapi informasi awal, penelaah dapat memperoleh tambahan informasi dari berbagai sumber tanpa harus melakukan hubungan secara langsung dengan pihak-pihak terkait yang melakukan TPKKN, seperti informasi dari pemasok barang dan jasa, pembeli dan konsumen barang dan jasa, media masa, internet, dan informasi intern BPK lainnya.

Jika selama kegiatan penelaahan diperoleh tambahan data dan informasi lain, penelaah harus membandingkan informasi tersebut dengan informasi yang sudah dimilikinya mengenai hal-hal sebagai berikut:

  1. Unsur TPKKN

 

  1. Unsur 5W+1H
  • Jenis TPKKN (what)

Penelaah membandingkan informasi mengenai jenis TPKKN yang diperoleh dengan bukti-bukti terkait. Jika dalam pengaduan tersebut belum mengungkap informasi kemungkinan adanya kerugian negara/ daerah, hal ini tidak berarti bahwa pengaduan tidak layak untuk ditindaklanjuti. Faktor-faktor lain yang terungkap akan mempengaruhi dalam menentukan simpulan.

  • Pihak – pihak yang bertanggung jawab (who)

Penelaah mengidentifikasi pihak-pihak yang mungkin bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi atau pihak-pihak terkait yang akan dimintakan keterangannya. Mungkin saja informasi ini tidak terungkap dalam pengaduan. Jika demikian halnya, sepanjang informasi lain terungkap dalam pengaduan, penelaah dapat menyusun hipotesis awal tentang siapa yang diindikasikan melakukan kecurangan. Tambahan data yang memuat informasi tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab mungkin diperoleh selama melakukan pemeriksaan investigatif

  • Dimana TPKKN terjadi (where)

Penelaah melakukan evaluasi tentang dimana TPKKN terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana TPKKN terjadi. Informasi tentang dimana terjadinya TPKKN merupakan salah satu faktor penting yang harus ada untuk menentukan layak tidaknya dilakukan pemeriksaan investigatif. Informasi ini berguna untuk menetapkan ruang lingkup penugasan agar lebih terarah (fokus).

  • Waktu terjadinya TPKKN (when)

Penelaah melakukan evaluasi tentang kapan terjadinya TPKKN. Informasi tentang kapan terjadinya TPKKN merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang harus terungkap untuk menentukan layak tidaknya dilakukan pemeriksaan investigatif. Informasi ini berguna untuk menetapkan ruang lingkup penugasan agar lebih terarah (fokus).

  • Penyebab terjadinya TPKKN (why)

Penelaah melakukan evaluasi tentang mengapa TPKKN dapat terjadi. Informasi mengenai penyebab terjadinya TPKKN adalah penting untuk menentukan alasan logis atas terjadinya suatu TPKKN sehingga memperkuat hipotesis yang akan ditetapkan. Informasi ini jarang terungkap dalam pengaduan, namun hal ini tidak mengurangi perlunya dilaksanakan pemeriksaan investigatif, apabila informasi atas unsur– unsur lainnya telah mencukupi.

  • Modus operandi TPKKN (how)

Penelaah melakukan evaluasi tentang bagaimana suatu TPKKN dilakukan. Informasi tentang bagaimana suatu indikasi TPKKN terjadi merupakan salah satu unsure penting dalam penelaahan dan unsur kunci untuk menilai apakah suatu TPKKN telah dilakukan. Sebagaimana unsur “why” di atas, unsur ini juga jarang terungkap dalam pengaduan. Namun demikian walaupun informasi tersebut tidak terungkap, bukan berarti pemeriksaan investigatif tidak layak untuk dilakukan apabila unsur lainnya telah mencukupi, karena unsur ini nantinya dapat dikembangkan pada saat pelaksanaan pemeriksaan investigatif.

Unsur “How” berkaitan langsung dengan modus operandi atau cara seseorang   atau   pihak   tertentu   melakukan   TPKKN.   Unsur   “How” merupakan tindakan verbal seseorang atau sebaliknya seseorang tidak melakukan tindakan, sehingga secara keseluruhan merupakan TPKKN.

Jika dari penanganan informasi awal unsur 5W + 1H belum diperoleh secara lengkap, tetapi dengan memperhatikan prioritas penanganan dan arti pentingnya informasi, maka TPKKN dapat diindikasikan dengan minimal terpenuhinya tiga unsur yaitu: What (adanya TPKKN), When (tahun anggaran yang berkaitan dengan kejadian), dan Where (entitas dimana TPKKN terjadi).

Hasil penelaahan informasi awal dituangkan dalam bentuk “simpulan penelaahan informasi awal” dengan pilihan sebagai berikut:

  • Cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigative dalam arti bahwa terpenuhinya unsur 3W (What, Where, dan When) dan beberapa indikasi unsur TPKKN dengan mempertimbangkan materialitas dari nilai kerugian negara.
  • Belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk melengkapi informasi mengenai unsur 3W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN yang belum diperoleh.
  • Tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigative karena tidak memenuhi unsur 3W atau dilengkapi data pendukung yang lengkap.

Jika dari hasil telaahan dianggap perlu untuk mendapatkan informasi tambahan
langsung dari pihak ketiga atau unsur terkait
, TPPI mengajukan usul kepada Ketua
BPK untuk melakukan pengumpulan bahan dan keterangan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor antara lain: materialitas nilai kerugian Negara,
sensitivitas isu tersebut, kecenderungan TPKKN di tempat lain, kemungkinan
kemudahan mendapatkan tambahan informasi yang diperlukan.

Pengumpulan data dimaksudkan untuk memastikan/memperkuat/mendukung
indikasi bahwa hal-hal yang diungkapkan dalam informasi benar-benar
mempunyai dasar untuk ditindaklanjuti dengan pemeriksaan. Hasil telaahan dan pengembangan informasi dilaporkan kepada Ketua BPK dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari setelah surat tugas pengumpulan data selesai.

Simpulan penelaahan informasi awal bersifat intern. Simpulan tersebut disusun dan ditandatangani oleh TPPI dan disampaikan kepada Ketua BPK untuk keputusan lebih lanjut.

Keputusan atas Informasi Awal

Berdasarkan simpulan penelaahan informasi awal, Ketua BPK dapat: menugaskan tim khusus, atau mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait; untuk melakukan pemeriksaan investigatif. Selanjutnya, informasi dan berkas penelaahan diarsipkan oleh TPPI. Arsip tersebut dapat digunakan sebagai bahan informasi pada waktu AKN/Kalan untuk melakukan pemeriksaan keuangan, kinerja, atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu

  1. Persiapan Pemeriksaan Investigatif
  2. Pengembangan Hipotesa

Hipotesa adalah kesimpulan sementara dari hasil telaahan atas informasi awal yang berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. Hipotesa adalah kesimpulan sementara dari hasil telaahan atas informasi awal yang berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. Contoh hipotesa diantaranya sebagai berikut: Rekanan telah memberikan suap kepada penyelenggara Negara; Panitia pengadaan barang melakukan tender proforma untuk memenangkan kontraktor A.

Hipotesa juga merupakan pernyataan sementara yang bersifat prediksi dari hubungan antara dua atau lebih variabel yang berguna untuk:

  • memberikan batasan serta mempersempit ruang lingkup pemeriksaan investigatif;
  • mempersiapkan pemeriksa terhadap semua fakta dan hubungan antar fakta yang telah teridentifikasi;
  • sebagai alat yang sederhana dalam membangun fakta– fakta yang tercerai–berai tanpa koordinasi ke dalam suatu kesatuan penting dan menyeluruh; dan
  • sebagai panduan dalam pengujian serta penyesuaian fakta dan antar fakta.

Setelah memahami predikasi jenis TPKKN, mendapatkan informasi umum dari media masa terkait dengan kasus yang diperiksa, serta memperoleh dan mempelajari laporan pemeriksaan BPK, TPPI menyusun hipotesa secara singkat dan jelas. Hipotesa berisi kemungkinan: a) TPKKN yang terjadi; b) siapa yang bertanggung jawab; c) bagaimana TPKKN atau potensi TPKKN terjadi; d) dimana TPKKN terjadi; e) kurun waktu terjadinya; dan f) terpenuhinya unsur-unsur TPKKN.

  1. Penyusunan Program Pemeriksaan Investigatif

Tujuan penyusunan program pemeriksaan adalah untuk menentukan langkah-langkah pemeriksaan dalam rangka membuktikan hipotesa. Dalam menyusun program pemeriksaan, TPPI harus memperhatikan lima elemen dasar yaitu:

  • Situasi
    1. Masalah, yaitu:
      • Pernyataan situasi atau permasalahan yang memuat substansi TPKKN yang dilaporkan atau telah terjadi dan bagaimana keadaannya pada saat ini.
      • Penyampaian data/bukti pendukung, fakta–fakta atau informasi tambahan yang menyertai TPKKN yang dilaporkan atau yang telah terjadi dengan pendekatan terpenuhinya unsur 5W+1H dan unsur TPKKN.
    2. Analisis Masalah
      • Permasalahan yang dikemukakan beserta bukti atau informasi yang menyertai, diuraikan dan dianalisis lebih lanjut guna memperkuat gambaran substansi TPKKN yang telah terjadi yang nantinya akan dibuktikan.
      • Penyampaian data/bukti pendukung, fakta–fakta atau informasi yang menyertai TPKKN yang dilaporkan atau yang telah terjadi dengan pendekatan terpenuhinya unsur 5W+1H dan unsur TPKKN.
    3. Simpulan
      • Merupakan simpulan atas analisis masalah yang telah dibuat.
      • Mencantumkan hipotesa sementara secara rinci yang nantinya dibuktikan melalui pelaksanaan pemeriksaan investigatif.
  • Tujuan

Tujuan pemeriksaan investigatif adalah untuk membuktikan adanya TPKKN sebagaimana dirumuskan dalam hipotesa awal. Tujuan ini dituangkan dalam suatu pernyataan yang secara ringkas menggambarkan hal-hal yang diharapkan akan dicapai dalam pelaksanaan pemeriksaan. Dalam suatu kasus yang kompleks, tujuan dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam sub-sub komponen yang saling terkait untuk mencapai tujuan secara keseluruhan.

 

  • Rencana Langkah

Rencana Langkah Pemeriksaan Investigatif mencakup: a. Menjabarkan rencana langkah-langkah pemeriksaan investigatif yang akan dilakukan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. b. Masing-masing langkah yang direncanakan disertai dengan penanggung jawab dan jangka waktu pelaksanaannya.

 

  • Administrasi Logistik, yang mencakup bagian:
  • Usulan Tim Pemeriksa Investigatif (Menjabarkan komposisi tim pemeriksa, yang mencakup uraian rinci mengenai nama, jabatan, peran atau kualifikasi yang dibutuhkan)
  • Estimasi Jangka Waktu Pelaksanaan (Menjabarkan tanggal dimulainya pelaksanaan pemeriksaan investigatif, estimasi total waktu pelaksanaan pemeriksaan dan juga waktu yang dibutuhkan untuk masing – masing langkah pemeriksaan)
  • Estimasi Total Anggaran Biaya Pemeriksaan Investigatif (Menjabarkan perkiraan total biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pemeriksaan.)

 

  • Komunikasi

Elemen ini menyajikan matriks komunikasi yang menguraikan secara rinci mengenai arus informasi (siapa melapor kepada siapa), waktu pelaporan serta kepada siapa laporan harus diserahkan.

Program Pemeriksaan Investigatif diarahkan untuk dapat mengumpulkan bukti– bukti yang diperlukan dalam mengungkapkan dan membuktikan setiap hipotesa yang terjadi secara rinci dengan memperhatikan: a) penentuan bukti yang akan dikumpulkan dari sumber yang relevan dan tepat, dan b) penentuan hubungan bukti dengan pihak yang terkait.

Program Pemeriksaan Investigatif merupakan rencana yang terinci yang sekurang – kurangnya disusun berdasarkan struktur atau kerangka yang mencakup:

  • Dasar Hukum Pemeriksaan
  • Standar Pemeriksaan
  • Tujuan Pemeriksaan Investigatif
  • Entitas Yang diperiksa
  • Lingkup Yang Diperiksa
  • Hasil Telaahan Informasi Awal
  • Alasan Pemeriksaan
  • Metodologi Pemeriksaan
  • Langkah – Langkah Pemeriksaan Investigatif
  • Waktu Pelaksanaan Pemeriksaan investigatif
  • Susunan Tim dan Biaya Pemeriksaan Investigatif
  • Distribusi Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif
  • Persetujuan Program Pemeriksaan Investigatif
  1. Penentuan Kebutuhan Sumber Daya

Kebutuhan sumber daya pendukung pemeriksaan harus ditentukan seefisien mungkin tanpa mengurangi pencapaian kualitas hasil pemeriksaan yang optimal dan efektif. Kebutuhan sumber daya pendukung yang harus ditentukan antara lain menyangkut personil tim pemeriksa, ahli, anggaran biaya pemeriksaan, dan perangkat pendukung lainnya misal alat perekam, kamera, handycam, telekomunikasi, komputer dan lain-lain.

Penentuan sumber daya pendukung pemeriksaan baik jumlah maupun kualifikasinya ditentukan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat BPK yang ditunjuk, dengan memperhatikan tingkat kesulitan dan rumitnya masalah yang akan diperiksa.

  1. Penerbitan Surat Tugas

Setelah program pemeriksaan disetujui oleh penanggung jawab maka diterbitkan surat tugas oleh Ketua atau Angbintama atau Kalan. Surat tugas dari pemberi tugas memuat sasaran dan ruang lingkup pemeriksaan berdasarkan rumusan hipotesa yang telah disusun oleh TPPI, dan rencana jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan.

Susunan tim pemeriksa investigatif meliputi: (1) Penanggung jawab pemeriksaan investigative; (2) Wakil penanggung jawab pemeriksaan investigatif (jika diperlukan); (3) Pengendali teknis pemeriksaan investigative; (4) Ketua tim pemeriksa investigatif; dan (5) Anggota tim pemeriksa investigatif.

Surat tugas pemeriksaan investigatif yang dikeluarkan oleh BPK, harus diorganisir hingga diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Dengan demikian dapat diketahui jumlah surat tugas yang diterbitkan, status penugasan atas surat tugas yang diterbitkan, dan laporan pemeriksaan yang diterbitkan.

Formulir Pengorganisasian Surat Tugas dapat dapat dilihat pada Tabel II.5. Khusus untuk kolom 6 (Nama Entitas) dan 7 (Rencana Periode Pemeriksaan) sebaiknya dirancang desain pengendalian yang bertujuan untuk meminimalisasi risiko penyalahgunaan informasi oleh pihak internal kepada entitas/pegawai yang akan diperiksa.

Tabel II.5

Formulir Pengorganisasian Surat Tugas

 

 

  1. Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif

Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi 6 tahap kegiatan, yaitu: (1) Pembicaraan pendahuluan; (2) Pengumpulan bukti pemeriksaan berdasarkan hipotesa; (3) Analisis dan evaluasi bukti pemeriksaan; (4) Pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK; (5) Pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang; dan (6) Pembicaraan akhir.

  1. Pembicaraan Pendahuluan

Berdasarkan surat tugas, tim pemeriksa investigatif menyelenggarakan pertemuan dengan pimpinan dan para pejabat dari entitas yang diperiksa dengan maksud:

  1. Menjelaskan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan dalam surat tugas.
  2. Memperoleh informasi tambahan dari entitas yang diperiksa dalam rangka melengkapi informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
  3. Menciptakan suasana yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan pemeriksaan, terutama untuk memperoleh dukungan dari entitas yang diperiksa.

Pemeriksa investigatif mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan sifat, saat, dan lingkup pemeriksaan serta pelaporan yang direncanakan atas hal yang dilakukan pemeriksaan kepada entitas yang diperiksa. Pembicaraan pendahuluan ini tetap harus dilaksanakan walaupun manajemen puncak dari entitas yang diperiksa tersebut diindikasikan terlibat dalam kasus yang bersangkutan. Pembicaraan pendahuluan dengan pihak entitas yang diperiksa harus direncanakan agar tidak mengungkap informasi yang diperlukan secara rinci untuk mengurangi kemungkinan pelaku menghilangkan, menyembunyikan, memanipulasi, dan atau merekayasa bukti–bukti asli. Jika dalam pembicaraan pendahuluan, pihak entitas menolak dilakukannya pemeriksaan investigatif, maka Tim Pemeriksa menempuh langkah-langkah sesuai dengan Surat Edaran Ketua BPK No. 01/SE/I-VIII.3/9/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Penolakan Pemeriksaan.

  1. Pengumpulan Bukti Pemeriksaan Berdasarkan Hipotesa

Pelaksanaan pengumpulan bukti bertujuan untuk melengkapi bukti pemeriksaan yang diperlukan dalam rangka mengungkap: 1. fakta dan proses kejadian, 2. sebab dan akibat TPKKN, dan 3. penanggung jawab atau pihak yang terkait atas TPKKN.

Pada saat pemeriksa mengumpulkan bukti, pemeriksa harus terlebih dahulu memahami jenis – jenis dan kriteria bukti pemeriksaan yang harus dikumpulkan, alat bukti menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan keterkaitan antara keduanya.

Strategi pembuktian adanya TPKKN umumnya meliputi tiga langkah dasar, yaitu:

  • Pemeriksa membangun kasus secara menyeluruh melalui wawancara terhadap saksi yang mendukung dan menganalisis dokumen yang tersedia.
  • Pemeriksa menggunakan bukti tidak langsung untuk mengidentifikasikan kasus dan meyakinkan saksi intern yang dapat memberikan bukti langsung tentang pihak yang diduga terlibat, guna membangun kasus.
  • Pemeriksa meminta keterangan kepada subyek guna mengungkap kasus, mengidentifikasikan pelaku kejahatan dan membuktikan adanya unsur kesengajaan (intent) si pelaku.

Dalam upaya membuktikan TPKKN yang sudah dirumuskan dalam hipotesis awal, pemeriksa mengumpulkan bukti dengan cara:

  • Meminta dokumen,

Dokumen yang dikumpulkan adalah dokumen yang terkait dengan indikasi TPKKN. Dokumen ini didapatkan dari berbagai sumber baik internal maupun eksternal entitas yang diperiksa. Perolehan dokumen terkait dengan kerahasiaan bank:

  • Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
  1. Pemeriksa dapat memperoleh informasi dari PPATK berkaitan dengan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan atau perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana pencucian uang.
  2. Dalam hal diperlukan adanya konfirmasi atau penjelasan lebih lanjut atas informasi yang telah diberikan, dapat dilakukan melalui pejabat penghubung yang telah ditunjuk.
  3. Informasi yang diberikan bersifat rahasia dan hanya dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam surat permintaan informasi.
  4. Informasi yang diberikan tidak dapat diteruskan atau diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari PPATK.
  5. Pemeriksa bertanggung jawab atas kerahasiaan, penggunaan, dan keamanan informasi yang diterima.
  • Pemeriksa dapat meminta dokumen yang diperlukan kepada Bank, dengan ijin/kuasa dari pemegang rekening.
  • Jika cara 1) dan 2) di atas tidak berhasil, pemeriksa dapat meminta pihak instansi penyidik untuk mendapatkan ijin Pimpinan Bank Indonesia, setelah melalui proses sesuai dengan prosedur yang berlaku di instansi penyidik. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ijin pemberian keterangan yang menyangkut rahasia bank untuk suatu perkara yang menyangkut rekening nasabah bank hanya dapat diberikan oleh Pimpinan Bank Indonesia kepada pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim atas permintaan tertulis dari ketiga instansi tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, pejabat BPK yang berwenang meminta secara tertulis kepada intansi penyidik agar mengajukan permohonan ijin kepada Pimpinan Bank Indonesia. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 UU No. 10 Tahun 1998.
  • Langkah-langkah persiapan dalam mendapatkan ijin tersebut antara lain:
  1. Menyampaikan surat permintaan.
  2. Jika diminta, pemeriksa melakukan presentasi kasus kepada penyidik untuk meyakinkan bahwa tanpa dokumen yang diperlukan, posisi kasus menjadi lemah.

 

  • Meminta keterangan,

Permintaan keterangan tertulis dan atau lisan dilakukan oleh pemeriksa dengan tujuan untuk memperoleh, melengkapi dan/atau meyakini informasi yang dibutuhkan dalam kaitan dengan pemeriksaan.

 

  • Melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan,

Tujuan dari melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan di lapangan antara lain adalah:

  1. Memahami kelemahan pengendalian intern secara nyata, dan pemeriksa lebih memahami mengenai proses yang terjadi sehingga dapat menentukan bukti apa yang perlu diperoleh dan kepada siapa pemeriksa meminta bukti tersebut.
  2. Memperoleh informasi yang lebih lengkap, tepat, kongkrit, dan terkini tentang keberadaan suatu aktiva atau obyek yang diperiksa, dengan tujuan untuk menguji apakah jumlah dan spesifikasi teknis telah sesuai dengan yang ditetapkan.
  3. Menentukan keidentikan fisik yang diperiksa dengan informasi/ gambaran yang telah diperoleh sebelumnya.
  4. Melengkapi informasi yang sudah ada.
  5. Pengecekan atau konfirmasi keterangan, data atau fakta terkait dengan perkiraan besarnya kerugian karena kerusakan fisik yang diperiksa.
  6. Mencari hubungan antara fisik yang diperiksa dengan peristiwa.

 

Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan fisik:

  1. Dilakukan dengan cermat dan tepat sehingga dapat diperoleh gambaran yang lengkap dan jelas.
  2. Untuk membantu mengingat apa yang telah diamati perlu disediakan peralatan/perlengkapan/alat bantu yang diperlukan misalnya: alat tulis/catatan, peralatan foto, dan alat perekam handy cam

 

  • Memperoleh bukti elektronik/digital,

Bukti elektronik (electronic evidence) atau bukti digital (digital evidence) adalah bukti yang disimpan, diterima atau dikirim dalam bentuk digital dengan menggunakan perangkat elektronik.

Dalam menangani data elektronik yang tersimpan dalam komputer, terdapat tiga langkah utama: (1) mengambil image atau imaging, (2) pemrosesan, yaitu mengolah citra atau image, dan (3) analisis, yaitu menganalisis image yang sudah diproses.

 

  • Melakukan penyegelan

Maksud dan tujuan penyegelan adalah untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara dari kemungkinan usaha pemalsuan, perubahan, pemusnahan, atau penggantian pada saat pemeriksaan. Penyegelan dilakukan terhadap tempat uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan Negara yang berada dalam penguasaan dan atau tanggung jawab pihak yang diperiksa atau pihak lain yang terkait dengan pemeriksaan yang bersangkutan.

Penyegelan hanya dilakukan dalam hal pemeriksaan terpaksa ditunda karena alasan tertentu, yaitu jika pihak yang menguasai dan/atau bertanggung jawab atas uang, barang, dan atau dokumen pengelolaan keuangan Negara tidak berada di tempat pada saat pemeriksaan dilaksanakan atau alasan lain sehingga pemeriksaan tidak dapat dilaksanakan.

 

  • Memotret dan merekam.

Pasal 10 huruf e UU No. 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemeriksa BPK berwenang memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan. Pemotretan dan perekaman gambar ataupun suara dapat dilakukan oleh pemeriksa investigatif sebagai alat bantu pemeriksaan pada saat pemeriksa:

  • Meminta keterangan (wawancara dan wawancara mendalam);
  • Melakukan pemeriksaan fisik;
  • Memperoleh bukti elektronik;
  • Melakukan penyegelan.

Sesuai dengan kewenangan BPK dalam upaya mengumpulkan bukti, pemeriksa investigatif dapat melakukan teknik pemeriksaan sebagai berikut: (1) Konfirmasi; (2) Pengujian; (3) Reviu analitikal; (4) Pemeriksaan keabsahan; (5) Rekonsiliasi Penelusuran; (7) Penghitungan kembali; (8) Penelaahan pintas.

Hal –hal yang perlu diperhatikan dalam Pengumpulan Bukti adalah :

  • Keberhasilan pelaksanaan pemeriksaan atas TPKKN tergantung pada situasi, kondisi dan kreativitas pemeriksa investigatif dalam menerapkan prosedur serta teknik–teknik pemeriksaan secara tepat untuk mendapatkan bukti-bukti yang kompeten dan relevan.
  • Pemeriksa harus memahami hubungan antara bukti pemeriksaan dengan alat bukti apa saja yang dapat diterima menurut hukum dalam rangka mendukung ke arah penuntutan.

 

  1. Analisis dan Evaluasi Bukti

Tujuan analisis dan evalusi setiap bukti yang diperoleh adalah:

  • Untuk menyempurnakan hipotesa awal yang telah dirumuskan karena pada dasarnya perumusan hipotesa merupakan kegiatan yang bersifat terus menerus dan seiring dengan pelaksanaan pemeriksaan.
  • Untuk menilai kesesuaian bukti (relevansi) dengan hipotesa serta sebagai landasan perlu tidaknya mengembangkan bukti lebih lanjut.
  • Untuk menyusun rangkaian kejadian dan modus operandi.

Teknik analisa bukti yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

  • Sesuai dengan hipotesa yang telah disusun dalam persiapan pemeriksaan, pemeriksa berupaya untuk memperoleh bukti–bukti yang relevan terhadap kasus yang ditangani melalui berbagai teknik pemeriksaan.
  • Setiap bukti yang diperoleh dibaca dan diinterpretasikan oleh pemeriksa. Tahapan ini merupakan tahapan yang menentukan dalam proses pemeriksaan investigatif. Sering kita temui pemeriksa tidak dapat menginterpretasikan suatu bukti yang diperoleh karena ketidakmampuan pemeriksa membaca dan menginterpretasikan sehingga TPKKN tidak diketahui meskipun bukti TPKKN telah diperoleh.
  • Tentukan relevansi bukti yang diperoleh terhadap kasus yang ditangani. Bukti yang tidak terkait dengan kasus untuk sementara dapat diabaikan. Suatu bukti yang awalnya dianggap tidak relevan mungkin ternyata relevan untuk pembuktian suatu kejadian.
  • Setelah menentukan relevansi suatu bukti kemudian lakukan verifikasi dari bukti itu sendiri. Verifikasi yang dimaksudkan disini adalah menguji dan menilai kebenaran dari bukti itu sendiri. Dalam melakukan penilaian, pemeriksa dapat meminta dokumen pendukung sebagai bukti dukungan atas dokumen yang diterima. Sebagai contoh untuk menilai kebenaran suatu kontrak, pemeriksa dapat meminta dokumen–dokumen pendukung kontrak seperti Surat Perintah Kerja (SPK).
  • Setelah bukti diuji kebenarannya, langkah selanjutnya adalah memasukkan bukti tersebut dalam rangkaian bukti–bukti yang dapat menggambarkan kenyataan yang ditemui.
  • Hasil rangkaian bukti–bukti tersebut dianalisa secara berkala untuk menilai apakah hipotesa yang disusun telah menggambarkan kondisi yang sesungguhnya hingga pada akhirnya analisa ditunjukkan untuk menyimpulkan terbukti atau tidak terbuktinya suatu TPKKN.

Teknik mengevaluasi bukti

  • Hal yang perlu diantisipasi dalam melakukan evaluasi bukti, yaitu mengenai urutan proses kejadian dan kerangka waktu kejadian. Kedua hal tersebut dijabarkan dalam bentuk bagan arus kejadian/modus operandi atau dalam bentuk naratif yang menggambarkan kronologis fakta kejadian.
  • Penyusunan bagan arus dan kronologi fakta kejadian sangat bermanfaat bagi pemeriksa untuk memahami kondisi sesungguhnya dari kasus yang ditangani.
  • Bagan arus kejadian
    1. Bagan arus kejadian merupakan salah satu teknik untuk memudahkan pemahaman suatu proses kejadian. Melalui penyusunan bagan arus kejadian dapat diketahui: Apa, Siapa, Bilamana, dan Bagaimana suatu proses kejadian terjadi. Perbuatan TPKKN yang dilakukan dalam suatu rangkaian proses kejadian umumnya dikenal dengan istilah kasus posisi.
    2. Kasus posisi merupakan suatu titik awal dan akhir dari perbuatan TPKKN. Posisi awal perbuatan umumnya ditandai dengan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan (perbuatan melawan hukum), sedang posisi akhir dari perbuatan adalah adanya keuntungan pribadi atau pihak lain atau golongan. Keuntungan pribadi atau golongan tersebut, di sisi lain menimbulkan kerugian keuangan negara dan atau perekonomian negara.
    3. Dalam melakukan evaluasi bukti, kasus posisi harus didukung dengan kualitas dan kuantitas bukti yang dapat diterima dalam proses pengadilan. Apabila menggunakan bukti–bukti yang tidak langsung, agar didasarkan dengan serangkaian bukti–bukti pendukung lainnya.
  • Kronologi fakta
  1. Kronologi fakta dijabarkan dalam bentuk naratif dengan memperhatikan aspek waktu kejadian. Kronologi fakta harus didasarkan pada urutan kejadian yang sesungguhnya berdasarkan bukti–bukti yang diterima.
  2. Dalam menyusun kronologi fakta kejadian, ada satu hal yang perlu diperhatikan pemeriksa mengenai kemungkinan adanya rekayasa dokumen bukti, sehingga aspek “bilamana” yang ditunjukkan dari suatu dokumen bukti tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.

Akhir dari setiap analisis dan evaluasi bukti adalah menyusun simpulan. Kesimpulan yang dibuat dapat mendukung atau tidak mendukung hipotesa yang sudah dirumuskan

  1. Pemaparan Tim Pemeriksa di Lingkungan BPK

Setelah membuat simpulan hasil pemeriksaan, tim pemeriksa melakukan pemaparan di lingkungan intern BPK untuk memperoleh persetujuan Ketua/Angbintama/Tortama/Kalan atas simpulan tim pemeriksa. Pemaparan dapat dihadiri oleh pejabat BPK yang tercantum dalam surat tugas pemeriksaan, dan pejabat BPK lainnya yang ditunjuk/diundang oleh penanggung jawab pemeriksaan sesuai kebutuhan. Pada saat pemaparan, tim pemeriksa mendapatkan arahan terkait dengan simpulan hasil pemeriksaan investigatif tersebut.

Dari hasil pemaparan, Ketua/Angbintama/Tortama/Kalan dapat menyimpulkan sebagai berikut:

  1. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi unsur–unsur TPKKN. Dalam hal ini, tim pemeriksa segera mempersiapkan pemaparan kepada instansi yang berwenang. Namun, jika Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan belum sependapat atas simpulan tersebut maka Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan dapat memerintahkan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan tambahan guna memperoleh bukti yang dapat memperkuat simpulan.
  2. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi kerugian negara, tetapi tidak memenuhi indikasi unsur-unsur TPKKN. Dalam hal ini, kerugian negara diselesaikan melalui mekanisme tuntutan ganti rugi.
  3. Kasus yang dipaparkan tidak memenuhi indikasi unsur-unsur TPKKN.

 

  1. Pemaparan Tim Pemeriksa dengan Instansi yang Berwenang

Pemaparan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang merupakan tindak lanjut hasil pemaparan di lingkungan intern BPK. Tujuan pemaparan ini agar BPK memperoleh masukan dari instansi yang berwenang terkait terpenuhinya indikasi unsur-unsur TPKKN.

Simpulan hasil pemaparan kasus yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:

  • BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus telah memenuhi indikasi unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya.
  • BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus belum memenuhi unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya, karena masih memerlukan data tambahan. Maka penanggung jawab pemeriksaan dapat menempuh langkah sebagai berikut:
  1. Memerintahkan tim pemeriksaan melakukan pemeriksaan tambahan untuk memperoleh bukti yang diperlukan.
  2. Meminta bantuan aparat penyidik untuk melengkapi bukti yang diperlukan jika terdapat keterbatasan kewenangan BPK.

 

  1. Pembicaraan Akhir

Pada akhir pelaksanaan pemeriksaan investigatif harus dilakukan pembicaraan akhir pemeriksaan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat yang ditunjuk dengan pejabat entitas yang diperiksa. Namun demikian pembicaraan akhir tersebut harus diatur sedemikian rupa hingga tidak mengganggu, menghambat atau menyulitkan proses pembuatan laporan pemeriksaan yang sedang berjalan atau pun proses perkembangan dari kasus tersebut bilamana ditemukan bukti – bukti baru di kemudian hari dikarenakan kompleksitas dari kasus tersebut. Secara amannya, pembicaraan akhir pemeriksaan investigatif dapat dilakukan dengan menyampaikan kepada pejabat instansi berwenang yang diperiksa mengenai perkembangan akhir kasus tanpa memberikan simpulan dari kasus tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaan substansi atau materi dari proses dan atau pelaksanaan pemeriksaan yang sedang berjalan. Hasil yang diperoleh dalam pemeriksaan, baik kumpulan fakta, analisa, dan simpulan tidak wajib disampaikan kepada instansi yang diperiksa, dengan mempertimbangkan kelancaran proses pembicaraan akhir. Tim pemeriksa menyiapkan notulen pembicaraan akhir (exit meeting) untuk ditandatangani oleh pejabat entitas yang bertanggung jawab yang diperiksa atau memperoleh komentar melalui wawancara dengan pejabat instansi yang diperiksa.

  1. Pelaporan Pemeriksaan Investigatif

BPK melaporkan indikasi unsur TPKKN yang ditemukan dalam pemeriksaan investigatif kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang–undangan, paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, yaitu sejak surat pengantar laporan hasil pemeriksaan investigatif kepada instansi yang berwenang ditandatangani oleh Ketua BPK. BPK melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung indikasi unsur-unsur TPKKN ke instansi yang berwenang

Laporan pemeriksaan investigatif agar mempertimbangkan prinsi pelaporan, susunan laporan, serta reviu dan tanda tangan. Laporan pemeriksaan investigatif yang diterbitkan harus diadministrasikan sehingga dapat diketahui nomor dan tanggal laporan, jumlah eksemplar laporan, distribusi laporan, nomor dan tanggal surat pengantar serta tindak lanjutnya. Formulir Pengorganisasian Laporan Pemeriksaan dapat dilihat pada lampiran VI.1.

  1. Prinsip Pelaporan Pemeriksaan Investigatif

Pelaporan pemeriksaan investigatif harus mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut:

  1. Akurat

Seluruh materi laporan termasuk tanggal, data, informasi serta pihak terkait, harus dikonfirmasikan sebelum penulisan laporan. Informasi yang dilaporkan adalah fakta yang benar dan dapat diverifikasi. Informasi dan fakta yang relevan dari instansi yang diperiksa, harus dicatat dalam KKP untuk mendukung laporan. Konfirmasi/penegasan merupakan salah satu ukuran untuk memastikan bahwa seluruh fakta yang relevan telah dikumpulkan secara akurat sebelum dituangkan dalam LHP.

  1. Jelas

Laporan disusun dengan jelas, yaitu tidak banyak menyajikan rincian serta kalimat atau bagian yang secara tidak jelas berhubungan dengan informasi yang ingin disampaikan. Istilah teknis hanya digunakan dalam konteks kalimat dan agar dijelaskan seperlunya.

  1. Tidak memihak

Laporan yang disusun tidak bias atau prasangka dari penyusun laporan, tetapi harus berdasarkan fakta yang didukung oleh bukti yang cukup yang dituangkan dalam KKP.

  1. Relevan

Laporan pemeriksaan investigatif hanya mengungkap informasi yang relevan dengan masalah atau kasus yang ditangani. Memasukan informasi yang tidak relevan dalam laporan pemeriksaan hanya akan membingungkan pembaca laporan, membuat rumit laporan, dan mengakibatkan pemeriksa dikritik atas metodologi kerjanya.

  1. Tepat waktu

Laporan pemeriksaan segera disusun setelah pekerjaan lapangan selesai. Laporan yang sudah ditandatangani segera disampaikan agar informasi yang disajikan dalam laporan dapat sepenuhnya digunakan dan memenuhi tujuannya.

 

  1. Susunan laporan hasil pemeriksaan investigatif

Susunan laporan hasil pemeriksaan investigatif adalah sebagai berikut:

Bagian I : Simpulan

Bagian II : Umum

  1. Dasar Penugasan Pemeriksaan
  2. Ruang Lingkup Pemeriksaan
  3. Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa

Bagian III : Uraian Hasil Pemeriksaan

  1. Dasar Hukum Obyek/Kegiatan yang Diperiksa
  2. Materi Temuan:
  3. Jenis TPKKN
  4. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian
  5. Penyebab dan Akibat TPKKN
  6. Pihak penanggung jawab dan pihak yang terkait
  7. Bukti pemeriksaan yang diperoleh

Lampiran

Hal yang perlu dilampirkan dalam laporan hasil pemeriksaan investigatif, antara lain:

  1. Bagan arus proses kejadian.
  2. Bukti rincian, misalnya rekapitulasi kwitansi, rekapitulasi SPM, dan rekapitulasi penerima bantuan .
  3. Daftar bukti pemeriksaan yang diperoleh.

 

  1. Reviu dan Tanda Tangan Laporan

Untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan, konsep laporan harus direviu secara berjenjang oleh pengendali teknis pemeriksaan investigatif dan penanggung jawab pemeriksaan investigatif sebelum ditandatangani dan disampaikan kepada pihak yang berwenang. Laporan direviu secara berjenjang. Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab pemeriksaan.  Setelah laporan hasil pemeriksaan investigatif ditandatangani oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan, hasil pemeriksaan investigative disampaikan kepada Badan dengan nota dinas yang dilampiri dengan matrik unsur TPKKN.

Hal–hal yang perlu diperhatikan:

  1. LHP investigatif harus menjawab tujuan pemeriksaan investigatif, yaitu membuktikan ada/tidak adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN.
  2. Jika satu bulan sejak dilakukannya pemaparan, instansi yang berwenang tidak memberikan pendapat, Tim Pemeriksa tetap membuat LHP dan menyampaikannya kepada Penanggung jawab pemeriksaan dengan nota dinas pengantar dari Pemimpin Tim. Selanjutnya Penanggung Jawab Pemeriksaan menyampaikan LHP kepada Badan.
  3. Penyerahan LHP tidak berarti pemeriksa investigatif selesai menjalankan tugas terkait dengan pemeriksaan, karena ada kemungkinan pemeriksa BPK diminta oleh instansi yang berwenang untuk memberikan keterangan ahli.

 

 

 

 

  1. Perhitungan Kerugian Keuangan Negara/Daerah

Penghitungan kerugian negara/daerah adalah pemeriksaan investigatif yang dilakukan untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. Penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan berdasarkan permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah atas suatu kasus tindak pidana yang sedang diproses secara hukum.

Pada umumnya, permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah dilakukan pada tahap penyidikan. Permintaan ini biasanya dikaitkan dengan pemberian keterangan ahli oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan dalam proses peradilan. Penugasan penghitungan kerugian negara/daerah adalah suatu bentuk pemeriksaan dan bukan sekedar penghitungan secara matematis. Penghitungan kerugian negara/daerah dilaksanakan dengan mengevaluasi bukti, yaitu dengan cara membandingkan antara kondisi dengan kriteria. Selain itu, dalam penghitungan kerugian negara/daerah seorang pemeriksa juga menilai kebenaran, kredibilitas, dan keandalan informasi.

Kerugian negara/daerah yang dihitung melalui pemeriksaan investigatif berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang, antara lain dapat berupa:

  1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah dalam bentuk uang atau barang yang seharusnya tidak dikeluarkan.
  2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah yang, menurut kriteria yang berlaku, lebih besar dari yang seharusnya.
  3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima termasuk di antaranya penerimaan uang palsu atau barang fiktif.
  4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima, termasuk di antaranya penerimaan barang rusak atau yang kualitasnya tidak sesuai.
  5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada.
  6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya.
  7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki atau diterima menurut aturan yang berlaku.
  8. Penerimaan hak negara/daerah yang lebih kecil dari yang seharusnya.

Hasil penghitungan kerugian negara/daerah digunakan oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan sebagai Ahli untuk memberikan keterangan mengenai kerugian negara dalam proses peradilan.

  1. Tujuan dan Ruang Lingkup

Tujuan penghitungan kerugian negara/daerah adalah untuk menentukan ada atau tidak adanya indikasi kerugian negara/daerah, termasuk di dalamnya menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang.

Ruang lingkup penghitungan kerugian negara/daerah menguraikan tentang sasaran (program/proyek), lokasi (pusat, wilayah, cabang, atau perwakilan) maupun waktu (tahun anggaran, tahun buku, semester atau triwulan) sebagaimana dituangkan dalam surat permintaan bantuan dari instansi yang berwenang yang meminta bantuan penghitungan kerugian negara/daerah kepada BPK.

  1. Tahap-Tahap Pemeriksaan

Tahapan penghitungan kerugian negara/daerah meliputi: 1. Persiapan, 2. Pelaksanaan, 3. Pelaporan

  • Persiapan

Permintaan penghitungan kerugian negara/daerah bisa disampaikan kepada a. Ketua BPK dan b. Kepala Perwakilan BPK-RI yang berada di daerah.

  1. Ketua BPK

Permintaan Instansi Yang Berwenang untuk menghitung indikasi kerugian negara melalui Ketua BPK. Tahapan permintaan penghitungan kerugian keuangan negara dapat dilihat pada bagan II.1.

  • Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung indikasi kerugian negara dari instansi yang berwenang, maka Ketua BPK mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait atau menugaskan TPPI untuk melakukan penelahaan atas permintaan tersebut.
  • TPPI meminta pemaparan dari instansi yang berwenang disertai dengan data dan infomasi untuk mendapatkan kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya. Pemaparan juga dimaksudkan untuk menentukan dapat atau tidaknya penghitungan kerugian negara/daerah dilakukan dan meneliti apakah kasus yang diperiksa masuk dalam lingkup kewenangan BPK. Jika diperlukan, Ditama Binbangkum dapat mengikuti pemaparan.
  • Dari hasil pemaparan, TPPI dapat menyimpulkan: a) Tidak diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena tidak didukung bukti-bukti yang cukup; b) Belum diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena tidak didukung bukti-bukti yang cukup; c) Diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena didukung bukti-bukti yang cukup.
  • Jika hasil pemaparan disimpulkan tidak diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI menyampaikan hasil telahaan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat dilakukan.
  • Jika hasil pemaparan disimpulkan belum diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI meminta bukti tambahan kepada instansi yang berwenang. a) Jika bukti tambahan tidak mencukupi, selanjutnya TPPI menyampaikan hasil telahaan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat dilakukan. b) Jika bukti tambahan mencukupi, selanjutnya TPPI menelaah kemungkinan ada atau tidaknya TPKKN.
  • Jika hasil telahaan menyimpulkan diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI menelaah kemungkinan ada atau tidaknya indikasi kerugian negara/daerah yang ditimbulkan karena perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi tersebut.
  • Apabila dari kegiatan pada huruf 5)b) dan 6) TPPI menyimpulkan: a) Tidak terdapat indikasi kerugian negara/daerah, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat dilakukan. b) Terdapat indikasi kerugian negara/daerah, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan, disertai dengan Konsep Program Pemeriksaan dan Surat Tugas
  • Jika Ketua BPK menyetujui untuk dilakukan Pemeriksaan Investigatif dalam rangka menghitung indikasi kerugian negara/daerah, maka: a) Menugaskan tim khusus; atau b) Mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait; untuk melakukan pemeriksaan.

Bagan II.1

  1. Kepala Perwakilan

Permintaan Instansi Yang Berwenang untuk menghitung indikasi kerugian negara melalui BPK-RI kantor perwakilan. Tahapan permintaan penghitungan kerugian keuangan negara kepada kepala perwakilan dapat dilihat pada bagan II.2.

  • Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung kerugian negara/daerah dari instansi yang berwenang, maka Kalan melaporkan permintaan tersebut kepada Tortama dan menyampaikan permintaan tersebut kepada TPPI untuk ditelaah
  • TPPI meminta instansi yang berwenang untuk melaksanakan pemaparan kasus disertai dengan data dan informasi yang akan digunakan sebagai bahan penelaahan. Jika diperlukan, Ditama Binbangkum/Kasubag Hukum pada Perwakilan dapat diundang untuk hadir dalam pemaparan.
  • Langkah selanjutnya sesuai dengan poin apabila permintaan dilakukan kepada Ketua BPK.

Bagan II.2

Penyusunan program pemeriksaan

  1. Program penghitungan kerugian negara/daerah yang disusun harus mengarah pada penetapan nilai kerugian negara dan untuk mendapatkan bukti-bukti yang sah secara hukum sehingga dapat digunakan untuk menghitung nilai kerugian negara.
  2. Program pemeriksaan dirancang untuk menilai kelengkapan, kompetensi, dan relevansi bukti yang diterima dari instansi yang berwenang sesuai dengan tujuan penghitungan yang dilaksanakan. Tim pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan lapangan apabila diperlukan.
  3. Program penghitungan kerugian negara/daerah secara jelas menetapkan metodologi untuk menghitung kerugian negara
  4. Susunan program penghitungan kerugian negara/daerah sekurang-kurangnya disusun dengan kerangka sebagai berikut:
  • Dasar pemeriksaan: Menguraikan peraturan perundangan yang menjadi sumber mandat BPK untuk melakukan pemeriksaan.
  • Alasan pemeriksaan: Menguraikan permintaan pemeriksaan dari instansi yang berwenang dan hasil penelaahan TPPI atau Kalan atas kasus yang diminta.
  • Standar pemeriksaan: Menguraikan pedoman yang digunakan BPK sebagai acuan dalam pelaksanaan pemeriksaan.
  • Tujuan pemeriksaan: Tujuan pemeriksaan adalah untuk melakukan penghitungan indikasi kerugian negara yang terjadi pada kasus yang diperiksa.
  • Instansi yang diperiksa: Menguraikan instansi yang berwenang dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang menjadi objek pemeriksaan.
  • Lingkup yang diperiksa: Menguraikan sasaran, lokasi, dan tahun anggaran yang diperiksa.
  • Metodologi pemeriksaan: Menguraikan metode yang dipakai dalam pemeriksaan.
  • Pengarahan pemeriksaan: Menguraikan mengenai arahan-arahan dari penanggung jawab pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan.
  • Prosedur/langkah pemeriksaan: Menguraikan langkah-langkah pemeriksaan yang dilaksanakan oleh tim dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan.
  • Jangka waktu pemeriksaan: Jangka waktu penugasan pemeriksaan disesuaikan dengan tingkat kesulitan dan kondisi di lapangan.
  • Susunan tim dan biaya pemeriksaan
  • Instansi penerima hasil pemeriksaan

 

  1. Pembuatan surat tugas

Surat tugas penghitungan kerugian negara/daerah ditandatangani oleh Ketua BPK/Angbintama/pejabat yang ditunjuk.

 

  • Pelaksanaan

Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah diuraikan sebagai berikut:

  1. Setelah menerima surat tugas, tim pemeriksa mulai melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang. Pemeriksa harus mengetahui dan yakin terdapat TPKKN, terlepas bahwa perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi tersebut ditemukan oleh penyidik dan kerugian negara/daerah adalah merupakan dampak/akibatnya.
  2. Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah didasarkan pada bukti yang diperoleh dari aparat penyidik dan bukti tambahan pendukung lain yang diperlukan pemeriksa BPK, serta memperhatikan landasan hukum kegiatan atas kasus yang sedang disidik.
  3. Jika tim pemeriksa memerlukan bukti tambahan, bukti tersebut diminta dari instansi yang berwenang. Namun, tidak menutup kemungkinan, tim pemeriksa melakukan pemeriksaan lapangan sendiri. Selanjutnya bukti tambahan yang diperoleh tim sendiri atau dari instansi yang berwenang dievaluasi dan dianalisa.
  4. Tahap Pemeriksaan
  • Memahami kasus yang dibangun

Ketika melakukan tahapan di atas, pemeriksa menempuh hal-hal berikut ini:

  1. Memahami Jenis TPKKN: Dalam tahap ini pemeriksa memahami jenis TPKKN yang terjadi yang dipaparkan oleh instansi yang berwenang. Sebagai contoh adalah kontrak/pembayaran fiktif, penggelembungan harga, kuantitas dan kualitas barang lebih rendah dari spesifikasi dalam kontrak.
  2. Mempelajari dasar hukum kegiatan yang diperiksa: Dalam tahap ini pemeriksa mempelajari peraturan perundang-undangan atau ketentuan hukum lainnya yang dapat digunakan sebagai kriteria untuk menilai pelaksanaan kegiatan.
  3. Memahami Transaksi: Memahami jenis transaksi yang dipaparkan oleh instansi yang berwenang. Sebagai contoh adalah masalah pengadaan barang dan jasa, tanah, ruitslag, penyaluran kredit. Menentukan jenis kerugiannya (sebagai contoh adalah hilang/kurang diterimanya suatu hak, timbul/bertambahnya kewajiban, pengeluaran lebih besar, penerimaan diterima lebih kecil/ tidak diterima). Mengidentifikasi, mengumpulkan, memverifikasi dan menganalisis bukti – bukti yang berhubungan dengan penghitungan kerugian negara atas kasus TPKKN yang diperiksa.
  4. Mengidentifikasi waktu dan tempat terjadinya TPKKN.
  5. Menentukan penyebab kerugian (unsur melawan hukum, penyalahgunaan jabatan, kelalaian, memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi).

 

  • Mengevaluasi dan menganalisis bukti–bukti:
  1. Tim melakukan evaluasi dan analisis atas bukti – bukti yang diperoleh dari aparat penyidik dengan memperhatikan kebutuhan data bagi pemeriksaan yang akan dilakukan.
  2. Evaluasi dan analisis yang dilakukan dengan memperhatikan ketentuan–ketentuan yang mendasari suatu transaksi atau kegiatan serta ketentuan mengenai entitas yang diperiksa.

 

  • Melakukan penghitungan kerugian negara/daerah

Modus operandi kasus-kasus TPKKN menentukan metode yang digunakan dalam menghitung kerugian negara yang terjadi. Dengan demikian, dimungkinkan terjadi perubahan metodologi penghitungan kerugian negara/daerah sesuai dengan situasi dan kondisi dalam pelaksanaan pemeriksaan.

  1. Metode Penilaian Kerugian Negara/Daerah: Penghitungan atas kekurangan uang, surat berharga, barang dapat menggunakan beberapa metode penilaian, sebagai contoh: nilai perolehan, nilai jual, dan nilai ganti, nilai pasar yang wajar, nilai historis yang disesuaikan dengan indeks tertentu, nilai jual objek pajak, nilai buku dan lain sebagainya. Penggunaan metode penilaian tersebut dalam praktik penghitungan kerugian negara/daerah harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kelaziman yang dapat dipertanggung jawabkan secara profesional dan dapat diterima secara hukum.
  2. Pengungkapan Metode Penilaian: Metode yang digunakan pemeriksa dalam melakukan penghitungan kerugian negara/daerah hendaknya disampaikan kepada aparat penyidik dan diuraikan dalam laporan hasil pemeriksaan penghitungan indikasi kerugian negara.

 

  1. Penggunaan Ahli

Jika memerlukan adanya pendapat ahli di bidang tertentu, maka Tim melalui Pengendali Teknis meminta instansi yang berwenang untuk menyiapkan ahli yang dibutuhkan. Dalam hal Tim menggunakan bantuan ahli dalam penghitungan kerugian negara/daerah maka Tim harus meyakini bahwa metodologi yang digunakan ahli tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.

  1. Pemaparan Hasil Pemeriksaan

Setelah melakukan pemeriksaan maka Tim memaparkan hasil pemeriksaan kepada Penanggung Jawab untuk mendapatkan masukan dan perbaikan. Setelah melaksanakan perbaikan maka tim menyampaikan kembali hasil pemeriksaan tersebut kepada Penanggung Jawab. Selanjutnya, Tim memaparkan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang

  1. Laporan Hasil Pemeriksaan
  • Setelah Tim melakukan pemaparan kepada instansi yang berwenang, Tim segera menyusun konsep LHP dan menyampaikan konsep laporan tersebut kepada Pengendali Teknis.
  • Pengendali Teknis akan mereviu konsep laporan dan jika menyetujui konsep tersebut, maka konsep yang telah direviu akan disampaikan kepada Penanggung Jawab.
  • Penanggung Jawab akan mereviu konsep laporan dan jika menyetujui konsep tersebut, maka LHP akan disampaikan kepada Ketua BPK/Tortama.

 

  1. Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP): Tim mendokumentasikan langkah-langkah pemeriksaan yang telah dilaksanakan dalam KKP.
  2. Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, tim harus mendapat pengawasan yang baik dari Pengendali Teknis.
  3. Lain-lain: Jika menemukan adanya tindak pidana lain maka Tim melalui Pengendali Teknis menyampaikan hal tersebut kepada instansi yang berwenang.

 

  • Pelaporan Pemeriksaan

Laporan harus menyajikan hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan serta memberikan informasi dan penjelasan yang dipandang perlu berkaitan dengan penugasan pemeriksaan. Bentuk dan susunan laporan pemeriksaan adalah sebagai berikut:

Bab I : Simpulan

Menguraikan jumlah nilai kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait.

Bab II : Umum

  1. Dasar Penugasan Pemeriksaan
  2. Ruang Lingkup Pemeriksaan
  3. Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa
  4. Batasan tanggung jawab pemeriksaan: Menguraikan pernyataan bahwa tanggung jawab pemeriksaan terbatas pada pengungkapan kerugian negara dan menilai besarnya nilai kerugian negara.

Bab III : Uraian Hasil Pemeriksaan

  1. Dasar Hukum Obyek/Kegiatan yang Diperiksa
  2. Materi Temuan
    1. Unsur indikasi tindak pidana korupsi
    2. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian
    3. Penyebab dan Akibat
    4. Bukti pendukung pemeriksaan
    5. Metode penghitungan kerugian negara/daerah
    6. Hasil perhitungan kerugian negara/daerah

Lampiran

 

Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab pemeriksaan. Penanggung Jawab pemeriksaan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada Ketua BPK dengan Nota Dinas pengantar.

Ketua BPK menyampaikan LHP kepada instansi yang berwenang yang meminta kepada BPK untuk melakukan penghitungan kerugian negara/daerah. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan digunakan pejabat BPK yang ditugaskan untuk memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan. Proses peradilan disini diartikan sebagai proses penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Keterangan pejabat/staf BPK tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan ahli oleh penyidik atau hakim.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Pemeriksaan investigatif sesuai dengan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 adalah pemeriksaan yang dilaksanakan guna mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/Daerah dan/atau unsur pidana. Beberapa kasus besar yang ditindaklanjuti dengan pelaksanaan pemeriksaan investigatif antara lain pada kasus Bailout Bank Century dan kasus korupsi Hambalang. Disisi lain, masih banyak kasus-kasus yang terkait dengan indikasi kerugian Negara/Daerah dan/atau unsur pidana yang terjadi.

Dalam arti hukum, korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum, dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi), yang secara langsung atau tidak dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.

Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengartikan kerugian Negara dari sudut pandang akibat perbuatan yakni kurangnya harta Negara. Undang-Undang No 31 Tahun 1999 merumuskan pengertian kerugian Negara dari segi modus atau perbuatan yang menjadi penyebab, yakni perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana.

Dalam lingkup kenegaraan, konteks Indonesia, praktik korupsi masih merajalela di segala lini dan belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Dengan demikian, tantangan bagi aparat pemeriksa keuangan Negara sangat besar, karena selain praktik korupsi yang masih sangat marak dalam jumlah/frekuensi, para pelaku juga semakin rapi dan terorganisir, sehingga sangat sulit diungkap. Proses pengungkapan praktik-praktik ini dilakukan dalam sebuah proses pemeriksaan investigatif yang membutuhkan keahlian khusus yaitu mengenai akuntansi forensik.

Kebutuhan akan keahlian akuntansi forensik yang berkualitas semakin penting untuk dipenuhi instansi pemeriksa keuangan Negara (BPK dalam hal ini). Sebagai disiplin ilmu, akuntansi forensik mencakup keahlian keuangan, pengetahuan bisnis, pengetahuan tentang fraud, teknologi informasi, serta pemahaman akan sistem hukum. Akuntansi forensik dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti pemeriksaan investigatif di perusahaan dan pemerintahan, proses litigasi, penelusuran dan penilaian aset, serta reviu bisnis.

Pemeriksaan investigatif, sebagai bagian dari akuntansi forensik menerapkan  teknik-teknik  untuk  merekonstruksi  suatu  peristiwa  atau transaksi untuk memastikan fakta mengenai “siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana” di sekitar lingkungan kejadian atau transaksi yang sedang diperiksa. Demikian hal ini telah disusun dalam sebuah petunjuk teknis BPK yaitu Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Keputusan BPK-RI Nomor 17/K/I-XIII.2/12/2008 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.

 

PROGRAM DIPLOMA IV AKUNTANSI STAN

KELAS 7A

KELOMPOK IV

Azwar Rakhman (6)

Fransiskus Lucky Arif Wicaksana (13)

Jakarta

2012

CHAPTER 3

Income Concepts

Tujuan utama pelaporan keuangan adalah untuk memberikan informasi yang berguna bagi investor dalam membuat prediksi mengenai performa perusahaan. Dan sumber utama yang digunakan oleh para investor untuk membuat keputusan adalah pelaporan income. Berikut ini beberapa kegunaan konsep income untuk berbagai bidang :

  1. Sebagai dasar penghitungan pajak
  2. Sebagai ukuran keberhasilan suatu perusahaan
  3. Sebagai kriteria tersedianya deviden
  4. Digunakan oleh pihak yang berwenang dalam mengatur tariff apakah tariff tersebut adil dan sesuai/masuk akal
  5. Sebagai panduan manajemen perusahaan dalam menyelasaikan permasalahan-permasalahannya

Menurut FASB, tujuan akuntansi keuangan adalah untuk memberikan informasi pada pengguna laporan keuangan yang akan membantu mereka dalam menilai jumlah, waktu dan ketidakpastian arus kas di masa depan.

Perbedaan Pandangan mengenai Income

Walaupun sudah disepakati bahwa income sangatlah penting, namun ada perbedaan pandangan mengenai income :

  • Pandangan Neraca – Pendekatan Ekonomi :

“Income adalah kenaikan bersih nilai aset dalam satu periode”

  • Pandangan Laba Rugi – Pendekatan Akuntansi/Transaksi :

Pandangan ini menganggap “Neraca sebagai daftar item yang tersisa setelah income dihasilkan dari revenue – cost”

Sifat Income

Income bisa bermacam-macam bentuknya, yang biasanya didiskusikan dalam banyak buku literatur adalah tiga konsep berikut :

  1. Psychic income, yaitu kepuasan atas keinginan manusia
  2. Real income, yaitu peningkatan kekayaan
  3. Money income, yaitu kenaikan nilai moneter suatu sumber daya

Para ekonom sependapat bahwa tujuan pengukuran income adalah untuk menentukan berapa banyak suatu entitas menjadi lebih baik dalam suatu periode, maka dari itu penentuan Real Income menjadi fokus para ekonom.

Pernyataan seorang ekonom, J.R Hicks adalah sebagai berikut :

“Tujuan pengukuran/penghitungan income dalam prakteknya adalah untuk memberikan indikasi berapa jumlah yang dapat dikonsumsi tanpa mengurangi kekayaan”

“Pendapatan seseorang adalah jumlah maksimum yang dapat dikonsumsi selama seminggu tanpa mengakibatkan perubahan kekayaan antara akhir minggu dan awal minggu tersebut”

Dalam bisnis, ini berarti perubahan net aset dalam suatu periode akuntansi dengan mengecualikan investasi/distribusi kepada pemilik.

Konsep tersebut, oleh para akuntan disebut capital maintenance, dalam konsep ini, tidak ada income yang boleh diakui sampai modal (ekuitas atau net aset) dapat dipertahankan dan biaya biaya dikembalilkan. Namun dalam prakteknya, ada perdebatan mengenai pengukuran kekayaan (nilai net aset) yang tepat.

Konsep Capital Maintenance

                Munculnya income berarti ada pengembalian atas modal disetor (return on invested capital). Pengembalian tersebut terjadi hanya setelah jumlah yang diinvestasikan dapat dijaga atau dikembalikan. Maka dari itu dalam konsep capital maintenance, penting untuk membedakan return of dan return on invested capital, dan penentuan income.

Ada dua konsep utama capital maintenance : financial capital maintenance dan physical capital maintenance. Financial capital maintenance adalah ketika jumlah finansial dari net aset pada akhir periode melebihi jumlah finansial net aset pada awal periode, kecuali transaksi dengan pemilik. Pandangan ini didasarkan pada transaksi dan merupakan pandangan tradisional dari capital maintenance yang diterapkan oleh para akuntan.

Physical capital maintenance menyatakan bahwa return on capital terjadi ketika kapasitas produktif secara fisik suatu perusahaan pada akhir periode melebihi kapasitasnya di awal periode, dengan mengecualikan transaksi dengan pemilik. Konsep ini menyatakan bahwa income diakui hanya setelah dapat memberikan pengganti aset operasi perusahaan. Kapasitas produksi pada suatu waktu adalah sama dengan nilai saat ini (current value) net aset untuk menghasilkan pendapatan. Current values menjadi ekspektasi mengenai kemampuan menghasilkan pendapatan di masa depan.

Replacement Cost

Menurut Edwards dan Bell, harga beli saat ini (current entry prices) membuat dapat dilakukannya penilaian manajerial untuk mempertahankan suatu aset dengan memisahkan current value income (holding gains and losses) dari current operating income. Dengan asumsi bahwa operasi perusahaan akan berlanjut, pemisahan ini membuat profitabilitas jangka panjang suatu perusahaan dapat dinilai. Pendapatan perusahaan yang terjadi berulang-ulang dan dapat dikendalikan dapat dibandingkan berhadapan faktor yang mempengaruhi operasi namun diluar kendali manajemen. Replacement cost menyediakan suatu ukuran harga untuk mengganti kapasitas operasi saat ini, kemudian menjadi suatu cara untuk mengevaluasi berapa banyak perusahaan dpat memberi bagian pada pemegang saham dan masih menjaga kapasitas produksinya.

Namun banyak masalah dalam pengukuran terjadi dalam menentukan nilai replacement cost. Perusahaan dapat dengan mudah menilai replacement cost aset aset yang ada di pasaran, namun untuk plant aset yang tidak tersedia di pasaran, perusahaan harus melakukan penilaian estimasi nilai pengganti aset tersebut.

Pendekatan alternatif untuk memperkirakan replacement cost adalah dengan menggunakan index kemampuan membeli (purchasing power index). Index harga spesifik dirancang untuk mengukur apa yang terjadi dengan harga terhadap suatu segmen ekonomi, misalnya peralatan untuk industri, seperti baja atau pertambangan. Penerapan atas index daya beli spesifik dapat memberikan perkiraan yang masuk akal selama nilai aset yang dinilai bergerak seperti aset-aset serupa dalam industri serupa.

Terakhir, relevansi harga beli masih menjadi pertanyaan, Sterling menyatakan bahwa nilai harga beli aset yang belum dimiliki adalah relevan hanya pada saat dibeli. Untuk aset yang sudah dimiliki, nilai harga beli adalah tidak relevan dengan apa yang bisa direalisasi pada saat penjualan.

Exit Value or Selling Prices

Pendekatan lainnya dalam menentukan current value adalah exit value atau nilai harga jual. Pendekatan penilaian ini menilai tiap aset pada titik penjualan. Setiap aset – inventory, pabrik, peralatan, dsb – dinilai berdasarkan harga jual yang dapat direalisasi jika perusahaan memilih untuk menjualnya.

Karena holding gains dan losses diakui secara langsung, pendekatan nilai harga jual sepenuhnya mengabaikan prinsip realisasi untuk pengakuan pendapatan. Saat yang penting untuk pengakuan pemasukan menjadi saat pembelian, bukan saat penjualan.

Chambers dan Sterling yakin bahwa nilai jual memiliki relevansi terhadap keputusan. Pada setiap periode akuntansi, manajemen menentukan apakah untuk mempertahankan, menjual atau mengganti aset. Menjadi bahan perdebatan bahwa nilai jual menyediakan informasi yang lebih baik kepada pengguna untuk menilai likuiditas dan kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dengan stimulus ekonomi yang berubah-ubah. Karena manajemen memiliki pilihan untuk menjual asetnya, nilai jual memberikan suatu cara untuk menilai resiko.

Sama seperti nilai beli, menentukan nilai jual juga memiliki masalah. Pertama masalah dasar menentukan harga jual untuk aset, yaitu tidak adanya pasar yang selalu siap membeli. Kedua, pendapat bahwa nilai jual harus berdasarkan pada harga atas penjualan normal, bukan atas likuidasi yang terpaksa, hal ini mungkin bisa diaplikasikan pada aset seperti inventory, namun akan tidak mungkin diaplikasikan pada aset pabrik karena tidak mungkin dijual secara normal.

Discounted Present Value

Pendekatan ketiga dalam menilai net aset adalah discounted cash flow. Menurut konsep ini, nilai sekarang dari cash flow di masa depan yang diharapkan akan diperoleh dari aset adalah nilai relevan sebuah aset (atau hutang) yang seharusnya dilaporkan di neraca. Dalam metode ini income adalah sama dengan perbedaan present value dari net aset di akhir periode dibanding dengan pada awal periode, kecuali transaksi dari/kepada pemilik. Penilaian ini hampir sama dengan konsep ekonomi dari income karena nilai yang didiskontokan mungkin adalah perkiraan yang paling mendekati dari nilai sebenarnya suatu aset.

Argumen yang kuat dapat dibuat untuk konsep cash flow yang didiskontokan. Semua aset diasumsikan diperoleh untuk manfaat di masa depan kepada perusahaan. Lebih dari itu, ada asumsi bahwa perusahaan mau membayar harga beli aset tersebut karena percaya bahwa aset tersebut nantinya akan membawa keuntungan bagi perusahaan. Maka secara eksplisit maupun implisit, harga awal berhubungan dengan nilai sekarang dari cash flow yang diharapkan akan diterima di masa depan dari aset tersebut. Penggunaan berkelanjutan suatu aset berarti bahwa nilainya berhubungan dengan arus kas yang diharapkan akan diterima di masa depan. Maka, perubahan arus kas yang diharapkan akan diterima dan nilai sekarang aset tersebut dari waktu ke waktu akan menjadi relevan. Kemudian, diperkirakan bahwa nilai sekarang suatu aset di akhir periode merupakan perkiraan mengenai berapa perusahaan mau mengeluarkan untuk mengganti aset tersebut sehingga kapasitas produksi terjaga. Secara konsekuen, pengukuran income dengan cara ini konsisten dengan konsep pemeliharaan modal (capital maintenance).

Penggunaan pengukuran present valuedalam akuntansi mendapat dorongan tambahan oleh FASB dengan dikeluarkannya SFAC No.7 “Menggunakan Pengukuran Arus Kas dan Pengukuran Present Value dalam Akuntansi”. Walaupun demikian, ada tiga masalah besar dalam konsep discounted cash flow.

  1. Konsep ini sangat bergantung pada estimasi arus kas dengan suatu periode. Akibatnya, baik jumlah cash yang akan dihasilkan dan kapan jumlah tersebut dihasilkan harus ditentukan.
  2. Menentukan nilai diskonto yang sesuai
  3. Aset perusahaan saling berhubungan. Walaupun nilai sekarang masing2 aset dapat ditentukan, namun keuntungan perusahaan didapat dari penggunaan gabungan aset perusahaan, sehingga sebenarnya sulit menentukan berapa besar sebuah aset berkontribusi terhadap penghasilan perusahaan.

Current Value dan Model Akuntansi Historical

Walaupun model akuntansi sekarang bergantung banyak kepada historical cost, diskusi dan pernyataan yang dikeluarkan FASB baru-baru ini mengindikasikan adanya pergerakan menuju penyediaan informasi current value. Sebagai contoh SFAS NO.33 menyediakan petunjuk untuk informasi current cost untuk aset non-moneter; SFAS No.114 dan 115 menuntut agar investasi dalan instrumen finansial dilaporkan dalam fair value dan agar perusahaan memberikan informasi tambahan atas informasi market value.

Income Recognition

Dalam upaya untuk mengatasi masalah pengukuran yang berhubungan dengan konsep pendapatan secara ekonomi, akuntan menggunakan pendekatan transaksi untuk mengukur aset, kewajiban, pendapatan dan beban. Pendekatan ini bergantung pada (presumptions) bahwa elemen laporan keuangan harus dilaporkan pada saat ada bukti transaksi dengan pihak luar (arm’s length transaction). Akuntansi berdasarkan transaksi pada umumnya meminta agar income yang dilaporkan adalah hasil dari bertransaksi dengan entitas diluar unit yang melaporkan income tersebut dan menyebabkan prinsip realisasi. Prinsip realisasi menyatakan bahwa income seharusnya diakui ketika proses pendapatan selesai atau terlihat selesai dan transaksi pertukaran telah terjadi. Transaksi adalah dasar akuntabilitas dan menentukan baik penentuan waktu pengakuan pendapatan dan jumlah yang harus dicatat. Laporan keuangan sebagai hasilnya dinyatakan dalam modal yang diinvestasikan dalam aset bersih dan pengembalian atas investasi tersebut kepada pemegang saham. Karenanya, akuntansi berdasarkan transaksi konsisten dengan konsep capital maintenance.

Akuntansi berdasarkan transaksi bertolak belakng dengan konsep income secara ekonomi dalam hal income secara akuntansi ditentukan dengan mengukur hanya net aset yang dicatat saja, dengan mengecualikan transaksi dari/kepada pemilik, dalam suatu periode. Konsep income secara akuntansi pada umumnya tidak mencoba melaporkan nilai yang diharapkan atas aset dan kewajiban.

Edwards dan Bell mengusulkan, bahwa dengan sedikit perubahan dalam prosedur akuntansi saat ini, empat jenis income dapat didapat : (1) current operating profit (laba operasi sekarang) – nilai lebih pendapatan penjualan terhadap biaya unput yang digunakan dalam produksi dan dijual. (2) realizable cost saving (penghematan biaya yang dapat direalisasi) – kenaikan harga aset yang dipegang dalam suatu periode. (3) realized cost saving – perbedaan antara harga historical dengan harga beli sekarang dari barang yang dijual. (4) realized capital gains (laba modal yang terealisasi) – jumlah lebih nilai yang diterima atas penjualan dari biaya historis suatu aset yang di-dispose

Sprouse menjelaskan mengenai ARS No.3 dengan konsep yang lebih sempit :

Karena kepemilikan bunga senantiasa berpindah tangan, kita harus berusaha untuk pengakuan yang tepat waktu atas perubahan yang dapat diukur, dan untuk melakukannya, kita harus mengidentifikasi sifat perubahan tersebut. Sebagaimana yang sekarang dilaporkan, income dapat terdiri dari tiga elemen, yang masing masing memiliki arti secara ekonomi yang berbeda. Apakah laba kotor benar benar dari hasil operasi – perbedaan harga jual produk dan biaya untuk memproduksinya, dan keduanya dinilai dalam harga sekarang? Berapa banyak dari income perusahaan bukan dari hasil operasi melainkan dari perubahan nilai aset yang signifikan, misal jumlah persediaan bahan baku yang banyak, seperti segudang gula? Perubahan tersebut cenderung tidak disengaja dan tidak dapat diperkirakan, maka dari itu perlu dipisahkan jika laporan keuangan memang dimaksudkan untuk diinterpretasikan dan pengukuran income dijadikan dasar untuk keputusan investasi. Dan berapa banyak dari apa yang dilaporkan sebagai income sebenarnya bukan income sama sekali, melainkan hanya hasil perubahan cara pengukuran pendapatan dan beban?

Perubahan besar yang dianjurkan oleh Edwards dan ARS No.3 adalah pelaporan unrealized gains/losses (laba/rugi yang belum terealisasi) dari aset bersih suatu entitas dalam suatu periode.  Para pendukung mengaku bahwa melaporkan holding gains/losses akan meningkatkan informasi dari laporan keuangan. Argumen ini berfokus pada dua poin utama : (1) laba/rugi yang besar akibat mempertahankan aset dan kewajiban tertentu harus dilaporkan pada saat terjadi. Dan (2) perubahan dalam unit pengukuran harus dihilangkan dari proses pelaporan; yaitu, laporan keuangan harus disesuaikan dengan efek inflasi.

Baru baru ini FASB telah mengadopsi pendekatan neraca yang mendefinisikan income sebagai perubahan periodik dalam net aset. Perubahan ini diperlukan seiring dengan waktu, FASB telah mengalah pada tekanan dari pengguna laporan keuangan untuk mengesahkan pendekatan kinerja operasi berjalan dalam menentukan laba dengan cara memperbolehkan beberapa perubahan dalam aset dan kewajiban tidak dilaporkan dalam laporan keuangan. Praktek ini mendapatkan perhatian dari akademis dan analis investasi yang berpusat pada dua hal : (1) Kesulitan pengguna untuk memperoleh informasi yang terkubur dalam laporan laba rugi dan neraca, dan (2) dampak dan pentingnya item-item tersebut dalam penilaian ekuitas. Atas kekhawatiran tersebut, FASB mengeluarkan SAFS No.130 “Comprehensive Income” yang menjelaskan Comprehensive Income sebagai perubahan dalam net aset selain transaksi kepada/dari pemilik. Tujuan utama dari pernyataan FASB ini adalah untuk memberikan item-item yang termasuk dalam item Comprehensive Income, yaitu yang perubahannya dalam aset dan kewajiban tidak dilaporkan dalam laporan laba rugi.

Measurement

Pelaporan pendapatan dalam bisnis mengasumsikan bahwa semua item pendapatan dan beban dapat diukur. Pengukuran adalah memberikan angka kepada objek atau kejadian sesuai aturan. Pengukuran juga merupakan proses membandingkan untuk mendapatinformasi yang lebih pasti untuk membedakan satu pilihan dengan pilihan lainnya dalam situasi pengambilan keputusan.

Unit pengukuran akuntansi di Amerika adalah US Dollar, namun ketidakstabilan dari unit pengukuran ini menyebabkan masalah, misalnya nilai penjualan yang berubah tiap tahun walaupun jumlah barang yang dijual sama. Masalah ini banyak disebabkan karena perubahan nilai dollar.

Faktor lain yang mempersulit pengukuran secara akuntansi adalah keputusan sepihak yang harus dibuat untuk tujuan pelaporan periodik. Depresiasi, amortisasi adalah contoh dari pengukuran sewenang-wenang dengan teknik yang tidak pasti. Maka dari itu pengguna laporan keuangan harus memahami batasan yang melekat pada teknik pengukuran dalam akuntansi.

Akuntansi untuk Inflasi

Sebab utama dari ketidakstabilan dalam pengukuran akuntansi adalah efek inflasi dan deflasi dari ekonomi yang memiliki dampak umum terhadap daya beli mata uang. Inflasi mengikis daya beli aset moneter, yang akan mempengaruhi secara negatif nilai uang yang diinvestasikan di aset bersih perusahaan. Laba yang diukur sebagai perubahan dalam tingkat harga – net aset yang disesuaikan dari awal periode ke akhir periode, diluar transaksi dengan pemilik, akan mencerminkan pengikisan investasi modal moneter sehingga akan konsisten dengan konsep financial capital maintenance.

Pengakuan dan realisasi laba

Terdapat kebingungan besar dalam literatur akuntansi dalam menetapkan makna dasar dari “pengakuan” dan “realisasi”.

Pengakuan adalah proses formal dalam mencatat kejadian atau transaksi sedangkan realisasi adalah proses pengkonversian aset non kas ke dalam kas atau klaim terhadap kas. Akuntansi berbasi transaksi mengakui dan melaporkan laba yang terealisasi atau dapat direalisasi. Oleh sebab itu, pengakuan akuntansi didasarkan pada penentuan kapan realisasi tersebut terjadi. Kritik terhadap proses akuntansi mendukung konsep ekonomi dari laba riil, sebagaimana laba diperoleh secara terus menerus. Akuntan berpendapat bahwa sangat tidak praktis untuk mencatat laba dalam basis berkelanjutan. Konsekuensinya, akuntan harus memilih titik penting dalam waktu untuk mencatat terjadinya laba. Untuk perusahaan pabrikasi, terdapat beberapa kemungkinan termasuk akuisisi bahan baku, proses produksi, penjualan, penerimaan kas atau saat diselesaikannya aktivitas pasca penjualan seperti garansi.

Pada 1964, komite asosiasi akuntansi amerika merekomendasikan konsep realisasi laba dapat ditingkatkan jika kriteria berikut ini tersedia:

  1. Laba harus dapat diukur
  2. Pengukuran laba harus diverifikasi oleh transaksi pasar eksternal
  3. Harus ada kejadian penting

Elemen kunci dari pengakuan tersebut adalah poin 3 dimana penilaian kejadian penting menyatakan bahwa laba harus direalisasikan saat terjadi titik paling krusial dalam proses perolehan. Penilaian ini menghasilkan berbagai titik pengakuan laba untuk organisasi bisnis yang berbeda.

Penggabungan penggunaan penilaian kejadian penting dengan pendekatan transaksi menghasilkan laba akuntansi yang mengukur perbedaan antara penjualan produk perusahaan dengan biaya yang muncul terkait dengan produksi. FASB mendefinisikan laba sebagai “aliran masuk atau peningkatan lain atas aset sebuah entitas atau penyelesaian kewajiban (atau kombinasi keduanya) dalam sebuah periode produksi, pelayanan, atau aktivitas lain yang merupakan operasional utama entitas.

Praktik yang terjadi sekarang, laba biasanya diakui saat titik penjualan. Bagaimanapun, titik pengakuan bisa diajukan atau diundur berdasarkan jenis transaksi tertentu. Secara umum, pergeseran atas pengakuan laba dari titik penjualan muncul merupakan sebab dari tingkat kepastian yang berbeda-beda. Ketika tingkat kepastian dikaitkan dengan realisasi, pengakuan laba bisa mendahului titik penjualan. Sebaliknya, semakin besar tingkat ketidakpastian mengakibatkan kecenderungan menunda titik pengakuan laba. Kriteria titik kepastian menghasilkan titik pengakuan laba yang berbeda-beda terhadap siklus penjualan-produksi.

  1. Laba diakui sepanjang proses produksi, diterapkan pada perusahaan yang memiliki rentang produksi lebih dari satu periode.
  2. Laba diakui saat penyelesaian proses produksi, diterapkan jika produk akan dijual dengan harga yang telah ditentukan pada pasar yang terstruktur.
  3. Laba diakui saat layanan dilaksanakan, diterapkan pada transaksi yang melibatkan kontrak jasa. Pengakuan laba terikat pada jasa yang telah diselesaikan.
  4. Laba diakui saat kas diterima, diterapkan pada keadaan tertentu dimana kemungkinan kas diterima sangat diragukan.
  5. Laba diakui saat terjadinya kegiatan tertentu, diterapkan pada keadaan tertentu dimana kontrak tidak ada atau hak untuk membatalkan masih harus dibuktikan.

Keadaan yang menyebabkan pengakuan memiliki perlakuan khusus

Beberapa keadaan tertentu tidak dapat dimasukkan ke dalam salahsatu dari kategori diatas. Pada SFAS no 48 menyatakan bahwa pengakuan laba dilakukan saat munculnya hak atas pengembalian. FASB menyatakan bahwa penjual harus mengakui laba saat titik penjualan saat munculnya hak atas pengembalian harus memenuhi beberapa keadaan berikut ini:

  1. Harga jual tetap atau dapat ditentukan saat tanggal penjualan
  2. Pembeli telah membayar atau berkewajiban membayar kepada penjual
  3. Pembeli menanggung risiko kerugian atas kehilangan atau kerusakan
  4. Pembeli tidak memiliki hubungan khusus dengan penjual
  5. Penjual tidak memiliki kewajiban utama terhadap kinerja di masa depan terkait penjualan kembali atas produknya
  6. Pengembalian di masa depan dapat diestimasi secara beralasan

Jika pada kejadian hal tersebut tidak memenuhi syarat dan pengakuan laba harus ditangguhkan, laba harus diakui pada titik pertama saat hak pengembalian telah dilampaui dan syarat tersebut terpenuhi.

Alasan mendasar atas perbedaan pengakuan tersebut adalah adanya perbedaan tingkat kepastian dan keterjadian kejadian penting atau aktivitas proses perolehan. Minimnya kriteria spesifik dalam membantu menentukan kapan mencatat laba juga dapat berujung pada penyalahgunaan laporan.

SEC Staff accounting bulletin no 101

Dokumen ini mengindikasikan bahwa dukungan terhadap panduan pengakuan laba sangat penting mengingat banyaknya isu mengenai pengakuan laba yang dihadapi para registran. Perhatian juga nampak karena banyaknya porsi fraud dalam laporan keuangan menyangkut pengakuan laba yang ditinggikan. Menurut SAB no 101, jika transaksi terjadi dibawah literatur kewenangan spesifik yang mendukung panduan pengakuan laba, maka literatur tersebut wajib dipergunakan. Bagaimanapun, dalam ketiadaan literatur kewenangan yang mengatur penetapan spesifik atau industri spesifik, standar akuntansi kewenangan yang ada wajib dipertimbangkan.

Berdasarkan panduan tersebut, SAB 101 mengindikasikan bahwa laba tidak boleh diakui sampai benar-benar direalisasi atau dapat direalisasi dan diperoleh berdasarkan kriteria berikut:

  1. Terdapat penetapan atau bukti persuasif
  2. Telah terjadi pengantaran atau jasa telah dilaksanakan
  3. Harga penjual kepada pembeli telah tetap dan dapat ditentukan
  4. Kolektabilitas dapat dijamin secara masuk akal, harga penjual kepada pembeli telah tetap dan dapat ditentukan

Publikasi SAB no 101 menghasilkan perubahan dalam kriteria pengakuan laba untuk beberapa perusahaan.

Penandingan

Sebagai tambahan atas prinsip realisasi, konsep penandingan adalah satu titik penting dalam menentukan laba akuntansi disebabkan karena kebutuhan atas pelaporan periodik dan basis teoritis mendasari konsep akrual dari laba. Prosedur akuntansi biasa berdasarkan pemikiran bahwa perusahaan tersebut akan terus berkelanjutan dan oleh karena itu harus menyediakan laporan periodik kepada investor untuk menilai investasinya. Karena laba akuntansi terdiri dari laba dan beban, prinsip akuntansi telah berkembang untuk menetapkan kapan mengakui laba dan bagaimana menandingkan laba dengan beban. Proses mengelompokkan laba dengan beban ini yang disebut dengan konsep penandingan.

Paton dan Littleton menjelaskan konsep penandingan sebagai pengelompokan antara usaha dengan pencapaian. Sama halnya dengan itu, Komite asosiasi akuntansi amerika yang menginvestigasi konsep penandingan merekomendasikan bahwa biaya harus dapat dihubungkan dengan laba yang direalisasi dalam periode spesifik berdasarkan basis hubungan tertentu antara biaya tersebut dengan laba yang diakui.

Menentukan kapan biaya tidak memiliki keuntungan masa depan ataukah dapat disandingkan dengan pendapatan tergantung pada definisi biaya, beban dan kerugian.

Biaya– adalah jumlah yang muncul sebagai pengganti atas barang yang diterima atau akan diterima. Biaya dapat diklasifikasikan sebagai tidak daluwarsa (biaya terkait aset), yang dapat diaplikasikan kepada penciptaan laba di masa depan, dan dapat diklasifikasikan sebagai daluwarsa jika biaya tersebut tidak dapat diaplikasikan kepada penciptaan laba masa depan oleh karena itu harus dikurangkan dari laba atau laba ditahan dalam periode berjalan.

Beban– adalah aliran keluar atau penggunaan aset atau munculnya kewajiban (atau gabungan keduanya) sepanjang periode menghasilkan barang, memberikan jasa atau pelaksanaan aktivitas lain yang merupakan kegiatan utama entitas.

Kerugian– adalah penurunan modal (aset neto) dari transaksi sampingan dari entitas dan penurunan nilai yang berasal dari transaksi atau kegiatan lain dan keadaan yang mempengaruhi entitas selama periode kecuali arus keluar yang berasal dari beban atau dibagikan kepada pemilik.

Dalam kata lain, beban adalah berakhirnya biaya untuk menghasilkan laba sebagaimana kerugian adalah berakhirnya biaya yang tidak untuk menghasilkan laba.

Demikian maka akuntan harus menentukan biaya yang telah berakhir selama periode berjalan dan menentukan apakah biaya tersebut sebagai beban atau kerugian. Penentuan ini dibantu dengan memisahkan beban kedalam biaya produk dan biaya periode. Biaya produk adalah penyelesaian biaya yang dapat dikelompokkan secara langsung kepada produk. Biaya produk dikenakan sebagai beban berdasarkan jumlah unit yang terjual. Biaya periode adalah penyelesaian biaya yang berhubungan lebih dekat kepada periode daripada produk. Biaya periode dikenakan sebagai beban berdasarkan basis periode keuntungan. Seluruh kerugian diungkap pada periode dimana saat ketidakadaan keuntungan masa depan diketahui.

Kesimpulannya, dapat dilihat bahwa pengakuan laba akuntansi adalah hasil dari kemampuan dalam menghitung arus masuk (laba) dan arus keluar yang telah dikelompokkan (beban).

Konservatisme

Sterling menyebut konservatisme sebagai prinsip yang paling berpengaruh dalam penilaian akuntansi. Sederhananya, konservatisme berpegang bahwa disaat anda ragu-ragu, pilihlah alternatif akuntansi yang paling rendah dalam menghasilkan pelebihan aset  atau laba.

Dasar konservatisme pada awalnya mencapai keutamaan sebagai pengimbang sebagian atas optimisme abadi dari manajemen dan kecenderungan untuk pelebihan laporan keuangan yang menjadi karakteristik tiga dekadi awal abad 20an. Konservatisme juga dilihat sebagai penolakan argumen bahwa akuntan mempercayai bahwa dengan menempatkan penilaian alternatif paling rendah atas firma, pengguna informasi laporan keuangan akan semakin sedikit mengalami salah paham.


 

Materialitas

Konsep materialitas telah menembus pengaruh terhadap seluruh aktivitas akuntansi meskipun terdapat fakta bahwa tidak ada pengertian yang dapat mencakup seluruh konsep. Meskipun materialitas mempengaruhi pengukuran dan pengungkapan atas seluruh informasi yang disajikan dalam laporan keuangan, konsep ini memiliki dampak terbesar atas rincian laba dan beban.

Konsep ini memiliki aspek kualitatif dan kuantitatif. Sebagai contoh, organisasi sektor publik diberi kewenangan untuk mengembangkan GAAP telah mendefinisikan materialitas secara kualitatif dan kuantitatif. Penelitian riset akuntansi nomor 7 mendukung definisi kualitatif sebagai berikut:

Statemen, fakta atau rincian dikatakan material jika memberikan pertimbangan terhadap lingkungan disekitarnya sebagaimana hal tersebut ada pada saat tersebut. Hal ini seperti sifat dasar bahwa pengungkapannya atau metode perlakuannya akan cenderung mempengaruhi atau menciptakan perbedaan dalam penilaian dan tingkah laku dari pihak tertentu.

Organisasi tersebut juga telah melengkapi pengertian kuantitatif atas materialitas. Sebagai contoh, sebagai syarat kuantitatif telah diterbitkan dalam opini APB no 18, sebuah investasi senilai 20 persen atau lebih dalam saham dengan hak suara dianggap material. Dalam opini APB no 15, penurunan dengan nilai kurang dari tiga persen atas jumlah EPS tidak dianggap material. Sebagai tambahan FASB mendefinisikan sebuah segmen yang dapat dilaporkan sebagai salah satu yang menyatakan bahwa 10 persen dari laba, keuntungan operasi atau aset. Sebagian besar SFAS menganut hal berikut: “Ketetapan atas pernyataan ini tidak perlu diterapkan pada hal yang tidak material”.

Dalam pernyataan konsep akuntansi keuangan no 2, FASB membuat pernyataan berikut ini terkait materialitas.

Barang siapa membuat keputusan akuntansi dan siapapun yang membuat penilaian sebagai auditor secara berkelanjutan telah mengkonfrontasi kebutuhan untuk membuat penilaian terhadap materialitas. Penilaian materialitas pada dasarnya merupakan hal kuantitatif. Hal ini memunculkan pertanyaan: Apakah hal ini cukup memberikan pengaruh yang besar bagi pengguna informasi? Bagaimanapun, jawaban atas pertanyaan tersebut biasanya akan dipengaruhi sifat hal tersebut. Sebuah yang terlalu kecil untuk diperkirakan sebagai material jika dihasilkan dari transaksi rutin akan menjadi material jika berasal dari keadaan yang tidak normal.

SFAC No 2 berjalan untuk mendefinisikan penilaian materialitas sebagai sekat atau ambang pintu. Bahwasanya apakah sebuah hal (kesalahan atau kelalaian) cukup besar untuk melampaui batas antara material dan tidak material? Semakin penting hal tersebut, semakin tipis batas yang ada.

Contohnya adalah sebagai berikut:

  1. Perubahan akuntansi dalam keadaan yang mengakibatkan perusahaan mengalami bahaya yang disebabkan pelanggaran perjanjian karena kondisi keuangannya yang mungkin membenarkan batas material yang lebih kecil daripada jika posisinya lebih kuat.
  2. Kegagalan untuk mengungkapkan secara terpisah sebuah keadaan yang tidak berulang dari laba mungkin akan material pada batas yang lebih rendah daripada menjadi permasalahan jika laba berubah menjadi kerugian atas keuntungan atau kebalikan tren laba dari tren menurun menjadi meningkat.
  3. Kesalahan klasifikasi sebuah aset tidak akan menjadi material secara jumlah jika hal ini mempengaruhi dua kategori dari aset atau peralatan namun akan menjadi material jika klasifikasi tersebut diubah menjadi kategori antara aset lancar dan aset tidak lancar.
  4. Jumlah yang terlalu kecil untuk menjamin pengungkapan atau koreksi dalam keadaan normal mungkin dianggap material jika hal tersebut muncul dari transaksi atau kejadian abnormal atau tidak biasa.

Organisasi lain juga telah mencoba mendefinisikan materialitas. Asosiasi Akuntansi Amerika berkontribusi dalam pedoman kuantitatif maupun kualitatif.

Materialitas, sebagaimana digunakan dalam akuntansi dapat diartikan sebagai ketetapan atas kepentingan secara relatif. Materialitas tidak sepenuhnya tergantung terhadap ukuran yang relatif. Kepentingan tersebut dapat tergantung bukan saja atas karakteristik kuantitiatif maupun kualitatif, seringkali kombinasi dari keduanya. Faktor yang dapat mengindikasikan materialitas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Karakteristik tersebut memiliki signifikasi kuantitatif utama:
  2. Besaran atas hal tersebut secara relatif terhadap pengharapan normal
  3. Besaran atas hal tersebut secara relatif terhadap hal yang serupa atau terkait
  4. Karakteristik tersebut memiliki signifikasi kualitatif utama:
  5. Kepentingan bawaan atas kegiatan, aktivitas, atau keadaan yang tergambarkan
  6. Kepentingan bawaan atas hal tersebut sebagai indikator atas kemungkinan rangkaian atas kegiatan di amsa depan.

SEC menggunakan definisi kualitatif dalam peraturan no 1.02 dalam regulasi S-X

Istilah materialitas ketika digunakan untuk mengkualifikasikan persyaratan kelengkapan informasi terhadap subyek apapun telah membatasi informasi yang dibutuhkan kepada pihak yang berkepentingan sebagaimana rata-rata investor yang hati-hati sebaiknya diberikan informasi yang memadai.

SEC telah memperbarui kepentingannya atas konsep materialitas. Buletin staf akuntansi yang baru-baru ini dipublikasikan mengindikasikan bahwa perusahaan tidak seharusnya bersandar secara ekslusif kepada penilaian kuantitatif untuk menilai apakah suatu hal termasuk material atau tidak. Terlepas dari sebelumnya, hal yang ditetapkan kurang dari 3 sampai dengan 5 persen dari laba perusahaan yang dilaporkan seringkali dianggap tidak material. Posisi terakhir SEC adalah bahwa pengujian persentase dapat diterima untuk penilaian awal namun perusahaan harus juga mempertimbangkan bahwa hal tersebut adalah penting. Sebagai tambahan, perusahaan dilarang menurunkan hal-hal dalam laporan dalam rangka memenuhi perkiraan laba perempat, mengkonversi kerugian menjadi laba, mempertahankan tren laba, meningkatkan kompensasi manajemen, atau menyembunyikan transaksi ilegal.

Kualitas Laba

Menarik kembali ke chapter 1 bahwa FASB telah menyimpulkan bahwa informasi relevan tentang entitas harus mendukung kemampuan prediksi. Tujuan utama pelaporan keuntungan adalah untuk mempersilahkan investor memprediksikan arus kas di masa depan. Meskipun bukti bahwa laba akuntansi merupakan indikator baik dari pengembalian saham, penggunaan pendekatan transaksi terhadap penentuan laba sejalan dengan prinsip konservatisme dan desakan materialitas telah menggiring analisis sekuritas kepada kesimpulan bahwa laba ekonomi adalah indikator prediksi atas arus kas di masa depan daripada laba akuntansi. Sebagai konsekuensinya, individu tersebut menyarankan menilai kualitas laba untuk memperkirakan arus kas di masa depan. Kualitas laba diartikan sebagai tingkat hubungan antara laba akuntansi perusahaan dengan laba ekonominya. Beberapa teknik mungkin dapat digunakan untuk menilai kualitas laba, antara lain:

  1. Bandingkan prinsip akuntansi yang diterapkan perusahaan dengan prinsip yang digunakan secara umum dan perusahaan kompetitor. Apakah prinsip yang digunakan oleh perusahaan melambungkan laba?
  2. Tinjau ulang perubahan terakhir atas prinsip akuntansi dan perubahan dalam perkiraan-perkiraan untuk menentukan apakah hal ini melambungkan laba?
  3. Tentukan apakah beban diskresi seperti iklan telah ditangguhkan dengan membandingkan nya terhadap beban yang sama pada periode sebelumnya?
  4. Coba untuk menilai apakah suatu beban seperti beban garansi tidak tergambarkan pada laporan laba rugi?
  5. Tentukan biaya penggantian terkait persediaan dan aset lainnya. Beri penilaian apakah perusahaan mampu menyediakan arus kas yang cukup untuk menggantikan asetnya?
  6. Tinjau ulang catatan atas laporan keuangan untuk menentukan apakah ada kontijensi kerugian yang mungkin akan mengurangi nilai laba di masa depan dan arus kas.
  7. Tinjau ulang hubungan antara penjualan dan piutang untuk menentukan apakah piutang berkembang lebih cepat daripada penjualan.
  8. Tinjau ulang diskusi manajemen dan seksi analisis dalam laporan tahunan dan opini auditor untuk menentukan opini manajemen atas masa depan perusahaan dan untuk menandai isu akuntansi utama yang ada.

Teknik tersebut dapat membantu menentukan apakah laporan keuangan perusahaan belum secara cukup menggambarkan substansi ekonomi dalam operasi perusahaan. Lev dan Thiagarajan menemukan bahwa kualitas laba yang disesuaikan untuk penerimaan dan kerugian yang tidak berkelanjutan mendukung penjelasan yang lebih baik atas perubahan harga saham daripada yang dicantumkan dalam laporan laba rugi. Sebagai konsekuensinya, investor harus mencoba menyesuaikan laporan keuangan untuk menggambarkan ralitas ekonomi.

Terdapat bukti bahwa investor menjadi semakin tertarik dalam isu kualitas laba. Pada akhir 1999, harga saham american express, Pitney Bowes dan Tyco International mengalami dampak secara negatif setelah perusahaan melaporkan penerimaan tidak berkelanjutan sebagai bagian dari laporan perempat tahunannya yang secara nyata dianggap pasar sebagai usaha untuk mencapai harapan laba. Pada tahun-tahun sebelumnya,investor seringkali mengacuhkan komponen dari angka laba perempat tahunan sepanjang perkiraan laba dapat terpenuhi. Bagaimanapun, saat ini nampak bahwa pasar sedang melihat komponen angka laba lebih skeptis.

SEC juga telah menyampaikan ketertarikannya atas isu tersebut. Secara spesifik, hal ini telah mengadopsi aturan yang akan memperbolehkan untuk mempertimbangkan apa yang mungkin akan mendorong perusahaan untuk membuat atau menggagalkan penyesuaian atas laporan keuangannya. Perhatian atas hal ini muncul dari fakta bahwa gagalnya estimasi laba yang diharapkan karena (bahkan) jumlah yang kecil kadangkala memberikan dampak yang luas pada harga saham perusahaan. Konsekuensinya, panduan tersebut mengindikasikan bahwa jika perusahaan memperkirakan bahwa sebuah hal kecil akan memberikan dampak negatif yang signifikan , maka hal tersebut harus dilaporkan.

Aspek lainnya dari isu kualitas laba adalah manajemen laba. Manajemen laba adalah usaha oleh pegawai perusahaan untuk mempengaruhi laporan keuangan jangka pendek. Penelitian akhir-akhir ini menemukan bahwa manajemen laba muncul karena berbagai alasan seperti, mempengaruhi pasar saham, meningkatkan kompensasi manajemen, mengurangi kecenderungan pelanggaran perjanjian hutang, dan menghindari intervensi regulator pemerintah. Hal ini dipercayai bahwa manajer dapat mencoba untuk mengelola laba karena mereka yakin bahwa investor terpengaruh laporan keuangan. Teknik manajemen laba termasuk mengajukan atau memundurkan produksi dan keputusan investasi, pemilihan waktu strategis untuk mengakui laba dan belanja serta pilihan pengadopsian teknik akuntansi (termasuk pengadopsian lebih awal atas standar akuntansi baru). Dalam sebagian besar kasus, teknik manajemen laba dirancang untuk meningkatkan efek laporan keuangan dan mengurangi biaya modal perusahaan. Dalam kata lainnya, manajemen boleh mengambil kesempatan untuk meningkatkan keuntungan masa depan. Pendekatan ini terhadap manajemen laba ini menunjuk kepada yang disebut big bath theory. Sebuah pendapat alternatif yang memperbolehkan manajemen memilih untuk mengambil penghapusan besar-besaran dalam periode dimana performa mereka sedang positif secara ekstrim.

Usaha untuk mengelola laba mungkin tidak relevan dalam kaitannya dengan riset pasar efektif. Temuan umum dalam riset ini mengindikasikan bahwa pasar tidak akan tertipu oleh manipulasi angka akuntansi. Alternatifnya, jika kompensasi diikatkan pada laba, maka mungkin ada alasan maksimalisasi kegunaan mengapa manajer mencoba mengelola laba. Penjelasan hal ini nampak pada agency theory.

PENERIMA LABA

Sebagai tambahan atas pertanyaan mengenai sifat dan pelaporan laba, terdapat keraguan yang wajar: Siapakah yang menjadi penerima laba? Pertanyaan ini melibatkan penentuan penerima tepat atas laba dan bagaimana prosedur pelaporan yang benar untuk mengakomodir masing-masing dari alternatif yang bervariasi. Hendriksen menyarankan bahwa laba bersih dapat disampaikan dalam konsep berikut ini: nilai tambah, laba bersih perusahaan, laba bersih untuk investor, laba bersih untuk pemegang saham, dan laba bersih untuk pemilik modal minoritas. Penentuan angka laba bersih untuk dilaporkan dalam masing-masing hal tergantung pada pertanyaan apakah pengurangan dari laba dapat dipandang sebagai beban atau distribusi laba. Pertanyaan penentuan laba dapat, oleh karena itu, juga tergantung apakah distribusi tertentu dikatakan sebagai distribusi laba atau beban eksternal

Konsep laba bernilai tambah

Konsep ekonomi memandang laba sebagai harga pasar saat ini dari produk perusahaan dikurangi biaya unit eksternal dan jasa yang dikelompokkan untuk menghasilkan produk. Jika perusahaan dilihat dalam pengertian sosial luas, individu selain pemilik atau kreditur mungkin dapat mengajukan klaim terhadap laba ini. Sebagai contoh, karyawan atau pemerintah mungkin dapat dilihat sebagai penerima laba.

Konsep nilai tambah atas laba ini dapat diartikan sebagai jumlah bersih atas kenaikan harga pasar atas produk yang dapat dikaitkan dengan masing-masing perusahaan. Hal ini mengindikasikan nilai total laba yang dapat dibagi diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam beberapa tahun terakhir, konsep laba ini memperoleh kenaikan perhatian karena terdapat penerapan alternatif metode pengenaan pajak atau PPN.

Laba bersih perusahaan

Korporasi modern secara umum memiliki dua aktivitas utama: operasional dan keuangan. Laba bersih perusahaan hanya ditentukan dari aspek operasional saja, dan seluruh aktivitas keuangan dan seluruh pembiayaan yang diharuskan oleh operasional dianggap sebagai pengembalian investasi daripada pengeluaran. Laba bersih perusahaan konsisten dengan konsep entitas yang memandang perusahaan sebagai entitas yang bebas dan tidak terpengaruh oleh sumber pembiayaan modal. Lebih lanjutnya, pajak laba dibayar oleh perusahaan berdasarkan laba bersih perusahaan dan dianggap sebagai distribusi laba kepada pemerintah. Dengan demikian, pemegang saham, pemegang obligasi dan pemerintah dipandang sebagai penerima laba. Dalam konsep ini, laba mengurangi semua biaya, terutama biaya bunga dan pajak, menghasilkan angka laba bersih. Kritik utama terhadap konsep ini adalah dimasukkannya pemerintah sebagai penerima laba namun tidak menyertakan pegawai.

Laba bersih kepada investor

Konsep laba bersih terhadap investor juga konsisten terhadap teori entitas. Hal ini didasarkan atas pandangan terhadap persamaan akuntansi yang mengatakan bahwa aset sama dengan hutang ditambah modal. Berdasarkan konsep ini, pemegang hutang jangka panjang dan pemegang saham dianggap sebagai investor dalam perusahaan, dan laba akan dilaporkan sebagai laba dikurangi beban kecuali beban bunga. Perbedaan antara konsep laba bersih perusahaan dan konsep laba bersih untuk investor terdapat pada perlakuan atas pajak. Dalam konsep laba untuk investor, pemerintah tidak dipandang sebagai penerima laba dan pajak diperlakukan sebagai beban. Dasar pemikiran utama konsep ini adalah bahwa metode perolehan dana investasi tidak boleh memiliki dampak terhadap penentuan laba.

Laba bersih kepada pemilik saham

Pemilik perusahaan biasanya dianggap sebagai penerima laba yang pantas. Sesuai dengan itu, konsep laba bersih kepada pemilik saham didasarkan pada pandangan sebagai pemilik atas persamaan akuntansi yang menyatakan aset dikurangi kewajiban sama dengan kepemilikan. Pandangan ini melihat laba sebagai penambahan terhadap saham biasa dan saham prefered dan laba bersih dihitung dengan mengurangkan semua biaya dari laba.

Laba bersih kepada pemegang saham minoritas

Perhatian terhadap  perhitungan EPS merupakan perkembangan dari konsep laba bersih kepada pemilik saham minoritas. Laba yang tersedia untuk pemegang saham biasa dipandang sebagai bilangan penting utama dalam konsep ini, dan sebagai tambahan, terhadap seluruh biaya, dividen utama dikurangkan dari laba saat diketahuinya angka laba bersih. Konsep laba ini konsisten dengan teori keuangan termutakhir yang model laba tersebut menyatakan laba mempengaruhi nilai perusahaan dan saham biasa. Model tersebut mendasarkan pada fakta bahwa laba bagi pemegang saham menjelaskan sebaik mana sumber daya perusahaan dikelola, sedangkan sumber modal lainnya seperti obligasi, secara umum tidak berisiko karena aliran laba dijamin keterlangsungannya dan tidak tergantung pada kesuksesan perusahaan.

Meskipun laba bersih kepada pemegang saham adalah konsep laba yang digunakan dalam laporan keuangan yang diterbitkan, harus dicatat bahwa masing-masing angka laba memiliki kegunaan dalam keadaan tertentu. Konsep nilai tambah digunakan dalam menentukan PNB. Konsep laba bersih perusahaan dan laba bersih bagi investor berguna dalam menentukan profitabilitas perusahaan terutama dakam aktivitas pembiayaan; dan konsep modal minoritas membentuk perhitungan dasar atas EPS. Konsep laba yang paling bermanfaat akan ditentukan dari tujuan dari pengguna yang bermacam-macam.

KESIMPULAN

Laba ekonomi adalah hasil dari dua faktor, 1. Penjualan produk perusahaan dan (2) Peningkatan atau penurunan dalam aset bersih yang ditahan (laba yang dapat direalisasi, dalam hal ini keuntungan yang ditahan). Pelaporan yang lengkap atas laba mungkin membutuhkan dua hal diatas. Bagaimanapun, keterbatasan dalam teknik dan bukti obyektif mendesak proses pelaporan laba. Penentuan waktu dalam pelaporan telah didesak dalam konvensi akuntansi atas realisasi. Konvensi tersebut mensyaratkan terjadinya transaksi dengan pihak luar atau bahwa mungkin akan ada bukti bahwa transaksi tersebut akan terjadi sebelum laba diakui. Penentuan waktu pengakuan laba mungkin berbeda antara jenis transaksi. Akuntan juga telah menempatkan perhatian atas penandingan yang sesuai atas berakhirnya biaya dengan laba yang diakui pada periode akuntansi tertentu dalam menentukan laba periodik.

Variasi lain dalam konsep laba adalah kelompok yang berbeda dapat dipandang sebagai penerima laba. Biaya yang dikurangkan dari laba dilaporkan memiliki keragaman tergantung asumsi terhadap penerima laba. Tidak ada pandangan yang benar-benar tepat dalam menilai penerima laba. Segmen ekonomi yang berbeda menggunakan asumsi penerima laba yang berbeda untuk tujuan yang berbeda.

Pengakuan pendapatan berdasarkan PSAK 23 revisi 2010

Pendapatan hanya meliputi arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang diterima dan dapat diterima oleh entitas itu sendiri. Dalam hubungan keagenan, arus masuk bruto manfaat ekonomi mencakup jumlah yang ditagih untuk kepentingan principal dan tidak mengakibatkan kenaikan ekuitas entitas. Jumlah yang ditagih atas nama principal bukan merupakan pendapatan, sebaliknya, pendapatan adalah jumlah komisi yang diterima.

PENGUKURAN PENDAPATAN

  1. Pendapatan diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau dapat diterima.
  2. Jika arus masuk dari kas atau setara kas ditangguhkan, maka nilai wajar dari imbalan tersebut mungkin kurang dari jumlah nominal kas yang diterima atau dapat diterima penerimaan antara nilai wajar dan jumlah nominal dari imbalan tersebut diakui sebagai pendapatan bunga sesuai dengan paragraph28 dan 29 dan sesuai dengan PSAK 55(Revisi 2006) “lindungi nialai atas nilai wajar. Laba atau rugi dari suatu instrument derivative yang diberlakukan sebagai dan memenuhi persyaratan sebagai instrument lindung nilai
  3. Jika nilai wajar dari barang atau jasa yang diterima tidak dapat diukur secara andala, maka pendapatan tersebut diukur pada nilai wajar dari barang dan jasa yang diserahkan, disesuaikan dengan jumlah kas atau setara kas yang dialihkan

PENGINDENTIFIKASIAN TRANSAKSI

–          Kriteria pengakuan diterapka secara terpisah  pada setiap transaksi

–           Kriteria pengakuan pendapatan diterapkan pada komponen-komponen yang dapat diindentifikasikan secara terpisah dari transaksi tunggal agar mencerminkan subtansi transaksi tersebut

PENJUALAN BARANG

Pendapatan dari penjualan barang diakui jika seluruh kondisi berikut dipenuhi:

  1. Entitas telah memindahkan risiko dan manfaat kepemilikan barang secara signifikan kepada pembeli;
  2. Entitas tidak lagi melanjutkan pengolaan yang biasanya terkait dengan kepemilikan atas barang ataupun melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual
  3. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal
  4. Besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan mengalir kepada entitas tersebut
  5. Biaya yang terjadi atau akan terjadi sehubungan dengan trasaksi penjualan dapat diukur dengan andal

Bila salah satu kriteria diatas tidak dipenuhi, maka pengakuan pendapatan harus ditangguhkan. Pendapatan tidak diakui apabila entitas tersebut menahan resiko dan manfaat kepemilikan secara signifikan dalam berbagai cara, misalnya:

  1. Jika perusahaan menahan kewajibannya sehubungan dengan pelaksanaan suatu hal yang tidak memuaskan yang tidak dijamin oleh ketentuan jaminan normal
  2. Jika penerimaan pendapatan dari penjualan bergantung pada pendapatan pembelian dari penjualan barang yg bersangkutan
  3. Jika pengiriman barang bergantung pada intalasinya dan instalasi tersebut merupakan bagian signifikan dari kontrak yang belum diselesaikan oleh entitas; dan
  4. Jika pembeli berhak membatalkan pembelian berdasarkan alasan yang ditentukan dalam kontrak dan entitas tidak dapat memastikan apakah akan jadi retur.

Pendapatan dan beban sehubungan dengan suatu transaksi atau peristiwa tertentu diakui secara bersamaan; proses ini biasanya mengacu pada pengaitan pendapatan dengan beban (matching revenue and expense). Beban, termasuk jaminan dan biaya lain yang terjadi setelah pengiriman barang, biasanya dapat diukur dengan andal jika kondisi lain untuk pengakuan pendapatan yang berkaitan dapat dipenuhi. Tetapi, pendapatan tidak dapat diakui bila beban yang berkaitan tidak dapat diukur dengan andal. Dalam keadaan demikian, setiap imbalan yang telah diterima untuk penjualan barang tersebut diakui sebagai suatu kewajiban.

PENJUALAN JASA

Jika hasil transaksi penjualan jasa dapat diestimasi secara andal, maka pendapatan sehubungan dengan transaksi tersebut di akui dengan acuan pada tingkat penyelesaian dari transaksi pada akhir acuan pada tingkat penyelesaian dari transaksi pada akhir periode pelaporan. Hasil transaksi dapat diestimasi secara andal jika seluruh kondisi berikut dipenuhi:

  1. Jumlah pendaptan dapat diukur secara andal
  2. Kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas
  3. Tingkat penyelesaian dari suatu transaksi pada akhir periode pelaporan dapat diukur secara andal; dan
  4. Biaya yang timbul untuk transaksi dan biaya untuk menyelesaikan transaksi tersebut dapat diukur secara andal

Pengakuan pendapatan dengan mengacu pada tingkat penyelesaian dari suatu transaksi sering disebut sebagai metode sebagai metode persentase penyelesaian.  Dengan metode ini, pendapatan diakui dalam periode akuntansi pada saat jasa diberikan.  Pengakuan pendapatan atas dasar ini memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat kegiatan jasa dan kinerja dalam suatu periode.  PSAK 34 : Akuntansi Kontrak Kontruksi juga mensyaratkan pengakuan pendapatan berdasarkan hal ini.  Persyaratan PSAK 34 secara umum berlaku untuk pengakuan pendapatan dan beban terkait untuk transaksi yang melibatkan pemeberian jasa. PSAK 34 Akuntansi Kontrak Konstruksi (Accounting for Construction Contracts)

“Bila hasil (outcome) kontrak konstruksi dapat diestimasi secara andal, pendapatan kontrak dan biaya kontrak yang berhubungan dengan kontrak konstruksi harus diakui masing-masing sebagai pendapatan dan beban dengan memperhatikan tahap penyelesaian aktivitas kontrak pada tanggal neraca”

Entitas pada umumnya dapat membuat estimasi andal setelah entitas mencapai persetujuan dengan pihak lain mengenai hal-hal berikut dalam transaksi:

  1. Hak masing-masing pihak yang pelaksanaannya dapat dipaksakan secara hukum terkait dengan jasa yang diberikan dan terima pihak tersebut;
  2. Imbalan yang dipertukarkan dan
  3. Cara dan persyaratan penyelesaian.

Tingkat penyelesaian suatu transaksi dapat ditentukan dengan berbagai metode, tergantung pada sifat transaksi, metode tersebut dapat meliputi:

  1. Survey pekerjaan yang telah dilaksanakan
  2. Jasa yang dilakukan atau
  3. Proporsi biaya yang timbul hingga tanggal tertentu dibagi estimasi total biaya transaksi tersebut.

Hanya biaya yang mencerminkan jasa yang dilaksanankan hingga tanggal tertentu dimasukkan dalam biaya yang terjadi hingga tanggal tersebut. Hanya biaya yang mencerminkanjasa yang dilakukan atau akan dilakukan dimasukkan kedalam estimasi total biaya transaksi tersebut.

Pembayaran berkala dan uang muka yang diterima dari pelanggan sering kali tidak mencerminkan jasa yang dilakukan.

Jika hasil transaksi terkait dengan penjualan jasa tidak dapat diestimasi secara andal, maka pendapatan diakui hanya yang berkaitan dengan beban yang telah diakui yang dapat dipulihkan.

 

Bunga, Royalti dan deviden

Pendapatan dari penggunaan asset entitas oleh pihak lain yang menghasilkan bunga, royalty, dan deviden jika:

  1. Kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan traansaksi tersebut akan mengalir ke entitas;
  2. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal

Pengakuan Pendapatan diakui dengan dasar sebagai berikut:

  1. Bunga diakui menggunakan suku bunga efektif sesuai PSAK 55 (revisi 2006) paragraph 08 dan PA 17-20
  2. Royalty diakui dengan dasar akural sesuaidengan subtansi perjanjian yang relevan
  3. Dividen diakui jika hak pemegang saham untuk menerima pembayaran ditetapkan

 

PENGUNGKAPAN

Entias mengungkapkan:

  1. Kebijakan akuntansi yang digunakan untuk pengakuan pendapatan, termasuk metode yang digunakan untuk menentukan tingkat penyelesaian transaksi penjualan jasa
  2. Jumlah setiap kategori signifikan dari pendapatan yang diakui selama periode tersbut, termasuk pendapatan yang berasal dari penjulan barang, penjualan jasa, bunga, royalty,dividen
  3. Jumlah pendapatan yang berasal dari pertukaran barang atau jasa yang tercakup dalam setiap kategori signifikan dari pendapatan

Secara garis besar PSAK 23( revisi 2010)  dengan PSAK 23 ( revisi 1994) tidak mempunyai banyak perubahan  namun PSAK 23 (revisi 2010) sudah dilengkapi lampiran yang mengadopsi Appendix IAS 18 REVENUE

Perbedaan PSAK 23 (revisi 2010) dengan PSAK 23 (revisi 1994)

Perihal ED PSAK 23 (revisi 2009) PSAK 23 (1994)
Pendapatan bunga dari aset TIdak diatur Hasil efektif suatu aset merupakan tingkat bunga yang diperlukan untuk mendiskontokan aliran penerimaan kas di masa depan
Pengakuan dividen pada efek Tidak diatur Dividen pada efek ekuitas diumumkan dari penghasilan neto sebelum pembelian, dividen tersebut dikurangi dari harga beli efek tersebut.


 

Pengakuan Pendapatan berdasarkan IAS no 18

Pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi (kas, piutang, aset lainnya) yang timbul dari aktivitas operasi normal entitas (seperti penjualan barang, penjualan jasa, bunga, royalti, dan dividen).

Cakupan standar IAS 18 berlaku untuk akuntansi untuk pendapatan yang timbul dari

  • Penjualan barang;
  • Jasa, dan
  • Penggunaan aset entitas oleh orang lain, menghasilkan (untuk entitas) bunga, dividen dan royalti.
  1. Bunga, yang merupakan biaya untuk penggunaan kas dan setara kas atau untuk jumlah karena entitas;
  2. Royalti, yang merupakan biaya untuk penggunaan aset jangka panjang dari badan seperti pola-Ent atau merek dagang yang dimiliki oleh entitas; dan
  3. Dividen, yang merupakan distribusi laba kepada pemegang investasi ekuitas pada modal saham entitas lain.

Pengakuan Pendapatan

Pengakuan, sebagaimana didefinisikan dalam Framework IASB berarti menggabungkan item yang memenuhi definisi pendapatan (di atas) dalam laporan laba rugi ketika memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Besar kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa depan berkenaan dengan item pendapatan akan mengalir ke entitas, dan
  2. jumlah pendapatan dapat diukur dengan keandalan

Pengukuran pendapatan

Inflow yang biasanya dalam bentuk uang tunai atau ekuivalents, ditangguhkan, nilai wajar pertimbangan akan jumlah yang lebih rendah dari nominal jumlah pertimbangan. Perbedaan antara nilai wajar dan nilai nominal pertimbangan, yang merupakan nilai waktu dari uang, diakui sebagai bunga dan pendapatan.
Kriteria pengakuan pendapatan

Pengakuan pendapatan dari penjualan barang.

Pendapatan dari penjualan barang harus diakui bila seluruh lima syarat yang disebutkan di bawah ini terpenuhi.

  1. Entitas pelaporan telah mengalihkan risiko signifikan dan manfaat kepemilikan
    barang kepada pembeli;
  2. Entitas tidak mempertahankan baik mengelola terus (mirip dengan yang
    biasanya berhubungan dengan kepemilikan) atau pengendalian efektif atas barang yang dijual;
  3. Jumlah pendapatan yang bisa diakui dapat diukur dengan andal;
  4. Probabilitas bahwa manfaat ekonomi yang terkait dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas ada;
  5. Biaya yang terjadi atau yang akan terjadi sehubungan transaksi penjualan dapat diukur andal.

Panduan menyertai PSAK 18 tetapi bukan bagian dari IAS 18.Ini mencakup sebagai berikut:

  1. Konsinyasi penjualan. Pendapatan diakui oleh shipper (penjual atau pengirim), bukan oleh penerima (pembeli atau penerima), saat barang yang dijual kepada pihak ketiga.Barang keluar pada konsinyasi tetap merupakan milik pengirim dan termasuk dalam persediaan. penerima barang adalah menjual barang atas nama pengirim untuk komisi.
  2. Kas penjualan pengiriman. Dalam hal ini, pendapatan yang diakui setelah pengiriman barang ini dibuat dan kas yang diterima. Penjualan kepada pihak menengah, seperti distributor, dealer atau orang lain untuk dijual kembali.Secara umum, pendapatan diakui pada saat risiko dan manfaat kepemilikan telah dialihkan. Dalam situasi ketika pembeli bertindak, pada dasarnya, sebagai agen, penjualan diperlakukan sebagai penjualan konsinyasi.
  3. Langganan untuk publikasi dan item serupa. Pendapatan diakui pada garis-lurus
    dasar selama periode di mana barang-barang yang dikirim (ketika item nilai semacam itu); atau berdasarkan nilai penjualan barang dikirim ke estimasi nilai total penjualan (ketika item bervariasi nilai).
  4. Installment penjualan, di mana pertimbangan adalah piutang dengan angsuran. Pendapatan diakui sebesar nilai tunai dari pertimbangan, ditentukan oleh pendiskontoan piutang angsuran pada tingkat diperhitungkan bunga.

Real estate penjualan. Sesuai dengan IFRIC 15, pendapatan dari pembangunan real estat diakui tergantung pada apakah kesepakatan ini untuk penjualan barang, jasa, atau kontrak konstruksi (dalam ruang lingkup PSAK 11 atau IAS 18).

perbedaan antara ED PSAK 23 (revisi 2009): Pendapatan dengan IAS 18: Revenue

  1. ED PSAK 23 (revisi 2009): Pendapatan tidak mengadopsi catatan kaki paragraf 20 (d) IAS 18 yang mengacu SIC 27: Evaluating the Substance of Transactions in the Legal Form of a Lease, karena SIC 27 belum diadopsi.
  2. ED PSAK 23 (revisi 2009): Pendapatan tidak mengadopsi catatan kaki paragraf 20(d) IAS 18 yang mengacu SIC 31: Revenue-Barter Transactions Involving Advertising Services, karena SIC 31 belum diadopsi.
  3. Tanggal efektif ED PSAK 23 (revisi 2009): Pendapatan berbeda dengan tanggal efektif IAS 18: Revenue.
  4. ED PSAK 23 (revisi 2009): Pendapatan tidak mengadopsi paragraf 38 IAS 18 tentang amandemen biaya investasi pada entitas anak, pengendalian bersama entitas atau entitas asosiasi dan IAS 27: Consolidated and Separate Finance