Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Januari, 2012

Proses Ujian Saringan Masuk Program D-IV STAN 2011 telah berakhir. Namun, masih terdapat banyak tanda tanya dan kekecewaan seputar hasilnya yang ternyata tak sesuai dengan harapan para pesertanya. Umumnya, para peserta yang terdiri dari PNS alumni STAN tersebut memperkirakan penyelenggaraan USM D-IV 2011 tersebut tidaklah banyak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari animo peserta yang masih cukup tinggi. Sekitar 500 orang pendaftar kelompok I (Akuntansi) dan 700 orang pendaftar kelompok II (Akuntansi Kurikulum Khusus) tetap berminat mengikuti USM tersebut kendati, pelaksanaan ujiannya tertunda cukup lama jika dibandingkan dengan tahun tahun sebelumnya. Saking lamanya sampai format ujian yang harusnya dibuat dua tahap terpaksa dibuat satu tahap saja. Banyak yang berharap jumlah peserta yang diterima dalam USM tersebut minimal sama dengan tahun lalu (masing-masing 4 kelas untuk tiap kelompok). Yang lain ada pula yang berharap jumlah pesertanya yang diterima seharusnya naik mengingat jumlah lulusan STAN yang baru berkesempatan mengikuti USM di tahun 2011 jumlahnya naik pesat dibanding tahun sebelumnya. Ternyata, faktanya tidak seindah harapan.

Tabel Perbandingan Kelulusan USM D-IV & D-III Khusus Tahun 2010 dan 2011
(diolah dari http://www.stan.ac.id)

Dalam pengumuman hasil ujian tanggal 14 Desember 2011, diumumkan bahwa yang diterima hanya masing-masing satu kelas dalam setiap kelompok ujiannya. Menurun drastis, menciut jadi seperempatnya saja. Satu kelas untuk kelompok 1, satu kelas untuk kelompok 2, dan jumlah yang sama untuk kelompok 3 dan 4 (D-III Akuntansi Kurikulum Khusus dan D-III Perpajakan Kurikulum Khusus) dengan 30 orang di masing-masing kelas kecuali di kelompok 2 yang jumlahnya 31, satu lebih banyak dari kelompok lain (lihat tabel). Tanda tanya pun merebak di antara peserta ujian yang didominasi oleh alumni D-III STAN angkatan 2005 itu. Mengapa tahun ini cuma 1 kelas? Mengapa berubahnya sangat drastis (dari 4 menjadi 1 kelas saja)? Mengapa tidak ditutup saja sekalian penerimaan tahun ini kalau cuma sesedikit itu? Mengapa banyak yang tidak sesuai ekspektasi pasar. Mengapa, mengapa, mengapa…

Perampingan Pegawai & Standar Ganda
Satu hal yang kemudian ditengarai menjadi penyebabnya adalah adanya kebijakan perampingan Kementerian Keuangan, sebuah program yang dirancang untuk menciutkan jumlah pegawai yang -konon katanya- punya bentuk tidak ideal. Saya sebur “konon katanya”, karena treatment atas masalah tersebut justru dengan mengatasi masalah dengan masalah. Nggak Pegadaian banget! (Terkait hal ini akan saya jelaskan kemudian). Juga tidak ideal, karena tidak berbentuk piramida layaknya seperti sebuah struktur organisasi yang ideal di mana, pegawai dengan kualifikasi teknis terendah berada di posisi terbawah dengan jumlah terbanyak dan semakin tinggi kualifikasi teknisnya, jumlahnya semakin sedikit hingga berakhir di manajemen puncak. Saat ini, jumlah pegawai golongan III ternyata lebih besar daripada pegawai golongan II. Penggemukan pegawai yang terjadi di golongan III tersebut disiasati salah satunya dengan dikuranginya kuota kelas Program D-IV 2011. Tak pelak, banyak yang merasa USM D-IV kali ini sekadar formalitas. Formalitas, karena yang diterima hanya satu kelas di masing-masing kelompok. Formalitas, karena satu kelasnya hanya diisi 30 orang. Formalitas, karena angka-angka tersebut secara psikologis tidak bisa kurang dari jumlah 30 orang per kelas tersebut. Rasanya aneh bukan, kalau jumlah siswa per kelasnya di bawah angka 30? Ketika turun menjadi 29 orang misalnya, secara psikologis akan terasa aneh. Itu karena di tahun-tahun sebelumnya (pengamatan saya dalam satu windu terakhir), belum pernah jumlah mahasiswa per kelasnya ada di bilangan dua puluhan. Jadi, tampak jelas terlihat bahwa USM D-IV STAN (termasuk D-III Khusus) tahun ini hanya sekadar formalitas. Membuat saya berandai-andai kira-kira siapa ya pimpinan yang berkata begini: “Tetap adakan saja USM tahun ini tapi, minimalkanlah jumlah yang lulus agar jumlah golongan III tidak membengkak”, hehe..

Kebijakan perampingan pegawai ini sebenarnya sudah terlihat jelas saat USM D-I STAN 2011 yang lalu di mana tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun 2011 kemarin hanya dibuka satu program diploma saja yakni program diploma satu (D-I) STAN. Tidak dibuka kelas diploma tiga (D-III) sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Dari kebijakan tersebut, terlihat jelas bahwa yang diproyeksikan untuk diterima di Kementerian Keuangan adalah calon pegawai dengan kualifikasi kemampuan teknis yang tinggi, dan bukan calon pegawai dengan kemampuan konseptual yang tinggi. Dengan kata lain, Kemenkeu lebih membutuhkan tenaga-tenaga di level low management ketimbang di middle management. Kita ketahui, D-III merupakan middle-level education yang kemudian tinggal melanjutkan studinya dengan waktu kurang lebih 2 sd 3 tahun untuk kemudian memperoleh gelar S1 yang notabene memiliki golongan ruang III dalam struktur ke-PNS-an. Dengan meniadakan program D-III, selain dapat menahan laju peningkatan jumlah pegawai yang akan masuk ke golongan III, otomatis didapat tenaga-tenaga teknis yang akan bertahan cukup lama di level golongan 2, kira-kira paling lama 16 tahun sampai pegawai lulusan D-I tersebut naik ke golongan III. Sampai di sini, kebijakan penerimaan D-I tersebut rasanya tidak masalah mengingat domain kebijakan penerimaan D-I tersebut memang sepenuhnya ada di pimpinan Kementerian Keuangan. Ibarat jualan, kalau memang user ingin beli D-I, silakan bayar uang pendaftaran, mendaftar lalu ikut ujiannya. Tapi kalau ingin beli yang D-III, ya tidak perlu ikut USM STAN karena memang tidak ada penerimaan D-III di tahun 2011.

Metode lain yang digunakan dalam kebijakan perampingan pegawai tersebut adalah upaya di Ditjen Bea dan Cukai yang meniadakan Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat (UPKP) untuk naik dari golongan II ke golongan III. Dengan peniadaan UPKP tersebut otomatis, pegawai tersebut hanya dapat naik golongan setelah 8 tahun bekerja dari II.c, 12 tahun dari golongan II.b, dan 16 tahun dari golongan II.a. Hal tersebut belum mencakup santernya terdengar rencana pengetatan kebijakan UPKP (yang didesain untuk semakin lama memperpanjang masa kerja pegawai golongan II) atau bahkan memberlakukan hal yang serupa dengan Bea Cukai di Kemenkeu.
Kebijakan-kebijakan dalam rangka perampingan kepegawaian Kemenkeu yang telah disebutkan di atas pada akhirnya memang, sekali lagi, merupakan hak prerogatif pimpinan Kemenkeu yang bersangkutan. Namun, kembali ke poin “konon katanya” yang telah disampaikan sebelumnya terkait penggemukan pegawai di golongan 3 (yang saya sebut sebagai upaya mengatasi masalah dengan menambah masalah), kebijakan perampingan pegawai tersebut berstandar ganda. Itu karena ternyata, di tahun 2008 dan tahun 2010, Kemenkeu masih menambah ribuan pegawai golongan III yang berasal dari penerimaan S1 –dan bahkan S2-. Sangat aneh, ketika di satu sisi pegawai golongan II ditahan sedemikian rupa untuk tidak naik naik ke golongan III, di sisi yang lain Kemenkeu malah membengkakkan dirinya sendiri di golongan III.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendikotomi lulusan STAN dan S1, namun lebih ke mencoba mempertanyakan konsistensi kebijakan-kebijakan yang seharusnya dilaksanakan secara adil, tanpa ada pihak yang akhirnya merasa terdiskriminasi. Saya sangat setuju dengan ide “pegawai Kementerian Keuangan adalah pegawai Kementerian Keuangan saja, bukan pegawai Kementerian Keuangan lulusan STAN atau Kementerian Keuangan pegawai lulusan Sarjana”. Ketika ada yang mencoba membaca tulisan ini sebagai dikotomi 2 hal tersebut, saya tegaskan justru tulisan ini mencoba menghapus dikotomi tersebut. Pengembangan Sumber Daya Manusia adalah hal yang niscaya, oleh karena itu paradigma “kepegawaian” yang ternyata sisa-sisanya masih berakar di Kemenkeu ini haruslah dibuang jauh-jauh. Penerapan kebijakan harusnya fair kepada semua pegawai, tanpa pandang bulu. Ketika menghadapi masalah penggemukan pegawai, exit policy yang diterapkan haruslah konsisten dan efektif. Tidak seperti ini. Tidak konsisten ke semua orang dan tidak efektif ke pokok permasalahan. Katakanlah kebijakan UPKP di Bea dan Cukai ditiadakan, tapi mbok ya penerimaan golongan 3 dari S1 juga ditiadakan. Katakanlah penerimaan USM D-IV diminimalisasi, tapi mbok ya penerimaan PNS dari Sarjana dimoratorium. Layaknya moratorium PNS pemerintah pusat yang sedang dijalankan saat ini. Nantinya, ketika formasi pegawai di golongan 3 telah normal, silakan berlakukan kembali penerimaan S1.

Mimpi Pengembangan SDM Kemenkeu
Saya memimpikan Kementerian Keuangan ke depannya mirip apa yang diimpikan oleh Kepala BKF, Prof Bambang Brodjonegoro. Beliau pernah mengatakan, “Pegawai BKF minimal S2. Yang belum S2 segera S2. Tugas Sekjen dan Ses-BKF untuk menyediakan dananya”. Saya juga memimpikan ke depannya kebijakan pengembangan kepegawaian Kemenkeu seperti BKF dan Bapepam-LK, bahkan Bank Indonesia. Di instansi-instansi tersebut, konsep kepegawaian telah beralih ke konsep sumber daya manusia. Konsep cost of labor menjadi konsep human capital investment.

Bukankah sering dinyatakan Kemenkeu adalah pilot project reformasi birokrasi? Memang apa masalahnya ketika banyak pegawai Kemenkeu berstatus S2? Pegawai berpendidikan tinggi justru akan mendongkrak kinerja dan menghasilkan karya-karya yang lebih baik. Ketika memang harus ada pegawai berpendidikan rendah yang bertugas klerikal, buka saja lagi penerimaan dari tingkat SMA. Atau D-I. Atau kalau tidak mau repot memikirkan anggarannya, rekrut saja tenaga-tenaga outsourcing/anak PKL. Tapi jangan lupa, berlakukan kebijakan yang fair bagi pengembangan SDM dari SMA atau D-I tersebut. Karena sesungguhnya, keberhasilan Kemenkeu adalah keberhasilan membangun manusianya. Maju mundurnya kementerian ini adalah ketika semua orang bisa maju bersama dan bersama-sama maju. Bukan dengan menyingkirkan sebagian dan menyisihkan yang lain. Harapannya ke depan, Kemenkeu bisa benar-benar menjadi benchmark reformasi birokrasi yang bertolak dari 3 hal yang sering didengungkan selama ini: perbaikan proses bisnis, penataan organisasi dan peningkatan kualitas SDM. Semoga!

Read Full Post »