Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Profil Pimpinan KPK Alexander Marwata’

Marwata adalah hakim ad hoc Pengadilan Tipikor dari masyarakat umum. Sebelumnya dia adalah salah satu auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tak hanya ahli akuntansi, Marwata adalah Certified Fraud Examiner (CFE), sertifikasi internasional bagi spesialis pencegahan dan pemberantasan penipuan.

Marwata dikenal sebagai salah seorang hakim Tipikor yang kerap menyatakan dissenting opinion, atau pendapat berbeda, dengan hakim lainnya. Salah satu kasus besar di mana dia menyatakan pendapat berbeda adalah kasus suap Pilkada Lebak, Banten, dengan terdakwa Ratu Atut Chosiyah.

Menurutnya, Atut tidak terbukti melakukan korupsi dan harus dibebaskan. “Dakwaan dan tuntutan dibangun berdasarkan asumsi Akil bahwa terdakwa (Atut) sudah mengutus Wawan (saudara kandung Atut) untuk mengurusi sengketa pilkada Lebak,” kata Alexander. 

Dalam sesi wawancara, Alex disentil soal dissenting opinion saat putusan vonis pegawai Ditjen Pajak Dhana Widyatmika yang dinyatakan bersalah karena menggelapkan pajak.

Alexander berpendapat Dhana tidak pernah menerima dan menikmati uang Rp 2 miliar dari Liana Apriany dan Femi Solikhin. Uang itu tidak ada hubungannya dengan tugas dan kewajiban Dhana dalam kapasitas sebagai pegawai pajak. Alex juga mengatakan Dhana tidak terbukti melakukan pemerasan terhadap PT Kornet Trans Utama.

Dalam sesi wawancara, ia juga memberikan kritik pada KPK. Menurutnya, penyidikan kasus korupsi di KPK lamban, dan dakwaan dari jaksa KPK disusun asal-asalan.

(http://www.rappler.com)

Hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Alexander Marwata menjadi sorotan dalam seleksi calon pimpinan (capim) jilid IV kali ini.

Pasalnya, Alexender beberapa kali memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion saat memvonis terdakwa tindak pidana korupsi alias koruptor.

Dia menjadi salah satu peserta dari unsur hakim dari 19 nama yang telah mengikuti seleksi tahap akhir dari ‘sembilan srikandi’.

Alex sendiri pernah menjadi salah satu auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 1989-2011 dan merupakan ahli akuntansi.

Saat mengikuti tes wawancara beberapa hari lalu, Alex menginginkan penyidikan di lembaga antirasuah itu tidak terlalu lama.

Pasalnya, dirinya menilai ada beberapa kasus yang terkatung-katung hingga hitungan tahun.

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini pun tidak masalah jika nantinya tak diloloskan Pansel KPK. (okezone.com)

 

Jabatan terakhir: Hakim Ad Hoc Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2012 -sekarang)
Jabatan sebelumnya: Auditor Ahli BPKP (1989 – 2011)

Pendidikan
– SD Plawikan I di Klaten (lulus 1980)
– SMP Pangudi Luhur di Klaten (lulus 1983)
– SMAN I di Yogyakarta (lulus 1986)
– D-IV: STAN, Akuntansi, di Jakarta (lulus 1995)

Persoalan korupsi bukan hal asing tentunya bagi Alexander Marwata. Namun sosoknya cukup kontroversial lantaran pernah melakukan dissenting opinion dengan menyatakan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah tidak terbukti korupsi.

Kini Alex menduduki jabatan yang penting yaitu pimpinan KPK. Alex terpilih bersama dengan 4 orang lainnya yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang, Basaria Panjaitan dan Laode M Syarif melalui voting di Komisi III DPR, Kamis (17/12/2015) malam.

Alex pernah menjadi auditor ahli BPKP. Keahliannya sebagai auditor itu cukup lama diterapkan saat di BPKP yaitu sejak 1989 hingga 2011.

Persoalan tentang dissenting opinion pernah disinggul pula dalam wawancara dengan pansel. Saat itu Alex dicecar mengenai putusannya yang kerap berbeda pendapat dalam mengadili koruptor.

Namun menurut Alex, hal itu seharusnya jadi koreksi untuk KPK. Alex menyebut dalam perkara korupsi yang ia tangani, banyak surat dakwaan yang terkesan disusun asal-asalan.

“Kalau dakwaan dibuat asal-asalan dengan pembuktian tidak profesional, terus nanti hakimnya ada mindset, seolah KPK tidak pernah salah, itu menurut saya justru jadi bumerang,” ujarnya saat itu.

Selain sebagai auditor, Alex juga berpengalaman sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Tentunya, dakwaan yang disusun KPK bukanlah hal asing bagi Alex.

Pada saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, pada Senin (14/12) lalu, Alex sempat menyinggung soal fungsi supervisi yang dimiliki KPK. Menurut Alex, seharusnya KPK bisa menjadi quality insurance bagi proses penyidikan di Kepolisian dan Kejaksaan.

“KPK seharusnya menjadi quality insurance bagi kepolisian dan kejaksaan. Disparitas dakwaan dan kualitas pembuktian itu sangat jauh. Supervisi belum berjalan optimal,” kata Alex.

Menurut Alexander, perbedaan kualitas penindakan itu sangat ketara di surat dakwaan dan saat proses pembuktian di persidangan. Sebagai hakim ad hoc tipikor Jakarta, Alex sangat paham mengenai kualitas dakwaan para jaksa.

Terlepas dari itu, salah satu ide Alex yang cukup mencuri perhatian yaitu tentang sorotannya soal gaya hidup mewah yang biasanya diidentikkan dengan tindak pidana korupsi. Hidup mewah bisa jadi tanda tanya bila kenyataannya si pejabat negara hanya punya satu pemasukan dari penghasilan yang jumlahnya tidak sebanding dengan harta.

Kesesuaian gaya hidup dengan penghasilan para pejabat negara ini yang menjadi penting. Pengecekan terhadap laporan harta kekayaan perlu dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya penyimpangan.

Upaya ini yang ditekankan Alexander Marwata. Konsep yang disebut lifestyle check ini menurutnya menjadi deteksi awal ada tidaknya dugaan tindak pidana korupsi dengan cara melihat kesesuaian penghasilan dengan gaya hidup penyelenggara negara.

“Konsep ini secara sistematis akan berjalan dari level masyarakat hingga pelaporan ke KPK. Sehingga proses cek dan ricek dari dugaan korupsi akan semakin berjalan efektif,” ujar Alexander saat dihubungi, Selasa (8/12/2015).

Melalui konsep ini, Alex mengajak peran serta aktif masyarakat untuk mengamati perilaku para penyelenggara negara yang memiliki gaya hidup yang tidak sesuai dengan profil penghasilannya.

Alex yang berpengalaman 20 tahun menjadi auditor memang kerap menemukan kejanggalan antara penghasilan dengan transaksi yang dilakukan baik atas nama pribadi maupun bisnis. Pengecekan ini juga bisa dilakukan dengan membandingkan laporan pajak.

“Semisal karyawan setingkat staf tapi sudah memiliki rumah dan mobil mewah yang tidak mungkin dibeli dari gaji selama dia berkerja tanpa ada penghasilan tambahan,” sambung hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini.

Upaya pencegahan, menurut Alex, harus dilakukan sejalan dengan upaya penindakan. Nah untuk mengawasi para pejabat negara, maka diperlukan koordinasi kuat antara KPK dengan lembaga atau pun institusi lain.

“Kita akan bekerjasama dengan badan usaha milik negara, lembaga ataupun institusi lain terutama dengan bagian inspektorat jenderal atau pengawasan internal. Serta melakukan sosialisasi mengenai peran aktif masyarakat untuk turut memantau gaya hidup para pejabat di Indonesia dan bekerja sama dengan KPK,” papar dia.

Alex berencana memperkuat direktorat pengawasan di masing-masing instansi. “Saya akan memperkuat fungsi pengawasan dengan menjalin kerjasama dalam langkah prosedur pengawasan, konsultasi pelaksanaan e-budgeting dan e-tender,” ujarnya.

Tapi butuh peran serta masyarakat untuk ikut mengawasi para pejabat negara. Bila ditemukan kejanggalan utamanya terkait melonjaknya harta kekayaan dalam waktu singkat, maka masyarakat bisa memberi laporan.

“Silakan awasi, catat dan laporkan jika terjadi penyimpangan-penyimpangan terutama penumpukan harta yang abnormal. Korupsi adalah musuh bersama, peran aktif masyarakat akan membuat peran penindakan KPK semakin tajam dalam memberantas praktik korupsi. Dengan semakin ketatnya pengawasan dari masyarakat, akan mempersempit ruang gerak dan kesempatan para oknum pejabat yang hendak melakukan rasuah,” sambung dia.

(detik.com)

Komisi III DPR telah memilih Alexander Marwata sebagai salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (17/12/2015) malam. (Baca: 5 Pimpinan Baru KPK)

Alexander mendapatkan 46 suara dalam voting tahap pertama. Dengan demikian, dia menjadi salah satu dari lima pimpinan KPK periode 2015-2019.

Sebelum terpilih sebagai pimpinan KPK, Alexander adalah hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Ia merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Universitas Indonesia (UI, Fakultas Hukum). Sebelum menjadi hakim, Alexander adalah salah satu auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Alexander sempat menjadi sorotan dalam seleksi calon pimpinan (capim) jilid IV kali ini. Pasalnya, Alexender beberapa kali memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion saat memvonis terdakwa tindak pidana korupsi.

Menurutnya, dalam perkara korupsi yang ia tangani, banyak surat dakwaan yang terkesan disusun asal-asalan. Ia menilai para penyidik seakan hanya kejar setoran.

“Kalau dakwaan dibuat asal-asalan dengan pembuktian tidak profesional, terus nanti hakimnya adamindset, seolah KPK tidak pernah salah, itu menurut saya justru jadi bumerang,” ujar Alexander, seperti dilansir kabarhukum.

Alexander mengatakan bahwa pendapat berbeda (dissenting opinion) yang dimilikinya itu karena tidak ingin putusan diambil berdasarkan opini yang berkembang di masyarakat atau media massa.

“Saya buat dissenting bukan untuk gagah-gagahan. Justru dissenting itu harus jadi koreksi, jadi introspeksi untuk KPK dan kejaksaan,” ujarnya, dikutip Kompas.

Melihat keteguhan sikapnya, ada secercah harapan penegakkan hukum akan berprinsip keadilan bukan pesanan maupun opini media (trial by the press).

(pkspiyungan.org)

Alexander Marwata, Ak., SH, CFE (L)(Tangerang Selatan, Banten) LinkedIn
-hakim ad hoc Tipikor PN Jakarta Pusat sejak 2011
dissenting opinion pada kasus suap oleh Kwee Cahyadi Kumala, menganggap pemberian uang oleh Kwee ke Bupati Bogor Rachmat Yasin bukan upaya membuat Rachmat Yasin melakukan penyalahgunaan kewenangan
turut memvonis Walikota Palembang Roni Herton bersalah dalam kasus suap ke MK dan menjatuhkan hukuman penjara 6 tahun
turut memvonis Bupati Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang bersalah dalam kasus suap ke MK dan menjatuhkan hukuman penjara 4 tahun
dissenting opinion pada vonis Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, menganggap Atut tak terlibat penyuapan ke MK (2014)
dissenting opinion pada vonis pejabat Kemenkes Mulya Hasjmi (2013)
menganggap Dirut PT Indoguna Maria Elizabeth Liman sebagai korban permainan mafia daging, namun tetap ikut menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 3 bulan (2014)
dissenting opinion pada vonis Susi Tur Andayani dalam kasus suap ke MK, menyatakan jaksa KPK lalai dalam menyusun tuntutan (2014)
dissenting opinion pada vonis Ketua MK Akil Mochtar dalam kasus suap ke MK, menyatakan Akil tidak dapat dituntut dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (2014)
turut memvonis bebas mantan Dirut Merpati Hotasi Nababan dalam kasus korupsi sewa pesawat Merpati (2013), membuat Hotasi Nababan menjadi terdakwa pertama yang divonis bebas di Pengadilan Tipikor Jakarta
turut memvonis direktur PT Indoguna Arya Abdi Effendi & Juard Effendi bersalah dalam kasus suap impor daging dan menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 3 bulan (2013)
turut memvonis anggota FGolkar DPR Zulkarnaen Djabar bersalah dalam kasus korupsi pengadaan Qur’an, menjatuhkan hukuman penjara 15 tahun (2013)
dissenting opinion pada vonis pegawai pajak Dhana Widyatmika dalam kasus korupsi dan pencucian uang, menyatakan Dhana tidak pernah menerima dan menikmati sendiri gratifikasi (2012)
turut memvonis anggota FPAN DPR Wa Ode Nurhayati bersalah menerima suap dan melakukan pencucian uang, menjatuhkan hukuman penjara 6 tahun (2012)
turut memvonis Fahd El Fouz bersalah memberi suap ke Wa Ode Nurhayati, menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan (2012)

https://litsuscapimkpk2015.wordpress.com/

Postingan Alexander Marwata di Milis Alumni STAN, Sang Hakim Tipikor

Pengumuman ada di website Mahkamah Agung atau di Kompas hari senin tanggal 13 Mei 2013. Syaratnya tidak mesti Sarjana Hukum, yang penting berpengalaman dalam bidang hukum, keuangan, perpajakan, perbankan, pasar modal atau audit sekurang-kurangnya 15 tahun dan usia minimal 40 tahun. Bagi alumni STAN yang berminat saya sangat yakin kemungkinan diterima sangat besar. Pada saat saya daftar angkatan III ada 2 alumni STAN yang daftar dan diterima, kebetulan dari BPKP semua, yang satu Nurbaya Lumbangaol sekarang di pengadilan tipikor Denpasar. Selama ini kebanyakan yang daftar adalah dari kalangan pengacara. Dari 125 hakim ad hoc tipikor tingkat I yang ada saat ini, 110 diantaranya adalah mantan pengacara. Dari pengalaman saya yang baru 1 tahun lebih menjadi hakim tipikor, latar belakang auditor (terutama dari investigasi) sangat membantu dalam menggali fakta-fakta di persidangan, apalagi kalau kasusnya menyangkut korporasi/BUMN. Terus terang, saya tidak menemui banyak kesulitan ketika pertama kali menangani perkara. Dan hampir semua perkara, dimana saya ikut menjadi majelisnya, saya yang membuat putusan. Tahun lalu saya dapat limpahan perkara paling banyak. Mudah-mudahan tahun ini perkaranya sudah berkurang, sehingga ada indikasi pemberantasan korupsi ada hasilnya.

Kebenaran dan keadilan memang relatif, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Demikian juga dengan keadilan menurut hukum, tergantung bagaimana masing-masing majelis hakim memandang sebuah peristiwa hukum dihubungkan dengan kaedah-kaedah hukum yang berlaku. Ini masalah keyakinan. Saya memang belum lama menjadi hakim (baru 17 bulan), tetapi secara pribadi saya sudah membuat putusan bebas untuk 5 terdakwa korupsi. 3 disenting opinion (saya berbeda pendapat dengan majelis lainnya), dan 2 putusan bebas murni karena pertimbangan hukum saya didukung oleh majelis lainnya, Putusan bebas murni itu menjadi catatan bagi PN Tipikor Jakarta, karena menjadi yang pertama dan kedua setelah delapan tahun berdiri.

Pendapat Tentang Dissenting Opinion Ratu Atut:

saya nggak mungkin memberi komentar di mailist. semua sudah saya
sampaikan secara terbuka di persidangan. tentang alasan DO media sudah mengulas, meski tidak secara lengkap. ulasannya ada yang bener dan ada yang setengah bener. biarkan saja mereka menulis sesukanya. saya sadar DO yang saya sampaikan melawan arus opini publik, “KPK can do no wrong”.

saya juga sadar DO saya tidak akan pernah dianggap oleh hakim di tingkat banding maupun kasasi. ini hanya masalah keyakinan berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan. dan saya tidak bisa membohongi diri sendiri… yang jelas setelah putusan malamnya saya masih bisa tidur dengan nyenyak. saya nggak ada beban. kapan-kapan kita diskusikan
mas Dwi….

Pendapat Tentang Suap dan Tipikor:

setelah sekian waktu hanya menjadi penikmat diskusi tentang kualitas aparat penegak hukum kita, akhirnya nggak tahan juga untuk sedikit nimbrung…
saya tidak ingin menilai kemampuan aparat penegak hukum kita, entah itu lawyer, jaksa/polisi atau hakim, soalnya sementara ini saya menjadi bagian dari mereka. (he…3x).
tentang alat bukti elektronik berupa rekaman penyadapan, photo, video yang diakui dalam pembuktian TPK sependek pengalaman saya di pengadilan tipikor tidak pernah menjadi bukti utama dalam persidangan. bukti-bukti itu hanya menjadi bukti petunjuk yang menguatkan alat bukti lainnya dan menambah keyakinan hakim. jadi keyakinan hakim tidak dibangun hanya dari bukti rekaman itu. dalam perkara akil mochtar yang sudah divonis seumur hidup, BBM yang diperlihatkan di persidangan yang ditolak oleh akil, sebenarnya hanya satu petunjuk untuk menguatkan bahwa antara akil dan muchtar ependy ada komunikasi. akil selalu menolak pernah berkomunikasi dan kenal dekat dengan muchtar ependy.
sementara dari keterangan saksi-saksi dan bukti surat menunjukkan kedekatan akil dengan muchtar ependy. bukti elektronik juga tidak selalu diperlihatkan atau ditunjukkan di persidangan jika dari keterangan saksi-saksi, terdakwa sudah mengakui atas terjadinya suatu peristiwa. memang bukti elektronik menjadi salah satu andalan KPK untuk mengungkap TPK terutama dalam operasi tangkap tangan.

suap di UU TPK ada suap pasif pasal 5 dan suap aktif pasal 12 huruf a,b, dst. sedangkan Gratifikasi pasal 12B. ada lagi pasal 11 untuk PNS/penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji. dikatakan suap kalau penerimanya melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya. sedangkan gratifikasi pasal 12B dan pasal 11 tidak perlu dibuktikan atau terbukti bahwa penyelenggara negara/PNS yang menerima hadiah atau janji melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya atau bahasa sederhananya pemberian hadiah itu sebagai bentuk ucapan terima kasih. lazimnya penuntut umum dalam mendakwakan pasal suap, jika belum yakin atas kesalahan terdakwa, membuat dakwaan subsidaritas atau alternatif pasal 5, pasal 12 atau pasal 11. kenapa pasal 12 ancaman hukumannya lebih berat dari pasal 5. meskipun sama-sama ada kewajiban hukum yang dilanggar, misalnya menyalahgunakan kewenangan, tetapi dalam suap pasal 12 terdakwa dinilai lebih aktif atau memiliki inisiatif untuk terjadinya suap. misalnya terdakwa dalam menerima suap disertai dengan ancaman kepada pemberi suap.  lumrah kalau hukumannya lebih berat.

penyuap dalam UU TPK diatur dalam pasal 5, 6 dan 13. pasal 6 dikhususkan untuk penyuapan kepada hakim dan penasihat hukum untuk mempengaruhi putusan hakim. ancaman hukumannya sampai dengan 15 tahun. sedangkan pasal 5 maksimum 5 tahub dan pasal 13 maksimum 3 tahun. saya sangat setuju hukuman bagi penyuap mestinya sama dengan penerima suap. apalagi jika suap itu terjadi atas inisiatif pihak penyuap.

hukum adalah sistem norma yang dibangun dengan logika. namun dalam praktik kadang-kadang logika itu tidak berjalan atau tidak digunakan, karena semangat berkobar untuk memberantas korupsi dan memiskinkan koruptor. itulah kenapa saya sering membuat dissenting opinion (DO). saya tidak membela putusan DO yang saya buat, bisa jadi DO yang saya buat dikarenakan saya yang tidak memahami logika hukum di Indonesia. silakah menilainya…

Read Full Post »